Milis bincang-bincang Masyarakat Adil Makmur Situs Koleksi Informasi Serbaneka

Sunday, January 01, 2006

Slafiyyun bukan Salafus Shaleh

Back to geocities.com/asrirs
Salafiyyun bukan Salafus Shaleh
“Saya bukan Marxis” kata Karl Marx (Muhammad Hatta : “Ajaran Marx”, 1975:7). AlImam Abul Hasan AlAsy’ari berlepas diri dari kaum Asy’ariyin (Abudl Hakim bin Amir Abdat : “Risalah Bid’ah”, 2001:115). AlAsy’ariyyah tidak termauk Ahlus Sunnah wal Jama’ah (ASSUNNAH, Edisi 06/VIII/1425H/2004M, hal 39).

ASSUNNAH Edisi 06/VIII/1425H/2004M tampil dengan mengangkat topik “Salafiyah & Solidaritas”, mengemukakan bahwa Salafiyyin dituding “tidak peduli terhadap kondisi kaum Muslimin yang dipecundangi musuh”, “tak memiliki solidaritas”, “tak pernah memberikan respon cepat terhadap situasi yang sedang berkembang di masyarakat”, “cenderung anti jihad dan terkesan mengembosi”, “hnya berkutat dengan masalah tauhid, alQur:an, Hadits, hukum-hukum dan caci maki dan hujatan terhadap golongan-golongan kaum pergerakan. Tak peduli terhadap perjuangan kaum Muslimin, bahkan memojokkannya”, “tidak realistis”, “tidak memahami sikon”, “terkontaminasi dengan pemikiran Murji:ah” (yang anti Khawarij dan Mu’tazilah, yang menetapkan pelaku maksiat : zina, curi, minum khamar; tidak dikafirkan selama tidak menghalalkannya, yang tidak menghakimi pelaku maksiat selama mereka tidak menghalalkannya).

Namun ASSUNNAH sama sekali tak menyangkal tudingan miring itu secara tegas, tepat dan jitu. Malahan seluruh tulisan ASSUNNAH mengesankan mendukung, mengukuhkan, membenarkan bahwa Salafiyyin tidak memberikan respon cepat terhadap situasi yang berkembang di masyarakat”, “Tidak peduli terhadap kondisi Muslimin yang dipecundangi musuh; “ tak memiliki kepedulian dan kepekaan sosial”, “hanya berkutat dengan masalah tauhid, Qur:an, Hadits, hukum, serta hujatan kepada sesama Muslim”, “cenderung anti jihad dan terkesan mengembosinya”. Dengan kata lain Salafiyyin (Salafiyanisme) bukan Salafus Shaleh (Salaf asShaleh).

Salafiyyin sangat sibuk memperhatikan masyarakat, memperbaiki perkara-perkara yang menyimpang, yang menyelisihi syari’at, menjelaskan kebenaran kepada masyarakat. Dengan kata lain Salafiyyin sibuk menghujat mereka yang tak sepaham dengannya. Namun para Sahabat Rasulullah saw yang AsSabiqunal Awwalun, yang Salafun Shaleh utama, disamping memiliki kepekaan spiritual yang tinggi, juga memiliki kepedulian dan kepekaan sosial yang tinggi. Mereka ikut terjun terlibat langsung memperbaiki kondisi masyarakat secara menyeluruh, baik mental spiritual (akidah) maupun fisik material (amal sosial). Beramal dengan rezki yang diberikan Allah. Menganjurkan amar makruf nahi munkar. Menolong sesama yang lapar. Menolong sesama yang teraniaya. Ikut berjuang berjihad fi sabilillah. Takut jadi mushallin yang celaka, yang tak peduli akan nasib orang terlantar (QS 107:1-7). Sangat peduli akan nasib orang terlantar (QS 90:11-20).

Salafiyyin memberikan perhatian terbesar dalam masalah tauhid, melarang kesyirikan, mengajak menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan seluruh kewajiban dan menjauhi segala larangan. Namun para shahabat Rasulullah saw yang AsSabiqunal Awwalun, yang Salafus Shaleh, di samping mengajak bertauhid, melarang kesyirikan, menegakkan shalat, menunaikan akat, juga secara aktif merubah kemunkaran dengan tangan. Barulah jika tidak mampu dengana tangan, merubahnya dengan lisannya. Secara bersama-sama ikut dalam pertahanan bela agama, menyiapkan infanteri, kavaleri, arteleri, strategi, logistik yang dapat menggentarkan musuh Allah dan musuh Muslimin (QS 8:60). Bukan jadi komunitas buih, komunitas loyo, komunitas yang dilecehkan, dipandang enteng, yang tidak disegani, yang tidak ditakuti lawan.

Salafiyyin sangat memperhatikan masalah jenggot, memanjangkan kumis, bercakap-cakap dengan bahasa orang kafir, gaya berpakaian, tatacara makan dan minum. Islam Liberal, penantang Salafiyyin yang sangat ekstrim, mengemukakan bahwa misi Islam yang dianggapnya paling penting sekarang adalah bagaimana menegakkan keadilan di muka bumi, terutama di bidang politik dan ekonomi (juga di bidang budaya), bukan menegakkan jilbab, mengurung kembali perempuan, memelihara jenggot, memendekkan ujung celana, dan tetek bengek masalah yang menurutnya amat bersifat fueru’iyah (KOMPAS, Senin, 18 November 2002, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, oleh Ulil Absar-Abdalla).

Sayyid Qutub (Quthbiyyin dalam terminologi Salafiyyin) mengemukakan bahwa para shahabat Rasulullah saw, AsSabiquan Awwalun, Generasi Qur:ani, Salafus Shaleh, memandang AlQur:an bukan untuk tujuan menambah pengetahuan atau memperluas pandangan, tetapi untuk menerima perintah Allah tentang urusan pribaddinya, tentang urusan golongan dimana ia hidup, untuk segera dilaksanakan setelah mendengarnya (“Petunjuk Jalan”, hal 14).

Salafiyyin mengingatkan bahwa sangat tidak bijaksana mengoreksi dan mengkritik kekeliruan para pemimpin melalui mimbar-mimbar terbuka, tempat-tempat umum aaupun media massa, baik elektronika maupun cetak. Namun mereka yang dianggap oleh Salafiyyin tidak mengikuti manhaj salaf (bukan pengikut Salafus Shaleh), seperti Hasan alBanna, pada bulan Rajab 1366H elah mengirimkan surat kepada Raja Faruq-I (Penguasa Mesir dan Sudan), para raja dan amir negara-negara Islam, para politisi, tokoh-tokoh dan negarawan negara-negara Islam (termasuk juga tokoh-tokoh agama). Sjafruddin Prawiranegara SH, pada 7 Juli 1983M mengirimkan surat kepada Soeharto (Presiden Republik Indonesia), perihal “Pancasila sebagai asas tunggal”. Hamka juga mengirimkan surat kepada Soeharto, perihal “Aliran Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa”.

Salafiyyin seperti juga Khawarij dan Mu’tazilah sibuk mempersoalkan kedudukan pelaku maksiat, menentukan tempat mereka, mengkapling-kapling neraka, seolah-olah mereka yang berkuasa. Sedangkan shahabat Rasulullah saw, asSabiqunal Awwalun, Salafus Shaleh utama, sangat menghindari perbuatan maksiat dan tidak memperosoalkan kedudukan pelaku maksiat. Yang terlanjur melakukan perbuatan maksiat, siap menerima sanksi hukum yang ditetapkan Allah dan Rasulnya. (BKS0410100500).


Salafiyanisme dalam pengakuan
Salafiyanisme mengaku bahwa dakwahnya mengikuti manhaj dakwah para rasul, bahwa dakwahnya mengajak kembali kepada AlQur:an dan AsSunnah dengan pemahaman Salafus Shaleh, mengajak pemurnian syari'at Islam dari segala bentuk syirik, bid'ah dan pemikiran sesat.

Disebutkan bahwa yang termasuk sunnah antara lain seperti memelihara jenggot, tidak isbal, tidak tasyabuh, tidak menggunakan tasbih, dan lain sebagainya. tak disebutkan bahwa AbuBakar Shiddiq memakai izar yang menutupi mata kaki. tak disebutkan bahwa para Salafus Shaleh memakai iar (sarung) dan tak mengenal kolor (celana dalam).

Disebutkan bahwa termasuk sunnah adalah mendesak ahli kitab ke pinggir di jalanan. Tak disebutkan apakah Salafiyanisme mengamalkan, menerapkan sunnah ini. juga tak disebutkan apakah sunnah ini hanya dalam pengertian fisik (hakini), ataukah juga termasuk dalam pengertian non-fisik (majazi).

Tak disebutkan apakah bentuk dari tidak tasyabbuh itu hanya terbatas dalam memelihara jenggot saja, ataukah harus tampil beda dengan orang kafir dalam seluruh aktivitas kehidupan, seperti beda dalam sistim pertahanan, sistim pendidikan, sistim informasi termasuk sarananya. Ataukah mengambilkan semuanya itu kepada kaedah bahwa setiap bentuk mu'amalah dan adat kebiasaan itu dibolehkan (tak perlu tampil beda), dengan mengacu pada Qs 2:29. Juga tak disebutkan apakah tampil beda (tidak tasyabbuh) itu hanya semata-mata dalam bentuk fisik (hakiki), ataukah juga dalam bentuk non-fisik (majazi).

Para rasul menyampaikan dakwah tauhid kepada orang musyrik, orang kafir, termasuk kepada penguasa yang zhalim, yang thaga, yang berbuat di luar batas kewenangan yang dibolehkan Allah, seperti yang dilakukan oleh Namruz dan Fir'aun. Dalam dakwah tauhid itu termasuk dalamnya dakwah untuk memperbaiki sisitim sosial ekonomi, antara lain dengan "menyempurnakan takaran dan timbangan, tidak merugikan orang, tidak berbuat onar dan makar " dalam segala aktivitas kehidupan, seperti yang didakwahkan nabi Syu'aib as yang tertera dalam QS 7:85, 26:181-184. Sasaran dakwah para rasul itu adalah orang-orang yang paling zhalim, yang paling thagaa, seperti dapat disimak dalam QS 53:52. "Siapakah yang lebih zhalim dari pada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah, sedang dia diajak kepada agama Islam" (QS 61:7).

Tak disebutkan apakah Salafiyanisme pernah menyampaikan dakwah tauhid kepada orang musyrik, orang kafir, termasuk kepada pengausa zhalim, penguasa thagaa, ataukah hanya berkutat di lingkungan sendiri saja. Juga tak disebutkan apakah Salafiyanisme pernah mengalami kondisi batin sesak seperti yang dialami Nabi Nuh as, seperti yang tertera dalam QS 71:5-9, atau seperti yang dialami Nabi Muhammad saw. "Kami sungguh-sungguh mengetahui dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan" (QS 15:97).

Disebutkan bahwa "Kita harus memahami syari'at Islam itu utuh, tidak hanya potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina, cambuk bagi peminum. Syari'at Islam itu menyeluruh mulai dari yang terpokok, tauhid, pemberantasan lawannya, yaitu syirik, hingga syari'at-syari'at yang dianggap sepele oleh sebagian orang semisal memelihara jenggot, tidak isbal, dan lain sebagainya" (ALFURQON, Gresik, Edisi 12, Th.III, Rojab 1425). Bagaaimana kalau susunannya demikian "Kita harus memahami syari'at islam itu utuh, tidak hanya memelihara jenggot, tidak isbal, dan lain semacam itu. syari'at Islam itu menyeluruh mulai yang terpokok, tauhid, pemberantasan lawannya, yaitu syrik, hingga syari'at-syari'at yang harus ditegakkan semisal potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina, cambuk bagi peminum. Kita berkewajiban melaksanakan syari'at itu sesuai kemampuan. Pelaksanaan syari'at itu secara utuh hanya bisa terwujud alam daulah yang Islami. Demikianlah yang ditelandakan Rasulullah, sehingga terwujud Negara Kota Madinah, yang berdaulat ke dalam dan keluar.

Bagaimana mungkin seseorang dapat merealisasikan syari'at Islam secara utuh pada diri mereka sendiri, sementara mereka sama sekali tak punya minat, hasrat, keinginan, kemauan, cita-cita agar syari'at Islam itu berlaku sebagai hukum positif di muka bumi ini. Ataukah memang harus memulangkan sepenuhnya kepada Allah, tanpa ada kewajiban yang harus dilakukan, dengan menggunakan ayat QS 12:40, sebagai acuan. Itu urusan Allah, bukan urusan manusia. Atau bersikap seperti kaum nabi Musa yang berkata "pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja" (QS 5:24). Na'udzu billah min dzalik.


Salafiyah & Solidaritas
Majalah AS-SUNNAH, Edisi 06/VIII/1425H/2004M, tampil dengan topik "Salafiyah & Solidaritas". Halaman pertama diawali dengan menyebutkan bahwa "Ada tudingan miring kepada Salafiyin, bahwa mereka tidak peduli erhadap kondisi kaum Muslimin yang dipercundangi musuh" (Rubrik Dari Kami). halaman berikutnya diawali dengan mengemukakan bahwa 'Di tengah maraknya demo, dukungan politik atau peristiwa yang melibatkan ummat, muncul tudingan bahwa Salafiyin ak memiliki kepekaaan dan tidak memiliki solidaritas. karena tak pernah memberikan respon cepat terhadap situasi yang sedang berkembang di masyarakat".

Tak disebutkan siapa yang melancarkan, melansir tudingan mirng tersebut, dari mana sumber beritanya. Padahal AS-SUNNAH begitu sarat dengan referensi, rujukan, maraji'. Tapi dalam hal tudingan miring ini, tanpa menyebutkan refrensinya.

Terkesan AS-SUNNAH mengklaim sebagai salafiyyun, ahlus sunnah wal Jama'ah, yang memahami dan menerapkan wala wa bara' sesuai dengan aturan syari'at. Sedangkan yang tidak sejalan dengannya diposisikan sebagai Sururiyyun, Quthbiyyin, Asy'ariyyin, bukan Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

AS-SUNNAH Edisi 06 sama sekali tak menjawab, apalagi membantah, menafikan tudingan miring tersebut. Bahkan eksistensi, esensi dari AS-SUNNAH itu mengindikasikan bahwa tudingan miring itu memang benar, yaitu tidak memberikan respon cepat terhadap kondisi kaum Muslimin yang dipercunangi musuh. Padahal Dakwah Rasul Allah, seperti Nuh, Hud, Shalih, Luth, syu'aib, Musa, Muhammad saw sangat responsif terhadap situasi dan kondisi, baik malam maupun siang, baik secara terbuka, terang-terangan, maupun secara tertutup, diam-diam, serta melaporkan hasilnya kepada Allah, antara lain dapat disimak dalam QS 71:5-28. para daa'i itu adalah pelanjut risalah dan haruslah ikut di dalam, di tengah masyarakat, bukan berada di luar masyarakat. rasulullah seantiasa berada di tengah-tengah masyarakat menuntunnya, membimbingnya, mengarahkannya, memimpinnya dan bukan di luarnya.

AS-SUNNAH memang sarat dengan "qala wa qila". Apakah ini yang dimaksud dengan pemahaman Salafus Shalih? Apakah penggunaan akal itu harus ditinggalkan? Afala ta'qilun? Padahal "Ar-Risalah" Imam Syafi'i juga sarat dengan logika (Kalau begini, maka begitu).


Dakwah Salafiyanisme antara teori dan praktek
Secara teoritis Dakwah Salafiyanisme dimulai dengan mengajak kepada perbaikan aqidah, mengajak bertauhid dan melarang kesyirikan. Kemudian mengajak untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan seluruh kewajiban dan menjauhi segala larangan. Demikianlah dakwah para Rasul Allah. Namun dakwah Muhammad Rasululullah juga mencakup pada amar makruf nahi munkar dan jihad fi sabillah yang belum disyari’atkan kepada Rasul-Rasul sebelum Muhammad saw.

Namun dalam praktek sa’at ini, Dakwah Salafiyanisme banyak menjelaskan kesalahan yang dilakukan para da’I dan pergerakan yang ada, untuk menjelaskan kebenaran kepada masyarakat. Agar kaum Muslimin terhindar dari kerusakan dan kemungkaran aama. Bukan sebagai hujatan kepada sesama Muslim. Nyatanya memang demikian, yaitu membid’ahkan (mengkafirkan) ahli harakah yang pemahamannya tak sejalan dengan pemahaman (imajinasi) Salafiyanisme.

Bahkan Salafiyanisme tak pernah mendakwahkan ajaran tauhid kepada yang bukan Muslim, meskipun dikatakan bahwa seluruh dakwah harus ditegakkan di atas ajaran tauhid. Antara teori (yang diajarkan) etap saja tak sejalan dengan praktek (yang dilakukan).

Secara teoritis Dakwah Salafiyyin mengajak manusia kepada ajaran agama secara menyeluruh, tidak parsial. Namun dalam praktek tidak menyeluruh, bahkan parsial, dengan alasan bahwa dakwah haruslah secara bertahap dari yang penting, kemudian yang setelahnya. Sambil berdakwah mengajak masyarakat, juga berdakwah mengajk masyarakat meninggalkan perbuatan munkar dan maksiat.

Untuk membenarkan Manhaj Teori Dakwah Salafiyanisme dikemukakan dalil bahwa “Agama adalah nasihat untuk Allah, KitabNya, RasulNya, pemimpin dan umumnya kaum Muslimin”. Dalam hubungana dengan penguasa, maka nasihat itu disebutkan bisa berupa : Membantu dan menta’ati mereka dalam kebenaran. Menyadarkannya ketika lalai dengan cara lemah lembut. Merapatkan kekuatan dan prsatuan dengan mereka. Menahan mereka dari berbuat kezhaliman dengan cara yang baik.

Memberi nasihat, memperhatikan perbaikan masyarakat dan memperbaiki perkara-perkara yang menyelisihi syari’at, dengan menyebarkan kebaikan dan menghilangkan kerusakan yang ada disebutkan sebagai bentuk solidaritas (kesetiakawanan sosial). Memperbaiki msyarakat mulai dari penyimpangan dan kerusakan cara beragama – dikatakan – merupakan wujud solidaritas muslim yang terbesar dan terpenting.

Semuanya tergantung pada visi, versi, imajinasi, persepsi pengamatnya. Meski yang diamati (dikaji, diteliti, dibahas) Sunnah yang sama, namun hasil pengamatannya (kajian, bahasannya) antara yang satu berbeda dengan yang lain. Meskipun sama-sama Salafus Shaleh, seperti ‘Ali dan Mu’awiyah, namun berbeda memahami hakikat jama’ah, hakikat persatuan, hakikat persaudaraan. Masing-masing merasa benar menurut ijtihadnya. (BKS-410081600).


Bid’ahkan dulu, lalu hujat


Salafiyyin (Salafiyanisme) lebih dulu menetapkan ahwa para jama’ah dakwah (pergerakan) mengambil manhaj dakwanya berbeda dengan manhaj dakwah para rasul. Dengan kata lain ahli harakah (yang terlibat dalam dunia pergerakan) adalah ahli bid’ah. Disusunlah alasan, hujah, dalil dengan menghimpun berbagai ayat-ayat Qr:an, Hadits-Hadits, matan qaul-qaul ulama untuk membenarkan ketetapan itu bahwa ahli harakah adalah ahli bid’ah. Dan tampaklah Salafiyyin sebagai pemangku manhaj salaf, padahal sesungguhnya hanyalah pengaku pengikut manhaj salafus shaleh.
Setiap bid’ah adalah dhalalah, sesat. Setiap dhalalah masuk neraka. Neraka itu adalah tempat orang kafir. Dengan kata lain ahli harakah adalah ahli bid’ah, ahli neraka, termasuk ke dalam golonga kafir. Dengan membid’ahkan ahli harakah, maka Salafiyyin terjebak mengkafirkan ahli kiblat. Seluruh alasan, hujah membid’ahkan ahli harakah bersifat ijtihadi, dan martabatnya paling tinggi sebagai zhanni, bukan qath’i.

Dikemukanlah bahwa bid’ah ahli harakah itu termasuk kemunkaran terbesar setelah syirik. Permusuhan terhadap ahli bid’ah ini harus lebih sengit daripada terhadap ahli maksiat. Para ahli bid’ah ini, seperti orang kafir haruslah dikucilkan (diisolasi). Kesaksiannya tidak diterimaa. Dalam shalat tidaklah boleh bermakmum kepadanya. Tidak boleh belajar darinya. Tidak boleh menikah dengannya. Tidak boleh mengambil referensi, rujukan darinya.

Ahli bid’ah (ahli harakah) – menurut versi Salafyyin – meskipun mengatasnamakan dakwah dan jihad, dinyatakan tidak berhak mendapatkan kasih sayang, pembelaan, dukungan dan loyalitas yang diharapkan. Bahkan perlu ditentang. Yang berhak mendapat pembelaan, kasih sayang serta loyalitas yang sempurna adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dengan akta lain ahli harakah itu adalah ahli hawa, ahli bid’ah, ahli neraka. Masalahnya karena manhaj ahli harakah itu tak sesuai dengan pemahaman (imajinasi) Salafiyyin (Salafiyanisme). Setelah menghukumi mereka yang tak sesuai dengan pemahaman (imajinasi) Salafiyyin sebagai ahli bid’ah (ahli neraka), maka apa bedanya lagi antara yang membid’ahkan (mengkafirkan) dengan mereeka yang dibid’ahkan (dikafirkan)?

Dalam imajinasi Salafiyyin (Salafiyanisme) yang memerangi dan melakukan pemberontakan adalah ahli bid’ah. Seluruh pejuang kemerdekaan, yang memberontak terhadap pemerintah kolonial adalah ahli bid’ah. Kepatuhan kepada penguasa bersifat mutlak, tanpa memandang siapa pun penguasa itu. “Patuhilah dan ta’atilah pemimpin. Meskipun punggungmu dipukuli dan hartamu dirampasi, patuhilah dan ta’atilah”. (BKS0410111040).


Daulah antara Tujuan dan Sarana
Jama'ah dakwah kontemporer disebutkan oleh Salafiyanisme (pengaku pengikut Salafus Shaleh) sebagai jama'ah dakwah yang tidak mengikuti manhaj dakwah para rasul, yang mengkonsentrasikan dakwahnya untuk mendirikan Khilafah Islamiyah (Negara Islam), seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, NII dan yang sejalan dengan mereka.

Abdul Hakim bin amir Abdatdalam "Risalah Bid'ah"nya mendaftar sejumlah harakah Ahlul Hawa wal Bid'ah (aliran sesat menyesatkan), antara lain termasuk di dalamnya Ikhwanul Muslimin, hizbut Tahrir, NII. Semua firqah harakah (ormas, orpol, negara) yang berupaya menegakkan daulah Islamiyah dengan menempuh cara parlementer-konstitusional (jalur demokrasi, pemilu, parlemen) yang tidak mensyaratkan khalifah dari Quraisy, yang membai'at (tunduk patuh pada) khalifah (imam, amir, pimpinan) yang bukan dari Quraisy - menurut Abdul Hakim - adalah termasuk ke dalam firqah harakah Ahlul mHawa wal Bid'ah, yang menempuh jalur thagut, yang menyimpang, menyelisihi sunnah-perjalanan Rasulullah saw beserta para sahabatnya dalam manhajnya (metodenya, caranya), ilmunya (tekniknya), dakwahnya (strateginya). Juga berakidah tauhid hakimiyah di samping tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah/ubudiyah. Karena firqah harakah Ahlus Sunnah wal Jama'ah itu - dalam pandangan Abdul Hakim - adalah membai'ah khalifah yang dari Quraisy untuk seluruh kaum Muslim apabila telah tegak daulah Islamiyah.

Bukti kongkrit bahwa jama'ah dakwah kontemprorer tidak mengikuti manhaj dakwah para rasul disebutkan adalah realita berakhir dengan kesia-siaan. Padahal, sesudah melakukan dakwah secara diam-diam, kemudian secara teang-terangan, namun Nabi Nuh as juga tidak berhasil (catatan kaki no.1519 dalam "AlQur:an dan Terjemahnya" dari ayat QS 71:5-9).

Dakwah para rasul aalah menghimbau, menyeru, mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah, tunduk patuh hanya kepada Allah saja, "sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selainNya". Dakwah Tauhid ini disampaikan Nabi Ibrahim kepada penguasa Namruz dan rakyatnya, disampaikan Nabi Musa kepada pengausa Fir'aun dan rakyatnya, disampaikan nabi Muhammad kepada pemuka musyrikin Quraisy dan pengikutnya, serta kepada para penguasa di sekitar Madinah.

Sayyid Qutub (dari Ikhwanul Muslimin) dalam 'Petunjuk Jalan"nya memandang bahwa "orang Arab itu mengetahui bahwa uluhiyah (ketuhanan) itu berarti hakimiyah (penguasa) yang tertinggi. Mereka mengerti bahwa mentauhidkan ketuhanan dan menyatukan Allah itu dengan tauhid berarti melucuti kekuasaan yang dipergunakan oleh pemuka agama, ketua suku, pangeran dan penguasa, dan mengembalikan semuanya kepada Allah". Namun ini di kalangan Salafiyanisme merupakan "syubhat yang dihembuskan ke dalam tubuh kaum muslim untuk melariskan dakwah mereka". Juga kaedah "maa laa yutimma illaa bihi fa hua wajib" dinyatakan tidak mesti demikian, seperti yang diungkapkan oleh Ibnul Qaiyim dalaam "madarijus Salikin".

Di kalangan fiqih telah sepakat umat Muslimin (ijma' mu'tabar), bahwa hukum mendirikan Khilafah itu adalah "fardhu kifayah" atas semua umat Muslimin. Salafiyanisme tidak memungkiri bahwa penegakkan khilafah tersebut bagian syari'at Islam sebagai sarana dan bukan sebagai tujuan. bila individu-individu muslim kommitmen dengan syari'at Islam secara menyeluruh, niscaya daulah Islam akan terwujud (ALFURQON, Gresik, Edisi 12, Th.III, Rajab 1425, Muqadimah, Manhaj). Bila individu-individu muslim sudah kommitmen menjalankan syari'at Islam, maka sebenarnya tak perlu lagi sarana untuk menegakkan syari'at Islam itu.

Allah menyatakan "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwah, pastilah Kami akan limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi" (QS 77:96), dan "Sesungguhnya Allah tidak merubah keadan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka" (QS 13:11). Dari ayat-ayat tersebut bisa dipahami bahwa bila telah berupaya memperbaiki akidah (IMTAQ), maka akan memperoleh perbaikan sosial ekonomi (IPTEK) berupa berkah dari langit dan bumi. Namun dari ayat-ayat lain, 'memperbaiki akidah" itu haruslah dipahami dalam pengertian luas, termasuk di dalamnya memperbaiki sistim sosial ekonomi. Perbaikan sisitim sosial ekonomi itu dalam Qur:an antara lain berupa "Menyempurnakan takaran dan timbangan, tidak merugikan orang, tidak membuat onar" (Simak dawakh Nabi Syu'aib, antara lain dalam QS 7:85, 26:181-183).

Abu A'la alMaududi (dari Jami'at Islami Pakistan) dalam "Sejarah Pembaruan dan Pembangunan kembali Alam Pikiran Agama" mengemukakan bahwa pemerintah yang harus ditegaakkan di dalam agama Allah di dunia ini serta pengembangannya, betul-betul dituntut oleh syari'at Ilahi dan wajib diperjuangkan. Pemerintah itu bukan sebagai suatu hadiah, tanpa adanya kewajiban atau tugas yang perlu dilaksanakan. Tanpa ada kehendak pemerintah sia-sia mempergunakan teori apa saja, tidak ada artinya konstitusi halal, haram dan tassyri'. Tujuan risalah Nabi masih tetap tidak keluar dari semata-mata menegakkan pemerintahan Islam di dunia ini dan melestarikan undang-undang kehidupan manusia yang sempurna yang datang dari Allah. Para Nabi dan Rasul selalu berusaha untuk mengadakan suatu pergolakan politik pada masing-masing daerahnya, sebagian mereka ada yang hanya cukup menyediakan jalan dan persiapn yang harus dilakukan seperti Nabi Ibrahim as, dan ada pula yang langsung bertindak dengan suatu pergolakan hanya saja risalahnya berakhir sebelum egaknya pemerintahan ilahiah, eperti Nabi Isa as. Dan sebagian pula yang langsung dihadapkan kepada suatu pergerakan yang berakhir dengan kemenangan dan kesuksesan seperti nabi Musa as dan Nabi Muhammad saw. (BKS0411051000).


Apa yang harus dipikul generasi kini
(Tafaqquh atau tawaqquf)
Pada diri shabat-sahabat besar Rasulullah seperti Khalifah Rasyidin yang empat dan lainnya menyatu, mencakup sosok fakih, sosok imam, sosok mujahid. Mereka semua adalah mujahid, sekaligus mujtahid.

Dalam aktivitas berjuang, berjihad fi sabilillah (dengan harta dan nyawa) dalam ayat QS 9:122 Allah memperingatkan agar orang-orang mukmin tidak semuanya berangkat pergi ke medan perang, tetapi sebagiannya berangkat pergi tafaqquh fid din (memperdalam pengetahuan tentang agama) Untuk diajarkan kepada pasukan apabila mereka kembali nanti dari medan perang, sehingga mereka dapat memelihara diri dari kesesatan berfikir.

Setelah berlalu beberapa masa, muncullah masa spesialisasi, masa takhassus. Masing-masing sibuk dengan spesalisasinya. Tak ada lagi mujtahaid yang mujahid, dan mujahid yang mujtahid.

Para salaf shalih, para mufassir, para muhadditisn, para fuqaha sudan bersungguh-sungguh di bidang spesialisasinya, bersusah payah mempelajari, mengkaji, memahami, mendalami Kitabullah dan Sunnah Rasul, sudah menentukan mana yang wajib, sunat, mubah, makruh, haram, halal, bid’ah, khurafat, shahih, hasan, dha’if, shah, bathal, dan lain-lain.

Mereka yang telah menghasilkan, meninggalkan, mewariskan, mempusakakan kaidah-kaidah syar’iyah yang dapat digunakan, dimanfa’atkan, diterapkan, diaplikasikan untuk generasi penerusnya, untuk mengistimbatkan, menemukan hukum bagi suatu kasus baru yang belum terjadi sebelumnya.

Cara yang ditempuh ulama fikih menemukan kaidah-kaidaah ushul dapat disederhanakan demikian : Menela’ah sumber syar’i. Merumuskan kaidah-kaidaha ushul dari sumber syar’iyah. Menyusun ketentuan hukum dengan kaidah-kadah ushul. Memeriksa ketentuan hukum dengan sumber syar’iyah. Merumuskan kembali kaidah-kaidah ushul.

Cara tersebut berkembang, diterapkan pada bidang-bidang lain (politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, ilmu, teknik, militer, dan lain-lain) : Menela’ah syar’iyah. Merumuskan prinsip-prinsip syar’iyah di bidang disiplin tertentu. Menyusun teori atau sistim syar’iyah untuk bidang disiplin tertentu. Memeriksa sistim syar’iyah dengan sumber syar’iyah. Merumuskan kembali kaidah-kaidah umum (prinsip-prinsip syar’iyah).

Langkah metoda ilmiah : Pengumpulan daa atau informasi secara objektif, melakukan penelitian (pengumpulan informasi – penelaahan sumber). Perumusan hipotesis, yaitu suatu proporsi umum yang dapat menerangkan tingkah laku dari berbagai fakta sebagai nilai variable (perumusan hipotess – perumusan kaidah/prinsip). Prediksi atau ramalan (penyusunan teori – perekayasa sistim). Pengujian hipotesa berdasarkan data empiris (perumusan kembali hipotesa berdasarkan perbandingan antara praktek dengan teori - perumusan kaidah/prinsip kembali berdasarkan perbandingan antara fakta dan sistim).

Langkah-langkah pembuatan program algoritma meliputi : Analisis masalah. Desain model. Desail algoritma. Koreksi algoritma. Implementasi. Test program. Analisis & Kompleksitas algoritma. Dokumentasi.

Generasi kini apakah yang juga amasih harus dibebani, diberati, ditaklifi dengan tafaqquh fid din? Ataukah cukup memadai dengan tawaqquf menunggu fatwa penjelasan ahlu adzdzikri? Apakah lagi yang harus dipelajari, dikaji, dipahami, didalami; padahal semuanya sudah dilakukan oleh para salafus shaleh, para mufassir, para muhadditsin, para fuqaha. Bukankah generasi kini hanya tinggal mengamalkan, menerapkan, memprakekkan hasil usaha mereka itu semua, seperti mengaplikasikan kaidah-kaidah syar’iyah yang mereka hasilkan untuk menemukan hukum dari kasus-kasus baru?

Kasus-kasus baru yang merupakan persoalan-persoalan yang alQur:an dan asSunnah tidak menyebutkannya, seperti persoalan yang berkenaan dengan bank, kependudukan, pertelevisian, perfileman, pariwisata, protokoler, perdagangan internasional, dan lain-lain (ALMUSLIMUN, Bangil, No.210, hal 65, “Konsep-Konsep Politik Qur:ani”, oleh Abu A’la Maududi, tafsiran QS 4:59).

Ataukah generasi kini harus digiring untuk saling mengkritisi sesama Islam. Memberikan cap, label, stigma, seperti : intelektual jahil, jahil akan kaidah syar’iat, jahil akan realitas politik, ilmu dan pemikiran serta pemahaman agamanya dangkal, cetek. Ataukah harus digiring untuk bersama-sama mengkritisi musuh Islam?

Gofrey Jansen dengan bukunya “Militan Islam” menggiring umat Islam masuk ke dalam firqah westernisme (Yang hanya memanfa’atkan nama Islam demi kepentingan-kepentingan politik pribadi), atau ke dalam firqah tradisionalis (yang terjun ke gelanggang politik tanpa memahami solusi pemecahan masalah-masalah yang dihadapi oleh dunia modern), atau ke dalam firqah religious awam (yang bukan politisi profesional yang secara serius melakukan pemikiran kembali mengenai penerapan ajaran Islam dalam kehidupan bernegara modern dan secara serius pula berjuang melalui suatu organisasi, seperti Hasan alBanna, Mehdi Bazargan, Abu A’la alMaududi, Mohammad Natsir, dan lain-lain) (SUARA MASJID, No.144, 1 September 1986M, hal 3, Editorial : “Menyambut Abad Kebangkitan Dengan Membiana Ummat”).

Dalam mengkritisi sesama Islam ini, ada yang membakar kitab “Fi Zhilal alQur;an” Sayid Quthb, “Fath alBari” Ibnu Hajar alAsqalani, dan kitab-kitab Imam Nawawi, karena menurut mereka didapati adanya kesalah dalam masalah aqidah. Ada yang menuduh bahwa di dalam kitab “Fi Zhilal alQur:an” Sayid Quthb terdapat aqidah waihdatul wujud (ALMUSLIMUN, Bangil, No.293, hal 25).

Sayid Quthb dipandang telah melakukan pelecehan kepada syar’iat karena ia menjuluki Fiqh Syari’at dengan Fiqh Kertas dalam “Fi Zhilal alQur;an” 4/2006 (ALFURQON, Gresik, Edisi 10, Th III, Jumadil Awal 1425, hal 22). Syaikh Abu Ibrahim Al Adnani menulis kitab “AlQuthbiyyah Hiyal Fitnah” (Kekeliruan Pemikiran Sayid Quthb).

Dalam pandangan Sayyid Quthb, fiqih adalah ciptaan manusia yang terbit dari upaya memahami, menafsirkan dan menerapkan syar’iah di dalam suasana tertentu. Untuk menghadapi permasalahan masa kini, Sayyid Quthb cenderung mengajak kembali secara langsung kepada Syari’at Islam, kepada prinsip-prinsip yang umum dan hukumnya yang global, lalu mencari inspirasi dengan menggali dan menghayatinya untuk menemukan pemecahan cara penerapannya guna menghadapi kesulitan-kesulitan yang dihadapi kini (Sayid Quthb : “Masyarakat Islam”, 1983:38, 45).

Semuanya mengemukakan teori tentang berjuang berjihad menegakkan hukum allah di muka bumi. Ada dengan tashfiyah wa tarbiyah. Ada dengan aksi masa. Ada dengan parlementer konstitusional. Ada dengan kudeta militer. Dan lain-lain (Yusuf Qardhawi : “AlHallul-Islamy”, “Pedoman Ideologi Islam”).

Namun semuanya tak ada yang berhasil, tidak mampu memberikan manfa’at apa-apa terhadap upaya perjuangan penegakkan hukum Allah.

Ataukah semuanya tak prlu membuang-buang waktu dan tenaga untuk menegakkan hukum allah. Biarkan sajalah Allah yang menegakkan hukumNya menurut cara yang dikehendakiNya. Manusia tak perlu ikut campur terlibat. Jika Ia berkehendak (memprogram), mestilah terwujud (QS 5:48, 11:118, 16:93, 76:31, 81:29). (BKS0409101300).


Bagaimana menyikapi kecaman, celaan AlQur:an?
Penterjemah/penafsir AlQur:an Deparemen Agama RI mengemukakan bahwa orang yang tidak memutuskan perkara menurut hukum Allah ada tiga macam. Pertama orang kafir, yaituyang benci dan ingkar kepada hukum Allah (QS 5:44). Kedua, orang zhalim, yaitu yang menurutkan hawa nafsu dan merugikan orang lain (QS 5:45). Ketiga, orang fasiq (QS 5:47).

Terhadap semua yang tidak memutuskan perkara menurut hukum Allah, aakah berpredikat kafir, zhalim, atau fasiq ditanyakan AlQur:an “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaaki, dan hukum siapakah yang legislatif dan eksekutif bih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin” (QS 5:50).

Dari ayat QS 5:50 dan ayat-ayat sebelumnya, apakah pelajaran yang dapat diperoleh? Di antaranya, bahwa hukum jahiliyah itu adalah yang bukan hukum Allah. Memutuskan perkara bukan dengan hukum Allah berarti mengambil hukum jahiliyah. Berhukum dengan yang bukan hukum Allah adalah berhukum kepada thagut (QS 4:60). Hukum allah itulah hukum yang terbaik. Hukum Allah itulah yang teradil (QS 95:8). Teguran, kecaman AlQur:an itu sangat keras, sangat tajam, sangat dahsyat bagi orang-orang yang yakin. Bagi yang yakin bahwa hukum Allah itu adalah hukum yang teradil. Tak ada hukum yang adil selain hukum Allah. Yang yakin sangat takut, tak berani untuk memutuskan perkara dengan bukan hukum Allah. Namun bagi yang tak yakin merasa bebas merdeka untuk memutuskan perkara dengan yang bukan hukum Allah. Untuk memutuskan perkara dengan hukum Allah diperlukan keyakinan bulat bahwa hukum Allah itulah hukum yang teradil.

Yang berpredikat kafir, zhalim, fasiq aalah objek, sasaran dakwah. Mereka ini semua harus diseru, dihimbau, dipanggil seperti seruan kepada Yahudi (Ahli Taurat) agar menetapkan hukum menurut hukum Allah (QS 3:23). Di samping dengan hikmah-bijaksana, juga dengan laiyina-lemah lembut, mereka yang berkuasa diingatkan agar berhukum dengan hukum Allah. Fir’au berkuasa secara absolut, secara sewenang-wenang, melampaui batas. Ia harus diingatkan dengan akta-kata yang lemah-lembut agar ia takut akan murka Allah (simak QS 20:43-44). Barangkali berangkat dari pemahaman QS 20:43-44 ini, Imam Hasan alBanna pada bulan Rajab 1366H mengirimkan surat kepada Raja Faruq I (Penguasa Mesir dan Sudan), kepada Musthafa Nahhas Pasya (perdana Menteri Mesir dan Sudan), kepada para raja dan amir para negara-negaraa Islam, kepada para politisi, tokoh-tokoh dan nearawan dari negaraa-negara Islam (juga kepada tokoh-tokoh agama) (Muhammad Hilmy AlManjawi : “Pidato & Surat-Surat Hasan Albanna, 1984:211-270). Sjafruddin Prawiranegara SH, pada 7 Juli 1983 menyampaikan surat kepada Soeharto (Presiden Republik Indonesia) untuk membatalkan Asas Tunggal (“Perihal :Pancasila sebagai Asas Tunggal”). Hamka menullis surat kepada Soeharto untuk membatalkan Aliran Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

AlQur:an sangat mengecam, mencela orang-oang zhalim, orang-orang yang menolak erhukum dengan hukum Allah (QS 24:47-50). Orang-orang mukmin, orang-orang yang prcaya, yakin bahwa hukum Allah itu adakah hukum teradil, sangat takut, sangat gentar erhadap kecaman, celaan AlQur:an. Mereka selalu siap untuk berhukum dengan hukum Allah anpa bantahan. Merekalah yang dipuji AlQur:an sebagai muflihin, orang beruntung, fa:izun, orang sukses (QS 24:51-52).

Setelah Islam tegak berdiri kokohj, datanglah perintah untuk memerangi, membunuhi orang musyrik semuanya karena mereka memerangi, membunuhi oang Islam (QS 9:36). Yahudi dan Nasrani, meskipun juga menuhankan selain Allah, namun AlQur:an tidak memberikan predikat musyrik kepda mereka, tetapi menyebut mereka dengan sebutan Ahli Kitab. Yang disebut musyrik aalah yang tak punya Kitab suci. Yang diperintah adalah memerangi fi sabilillah orang-orang yang memerangi orang Islam (QS 2:190-191). Tujuannya adalah untuk menghentikan kekacuan(fitnah), untuk mengembalikan ketertiban (QS 2:192-193, 8:39). (BKS0409121040).


Berhukum dengan Hukum Allah
Allah sangat mencela, sangat mengecam berhukum bukan dengan hukumNya. Allah sangat murka terhadap yang membuat hukum tandingan bagi hukum Allah. Padahal hukum Allah itu adalah hukum yang terbaik (QS 5:50), yang teradil (QS 95:8). Yang Ahli Taurat hendaknya menjalankan hukum taurat. Yang Ahli Injil hendaknya menjalankan hukum Injil. Yang Ahli Qur:an menjalankan hukum Qur:an (QS 5:66). Seluruhnya menjalankan hukum Allah yang diturunkan kepada mereka masing-masing.

Dalam Taurat terdapat hukum Allah. Dengan hukum Allah itulah perkara orang Yahudi diputuskan oleh para Nabi dan oleh para pemuka mereka (QS 5:44). Dalam Injil juga terdapat hukum Allah. Dengan hukum Allah itu pula hendaknya orang Nasrani memutuskan perkaranaya (QS 5:47). Juga dalam Qur:an terdapat hukum Allah. Dengan hukum allah itu pulalah orang islam harus memutuskan perkaranya. Tidak mengambil hukum selaim hukum Allah. Hukum Allah (syir’ah) serta tatacara penerapannya (minhaj) haruslah dijalankan semuanya, baik Ahli Taurat, Ahli njil, Ahli Qur:an. “Hendaklah memutuskan perkara menurut yang diturunkan Allah. Jangan mengikuti hawa nafsu siapa saja. Waspadalah terhadap yang mengikuti hawa nafsu”.

Berhukum dengan hukum Allah adalah bukti atas keimanan kepada Allah dan RasulNya. Menolak berhukum dengan hukum Allah adalah bukti atas kebohongan beriman kepada Allah dan RasulNya (S 24:48). Berhukum bukan dengan hukum Allah adalah berhukum kepada thagut (QS 4:60). Penyebab penolakan ini bisa karena adanya penyakit hati (seperti dengki, sombong), atau karena buruk sangka, khawatir bahwa Allah dan RasulNya akan berlaku sewenang-wenang (QS 24:50).

Orang Mukmin, yang percaya, yakin aakan keadilan hukum Allah, senantiasa siap berhukum dengan hukum Allah. Mereka itu adalah orang yang ta’at, patuh kepada Allah dan RasulNya, yang takut dan bertakwa kepada Allah (QS 24:51-52).

Apakah yang harus dilakukan terhadap yang membangkang kepada Allah dan RasulNya, yang menolak berhukum dengan hukum Allah? Mereka harus diseru, dihimbau, dipanggil untuk mau secara ikhlas berhukum dengan hukum Allah, seperti seruan kepada Yahudi (Ahli arat) agar menetapkan hukum menurut hukum Allah (QS 3:23). (BKS 0409121050).


Kewajiban menjalankan Hukum Allah
Barangsiapa yang tidak menghukum dengan apa yang dientukan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (QS 5:44), yang zhalim (QS 5:45), yang fasiq (QS 5:47). Cuma saja kafir disini bukanlah mencapai kafir syirik, dan zhulum disinipun bukan mencapai zhulm syirik, dan fasiq disiniun bukan mencapai fasik syirik.

Meskipun ayat QS 5:444-47 secara lahiria, secara eksplisit redaksi tertuju kepada Ahli Kitab, bukanlah dia semataq-mata suatu kisah yang akan dibaca saja, tetapi secara batiniah, secara implisit adalah dia untuk diambil bandingan (i'tibar). Sebagai Muslim janganlah melalaikan Hukum Allah. Di awal surat sendiri (QS 5:1) peringatan yang mula-mula diberikan ialah supaya menyempurnakan segala 'uqud, yang terpenting dengan Allah.

Selama hidup, selama iman masih mengalir di seluruh pipa darah tidaklah sekali-kali boleh melepaskan cita-cita agar Hukum Allah tegak di dalam alam ini, walaupun di negeri mana pun tinggal. Moga-moga tercapai apa yang dapat dicapai. Kalau Hukum Allah belum jalan, janganlah berputus asa. Kufur, zhulm, fasiklah kalau percaya bahwa ada hukum lain yang lebih baik dari pada Hukum Allah.

Jika ditanya orang, katakanlah terus terang bahwa cita-cita Umat Islam memang agar berjalan Hukum Allah dalam negara. tak ada artinya iman, kalau tak bercita-cita seperti yang digariskan Allah dalam AlQur:an. Tegaskanlah bahwa Umat Islam memang akan memaksa yang bukan Islam untuk menuruti Hukum Islam. Sebagian dari Hukum Islam terhadapa golongan yang bukan Islam ialah agar supaya Yahudi menjalankan Hukum Taurat, agar supaya Nasranai menjalankan Hukum Injil (QS 5:66). Dibolekan membuat Undang-Undang menurut teknik pembikinannya, memakai fasal-fasal dan ayat-ayat suci, tapi dasarnya wajib Hukum Allah dari Kitab-Kitab suci, bukan hukum buatan manusia.

Apabila membicarakan Hukum allah, hendaklah menilik terlbih dahulu kepada Filsafat Hukumnya dan dari mana Sumber Hukum. dalam Islam sudah nyata bahwa Sumber Hukum ialah Allah dan Rasul, atau AlQur:an dan AsSunnah. dalam Islam manusia diberi kebebasan berijtihad, bagaimana supaya Hukum tuhan itu berjalan. Hukum yang tersebut dalam AlQur:am tidaklah banyak. Yang terkenal hanya beberapa buah saja, yaitu hukum atas gerombolan pengacau, hukum atas pencuri, dan hukum atas yqng berzina. Dan bebeapa lain terdapat dalam Sunnah (Prof Dr Hamka : "Tafsir AlAzhar", 1984, juzuk VI, hal 263-264).

Inti Akidah Tauhid
Secara teoritis Dakwah Salafiyanisme dimulai dengan mengajak kepada perbaikan akidah, menganjurkan bertauhid dan melarang kemusyrikan. dalam dakwahnya, diperoleh kesan bahwa berhukum dengan Hukum Allah bukan merupakan bagian dari inti, bukti, bentuk, wujud dari akidah tauhid. Padahal inti dari dakwah para rasul itu adalah seruan, himbauan, ajakan agar mentauhidkan Allah, tidak mensyirikkan Allah, serta mengingkari hukum thagut, hukum Jahiliyah.
(Salafiyanisme mengecam "mereka yang lebih menitik beratkan manhaj juangnya kepada jihad dan persautan ummat". Lihat : Majalah AS-SUNNAH, Surakarta, no 07/I/1414-1993, "Perpecahan Ummat" oleh Abu Fairuz).

Inti, bukti akidah tauhid adalah takwa, bersedia melaksanakan yang diperintahkan Allah dan meninggalkan yang dilarang Allah, tunduk patuh, bersedia diatur dengan aturan Allah, bersedia berhukum dengan Hukum Allah.

Penegak akidaha tauahid tak akan mengusung, membawa-bawa "kufrun duna kufrin, zhulmun duna zhulmin, fisqun duna fisqin"nya Ibnu Abbas, seandainya memang ada ucapan Ibnu Abbas demikian.

Dalam surat AlAn'am dipahami bahwa "Menetapkan Hukum itu hanyalah hak Allah" (ayat 57, simak juga QS 12:67).

Dalam surat AnNuur dipahami bahwa berhukum dengan hukum Allah itu mengindikasikan bukbi beriman (ayat 51-52).

Dalam surat AnNisaa dipahami bahwa berhukum bukan dengan hukum Allah adalah berhukum dengan hukum thagut (ayat 60). allah memerintahkan agar mengingkari hukum thagut itu. ajaran tauhid adalah mentauhidkan allah, tidak mensyirikkan allah, dan mengingkari hukum thagut itu (QS 16:36). Bahwa berhukum bukan dengan Hukum Allah mengindikasikan belum beriman (ayat 65, simak juga QS 24:47-48). Bahwa Hukum Allah itu termaktub dalam Kitabullah (ayat 105, simak juga QS 2:213, 3:23).

Dalam suat AlMaidah dipahami bahwa "barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (yat 44), orang-orang yang zhalim (ayat 45), orang-orang yang fasiq (ayat 47). Bahwa yang berhukum bukan dengan hukum Allah adalah berhubuk dengan hukum jahiliyah (ayat 50). hukum jahiliyah aalah bukan hukum Allah. hukum Allah itu paling baik (ayat 50), paling adil (QS 95:8).

Salah satu di antara yang membatalkan keIslaman disebutkan adalah ; berkeyakinan bahwa selain hukum nabi muhammad saw itu lebih sempurna, lebih baik. yakin dan percaya bahwa sistem-sistem atau hukum dan perundang-undangan yang dibuat manusia lebih baik dari syari'at Islam.


Tauhid, Bid'ah, Ceramah
Tauhid berarti mengesakan Allah. Tak ada ayang berkuasa secara mutlak selain Allah. 'Tak ada daya dan kekuatan kecuali dengan idzin kehendak Allah". Semuanya bergerak, berproses menurut rancangan, kehendak Allah. Allah merupakan Causa Prima, Penggerak Mutlak. Hanya dengan idzin, kehendak Allah, semuanya bisa bergerak, berproses. Bila Allah sudah merancang, menghendaki, menetapkan sesuatu bergerak, berproses, maka berlangsunglah proses pergerakan itu. "Kun fa yakun". Allahlah yang menggerakkan, menggeneretkan sesuatu bergerak, berproses. Tanpa generet dari Allah, semuanya tak bisa bergerak, berproses. Yang berpaham seperti ini disebut "Jabariyah", tak termasuk ke dalam kelompok Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Sedangkan menolak paham ini berarti menolak kemutlakan kemahakuasaan Allah, meyakini ada yang berkuasa secara mutlak selain Allah. Muncullah dilematis dalam hal ini.

Bid'ah adalah segala sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Islam. termasuk ke dalamnya adalah yang haram, yaitu yang jelas-jelas dilarang oleh Islam. Kemudian yang makruh, yaitu yang tak disukai oleh Islam. Selanjutnya yang syubhat, yaitu yang tak jelas-jelas dilarang oleh Islam. Semua bid'ah adalah dhalalah (sesat), dan semua dhalalah di neraka. "Menegakkan syari'at Islam" bisa dikategorikan termasuk ke dalam bid'ah, karena tak ada nash yang sharih (tegas) yang menyuruh, yang memerintahkannya. "Menegakkan daulah Islamiyah, khilafah Islamiyah" juga bisa dikategorikan termasuk ke dalam bid'ah. Disebutkan bahwa bila penegakkan syari'at Islam itu adalah wajib, maka tak demikian halnya dengan sarananya, yaitu pendirian daulah, yang bisa wajib, atau sunat, atau mubah, atau makruh, atau haram, tergantung pada sikonnya. Alasan untuk membenarkan pendirian ini dirujukkan pada analisa Ibnul Qaiyim dalam "Madarijus Salikin". "Ormas, parpol, pemilu, parlemen" dan yang semacam dengan itu pun termasuk ke dalam kategori bid'ah, yang tak ada sunnahnya. "Melakukan aktivitas seperti aktivitas yang dilakukan oleh orang kafir" dikategorikan juga sebagai bid'ah, karena Islam melarang "tasyabbuh". Untuk menyelamatkan diri dari label bid'ah, digunakan rumusan "pada dasarnya setiap bentuk mu'amalah atau adat itu dibolehkan", dengan merujuk pada ayat QS 2:29. rumusan (ta'rif) bid'ah di kalangan fiqih adalah seala sesuatu yang diada-adakan, yang dikarang-karang, yang tak ada acuan, rujukannya.

Ceramah, khutbah, taklim merupakan sarana untuk mendidik, membimbing, menuntun umat ke jalan takwa. Entah sejak kapan mulainya, kini pada setiap bulan Ramadhan marak ceramah agama Islam. Ada yang namanya kuliah tarwih sesudah shalat tarwih berjama'ah di masjid-masjid. Bahkan ceramah-ceramah agama yang dicapuri, dilumuri dengan sendagurau, banyolan, lawakan, kwis berhadiah, tanya jawab pada semua tayangan televisi sepanjang malam Ramadhan. Padahal tak ada ceramah, khutbah, taklim yang terkait, yang dinisbahkan pada aktivitas Ramadhan yang dilakukan Rasulullah. Ramadhan adalah waktu untuk melakukan ibadah seperti yang dilakukan oleh Rasulullah, untuk mengamalkan, menerapkan apa-apa yang diperoleh dari ceramah, khutbah, taklim sebelum Ramadhan. Islam mengajrkan pada waktu Ramadhan untuk beribadah, beri'tikaf di masjid. Bukan malah berkumpul bersama-sama artis, selebritis mengisi tayangan televisi dengan tema "Hikmah Ramadhan", yang didisain dengan campuran sendagurau, banyolan, lawakan, kwis berhadiah. Dikemukan bahwa efektifitas daya guna tayangan semacam ini luar bisa, jangkauan dakwahnya luas, merata ke seluruh nusantara, bahkan sampai ke sekitarnya. Namun Islam mengajarkan agar menggunakan Ramadhan untuk memperbanyak amal ibadah, untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk memperbanyak tawa, bukan untuk mendekatkan diri kepada dunia. Islam mengajarkan agar sedikit tertawa dan banyak menangis, karena apa jahannam itu sangat panas (Simaklah antara lain ayat QS 9:81-82). (BKS0411100445).

Pembatasan bid'ah

Terminologi bid'ah mengacu pada mukaddimah khutbah Rasulullah. Bahwa "Sesungguhnya sebaik-baik keterangan ialah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Nabi muhammad saw. dan sejahat-jahat sesuatu, yang serba baru, tidak berasal dari agama. Dan tiap-tiap bid'ah sesat" (HR Muslim dari Jabir ra dalam 'Tarjamah Riadhus Shalihin, pasal "Larangan Tenang Segala Bid'ah dan Kelakauan Yang Baru").

Semula dalam pemahaman shahabat Rasulullah, bahwa "tiap-tiap bid'ah (yang serba baru, yang tidak berasal dari agama) sesat" adalah bersifat umum, tanpa kecuali, tanpa batasan. Para shahabat sangat khawatir, kalau-kalau jatuh terperosok ke jurang bid'ah sesat itu, meskipun mereka juga sudah mendengar dari Rasulullah, bahwa 'Kamu lebih mengetahui tenang urusan-urusan kedunianmu" (HR Muslim dari Aisyah, dalam buku "Bukan Dari Ajaran Islam" Syaikh Muhammad AlGhazali, 1982:70).

Kemudian berdasarkan tuntutan situasi (mashaalih-marsalah) maka lahirlah konsensus (ijma') memberikan batasan bid'ah yang dihasilkan dari penyatuan persamaan pandangan, pendapat yang berbeda. Sejak itulah mulailah penyempitan, pembatasan bid'ah, sehingga bersifat situsional-kasuistik. sesuatu yang semula dipandang bid'ah, bisa saja kemudian dipandang bukan bid'ah seelah dipahami secara cermat, saksama, teliti. sifatnya bukan mutlak (absolut) tapi muqaiyad (terikat, tergantung pada situasi dan ilatnya). Pemahaman terhadap bid'ah itu bisa berubah berdasarkan situasi. (Simak juga antara lain "Bid'ah-bid'ah Yang dianggap Sunnah", "Mengupas Sunnah Membedah Bid'ah", "Membedah Seluk Beluk Bid'ah", "Mengapa Anda Menolak Bid'ah Hasanah", "Manhaj Ahli Sunnah Menghadapi Ahli bid'ah", , "Bahaya Tafsiq Takfir tabdi'", dan lain-lain).

Syari'at Islam itu elastis, berkemang dan sanggup menghadapi masalah-masalah sulit yang selalu mengalami perkembangan dan pembaruan. Syari'at Islam itu kadang-kadang meluas hingga mencakup segala yang terdapat dalam kepustakaan fiqih yang nilainya masing-masing tidak sama dan berbeda menurut aliran dan pendapat ahli hukumnya, macam dan masa dan suasananya, masalah-perkara yang dibahas.

Adapun syari'at Islam dengan pengertiana sempit, ia hanya terbatas ada hukum-hukum yang tegas, yang tak dapat digugat lagi, yang berasal dari AlQur:an Alkarim dan Sunnah yang sah atau yang ditetapkan oleh Ijma'. Tak termasuk tafsiran yang diperbantahkan (khilafiyah), hukum-hukum yang terambil dari hadits-hadits yang diragukan kebenrannya, baik dari segi sanad maupun matannya (Ahmad Zaki Yamani : "Syari'at Islam Yang Abadi Menjawab tantangan Masa Kini", 1986:34-35).

Bid'ah tidaknya seorang penguasa menerima gaji atau berbisnis bersifat situasional(terikat pada keadaan). Simak juga peristiwa pengangkatan Abu bakar sebagai Khalifah (antara lain dalam "Khalifah dan Kerajaan" Abul A'la Almaududi, 1984:117-118 dari "Kanzul Amal" Alaauddin alHindi, "Kriteria Antara Sunnah dan Bid'ah" M Hasbi AshShiddieqy, 1967:73)0), kasus pembukuan AlQur:an (antara lain dalam "Pengantar Study alQur;an" Mohammad Aly AshShabuny, 1984:87-88), kasus pembukuan Hadits (antara lain dari "AlHadits sebagai sumber Hukum" Dr Musthafa AsSiba'i, 1982:168, "Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits" M Hasbi AshShiddieqy, 1953:35-36).

Di antara para ulama, fuqaha, terdapat perbedaan pemahaman tentang batasan, definisi bid'ah. Tetapi maksud dan materinya tidaklah berbeda. Seperti halnya "mengumpulkan AlQur:an dan membukukannya dalam Mushaf, mewajibkan umat islam mengikuti Mushaf Ustman saja, membukukan ilmu dan mempelajarinya dengan jalan memahamkan Kitabullah" (M Hasbi AshShiddieqy : "Kriteria Antara Sunnah dan Bid'ah, 1967:65). Ada ayang menyebutnya bid'ah, tapi bid'ah wajibah. ada yang menyebutnya bukan bid'ah, tapi mashlahat mursalah. tapi hakikatnya sama, yaaitu mendatangkan kebaikan bersama dan bukan termasuk perbuatan sesat.

Penerapan program dakwah bersama

Meskipun sumber hukum, sumber moral yang dipegang umat Islam sama-sama AlQur:an dan AsSunnah, namun dalam implementasinya, pengamalannya, penerapannya, sudut pandangnya berbeda-beda. "Masalah-masalah seperti ini (masalah khilafiyah) musti timbul, walaupun masing-masing orang yang berselisih pendapat itu kembali kepada AlQur:an dan Sunnah" (Hamka : "Masalah Khilafiyah", PANJI MASYARAKAT, No.187, Tahun ke-XVII, 15 Nopember 1975, hal 5, "Dari Hati Ke Hati", Tafisr AlAzhar", Juzuk XXVIII, hal 132-135).

Dalam Sejarah islam terkenal timbulnya golongan Khawarij, Syi'ah, Mu'tazilah, Asy'ariyah, alMaturidi dan golongan yang menamakan dirinya Ahlus Sunnah wal Jama'ah (Prof Dr Hamka : "Tafsir AlAzhar", jusuk VIII, 1984:148). "Ada sebuah realita bahwa umat islam kini dalam keadaan berpecah belah, tidak bersatu. umat Islam telah berkelompok-kelompok, bersekte-sekte, berpartai-partai, ber... ber... ber... Masing-masing kelompok, group, jama'ah, atau organisasi merasa bahwa dirinyalah yang paling benar. ... Di Indonesia ada DI/TII, HT (Hizbut Tahrir), IM (Ikhwanul Muslimin), PERSIS, NU, Muhammadiyah, dan lain-lain" (Imam Samudra : "Aku Melawan Teroris", 2004:57-57). "Ada sekoci Usamah bin Laden, sekoci Yusuf Qardhawy, sekoci Hasan atTuraby, sekoci Almaududy, dan seterusnya. Masing-masing memiliki grand strategi sendiri-sendiri. Dan tentu, "keamiran lokal" semacam itu mengandung krisis otoritas" (Editor Bambang Sukirno, idem hal 11).

Sesuai dengsan kondisi dewasa ini, maka ada Khawarij masa kini, ada Murji:ah masa kini, ada Syi'ah masa kini, ada Salafiyah masa kini, ada Mu'tazilah masa kini, ada Jabariyah masa kini, ada Qadariyah masa kini, ada Asy'ariyah masa kini, dan lain-lain. Da kini adaa sebuah Tim di Departemen Agama (Depag) dengan ketuanya Dr Siti Musdah Mulia yang membuat CLD (Counter Legal Draft) Kompilasi Hukum Islam. dalam CLD Kompilasi hukum Islam itu, perkawinan beda agama diperbolehkan, nikah tanpa wali bagi wanita yang sudah berusia 21 tahun dibolehkan, yang murtad (berpindah agama) berhak menerima warisan, dan lain-lain (Imran Nasution : "Umat Islam Sedang Diuji", Buletin Jum'at AL-MARKAZ, Islaamic Centre Bekasi, Edisi 14, tahun I/1425H, Syawal 1425H/Desember 2004).

Organisasi/Lembaga Dakwah se DKI Jakarta yang tergabung dalam FKLD (Forum Komunikasi Lembaga Dakwah), FMLDPI (Forum Musyawarah Lembaga Dakwah Pemuda Islam), KODI (Koordinasi Dakwah Islam) dalam sidang Pleno gabungan FKLD-FMLDPI DKI Jakarta 15 Juli 1999 yang dipimpin oleh H Husein Umar (dari Dewan Dakwah) sebagai Ketua dan Dra Hj Nurni Akma (dari Forsap) sebagai Sekretaris telah merumuskan 'Garis Besar Kebijaksanaan Dakwah" untuk dijalankan oleh semua Organisasi/Lembaga Dakwah.

Untuk mengambil tindakan antisipatif mencegah merebaknya aksi penyelewengan, penyimpangan, penyesatan, pendangkalan ajaran Islam, seyogianya pemuka-pemuka Islam semacam H Husen Umar dengan Dewan dakwahnya, Dra Hj Nurni Akma dengan Forsapnya proaktif secara bersama-sama mempelopori melaksanakan "Garis Besar Kebijaksanaan Dakwah" yang telah dirumuskan, antara lain dengan menerbitkan brosur-brosur yang bersifat aktual, konstektua, konseptual (sesuai dengan tuntutan sikon pada masanya).




Tasyabbuh
Kolor, pantalon, ikat pinggang, singlet, kutang, kemeja, sepatu, sandal, arloji adalah busana Eropa. Eropa itu kuffar. Pada masa Rasulullah saw yang dikenal adalah izar. Qamis ketika itu bukanlah kemeja masa kini. Khuf ketika itu bukanlah sepatu masa kini.

Kursi, meja, piring, sendok, gelas, teko, termos, mangkok adalah perabotan makan Eropa. Mobil, bis, sepeda, kereta api, kapal laut, kapal udara adalah sarana angkutan Eropa. Pada masa Rasulullah saw sarana angkutan yang dikenal adalah unta. Unta ketika itu barangkali sapi atau kerbau atau kuda beban di Indonesia kini. Fulk ketika itu bukanlah kapal laut masa kini. Peluru, pistol, senapan, rudal, roket, mortir, bom, kapal selam, pesawat pemburu adalah sarana perang Eropa. Pada masa Rasulullah yang dikenal adalah pedang, panah, tombak, kuda tempur. Umat Islam masa kini harus memiliki senjata perang yang lebih canggih, lebih menggentarkan, lebih mengerikan dari senjata perang Eropa, sehingga bersih dari tasyabbuh.

Konstruksi rumah, gedung, toilet, sekolah, madrasah, masjid, bahkan Masjid Haram, Masjid Nabawi, Masjid Aqsha dirancang dengan menggunakan sains dan teknologi Eropa. Sains dan teknologi Eropa kini adalah warisan peninggalan budaya Yunani Helenisme tempo dulu. Yunani itu adalah kuffar. Para Salafus Shaleh tak mengenal sains dan teknologi. Para muktazilah (rasionalis) memungut sains dan teknologi Yunani. Pada masa Rasulullah tak dikenal hamam seperti yang dikenal masa kini sebagai kamar mandi.

Pulpen, buku, majalah, iklan, kertas, mesin tulis, mesin cetak, kompuer adalah produk, hasil budaya, sains dan teknologi Eropa. Pada jaman Rasulullah yang dikenal adalah kerta, tapi jangan dibayangkan seperti dengan kertas masa kini. Qalam ketika itu bukanlah pulpen masa kini. Kitab ketika itu bukanlah buku masa kini, tetapi berarti ketetapan, keputusan. Qur:an ketika itu bukanlah berupa buku, tapi tertulis pada berbagai benda-benda keras seperti batu, kayu, tulang yang berserakan.

Inti syar’I dari larangan tasyabbuh dapat disimak dalam ayat QS 8:60, yaitu agar umat Islam dalam segala hal berpenampilan yang dapat menggentarkan musuh Allah dan musuh umat Islam. Berbusana, berkendaraan, berpolitik, berekonomi, berbudaya, bermiliter, berteknologi yang dapat menggentarkan musuh. Membuat musuh dalam segala hal ciut, kecut, ngeper menghadapai umat Islam. Mendesak musuh ke pinggir dalam politik, ekonomi, budaya, militer, teknologi.

Inti syar’I dari larangan tasyabbuh itu lebih pada sikap mental. Sikap mental kuffar dapat disimak antara lain dalam ayat QS 45:23-25, yaitu materialis. Sedangkan sikap mental umat Islam dapat disimak antara lain dalam ayat QS 28:76-77, yaitu memiliki kepekaaan spiritual dan kepekaan sosial. (BKS0410111945).


Muktazilah masa kini
AlImam Abul Hasan AlAsy'ari berlepas diri dari Kaum Asy'ariyin (Abul Hakim bin Amir Abdat : "Risalah Bid'ah, 2001:115). "Saya bukan Marxis" kata Karl Marx (Muhammad Hatta : "Ajaran Marx", 1975:7).

Abul Hasan AlAsy'ari (260-324H) adalah perumus dan pembela faham Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Salah satu kitab karangannya adalah "ArRaaddu 'alal Ibnu Rawandi", Menolak faham Ibnu Rawandi. Ibnu Rawandi adalah orang Muktazilah (KH Siradjuddin Abbas : "Thabaqat AsySyafi'iyah", 1975:94).

Ibnu Rawandi berkata , "Kalau apa yang dibawa oleh para nabi mendukung akal, maka kita tidak memerlukannya, karena kita telah memiliki akal, tapi kalau bertentangan maka lebih-lebih tidak memerlukannya".

Ibnu Rawandi menilai bahwa :shalat, mendi junub, melontar jumrah, dan thawaf, semuanya tidak sejalan dengan akal. Orang Arab - katanya _ dapat menyusun semacam "AlQur:an" (M Quraish Shihab : "Mukjizat AlQur:an", 1997:268-269).

Golongan Muktazilah ("Rasionalisme") terpecah-pecah sampai tidak kurang dari 20 golongan madzhhab. Perselisihan kecil bias menimbulkan golongan madzhab baru. Semuanya dihadapi dan diantang oleh golongan madzhab "Ahli Sunnah" (M Natsir : "Rationalisme dalam Islam dan Reactie atasnya", ALMANAR).

Ulil Abshar Abdallah dengan "jaringan Islam Liberal menganggap bahwa misi Islam yang penting sekarang adalah bagaimana menegakkan keadilan di muka bumi, terutama di bidang politik dan ekonomi (juga di bidang budaya), bukan menegakkan jilbab, mengurung perempuan kembali, memelihara jenggot, memendekkan ujung celana, dan tetek bengek masalah yang menurutnya amat bersifat furu'iyah (KOMPAS, Senin, 18 November 2002). Namun tak jelas bagaimana "keadilan versi Ulil".


De-Islamisasi
From: asrir sutan
Subject : Re De-Islamisasi
Deislamisasi
Deislamisasi adalah aktivitas yang bertujuan dan berupaya untuk menggeser, menggusur, meminggirkan, menyingkirkan, memasung, mencabut Syari’at Islam dari mu’amalah (sosial, kultural, ekonomi, hukum, politik, militer, dll).
Deislamisasi dilakukan terprogram secara sistimatis, terencana, terarah, berkesinambungan.
Diislamisasi dilakukan oleh yang bukan Muslim, dan juga oleh yang mengaku Muslim, bahkan oleh pakar Islam sendiri yang paham akan Kitab Kuning.
Yang bukan Muslim berupaya merusak kepercayaan akan Tauhid, merusak kepercayaan akan Rasul Alla at bangsa biadab. Islam dicap terkebelakang, kolot, anti kemajuan.
Islam dipandang sebagai agama para penghasut, pengikut fanatik. Umat Islam dipandang sebagai orang yang bersedia mati dengan cara kekerasan (teroris), orang-orang bodoh yang secara buas siap menyerbu kemedan peang untuk mendapatkan rampasan perang kalau hidup, ataau mendapatkan surga kalau mati (Orientalis Washington Irving, dalam Muhammad Husain Haekal : "Sejarah Hidup Muhammad", 1984:693, Prof Dr Hamka : "Tafsir Al-Azhar", juzuk VIII, hal 97, juzuk XX, hal 28).
Yang mengaku Muslim berperan aktif menyebarkan isu bahwa Islam itu hanya cocok bagi masyarakat seragam (homogen), tak cocok bagi masyarakat beragam (heterogen). Untuk masyarakat majemuk (heterogen) "harus dicarikan acuan lain yang bisa dipakai bersama dalam komunitas yang pluralistik".
Dengan memanipulasi dalil-dalil syar’I, yang mengaku Muslim sendiri juga turut berperan aktif mengebiri, melumpuhkan, memenggal, mengikis Islam, berupaya mereduksi makna Islam sedemikian rupa.
Dengan memanipulasi makna ayat QS 3:3, yang mengaku Muslim menyebarkan isu bahwa "yang telah beragama jangan didakwahi masuk Islam". "Jangan didakwahkan Islam itu sebagai acuan tunggal (alternatif). Bahwa "Islam itu urusan pribadi, soal nilai". Pemerintah taka berhak memaksa rakyat melaksanakan Syari’at Islam. Aktivitas politik haruslah dipisahkan dari Islam. Padahal Islam itu merupakan satu kesatuan IPOLEKSOSBUDMIL, seperti diungkapkan Sayyid Quthub bahwa "banyak ayat alQur:an yang menggambarkan janji-janji Allah di dunia ini dalam kaitannya dengan komunitas (society, masyarakat) dan bukan individu (perorangan pribadi). "Untuk bisa turunnya berkah dari Allah, seperti yang dijanjikanNya, harus terwujud ketakwaan komunal (jama’ah)", kata Abdul Haris Lc (Majalah UMMI, No.10/IX, 1998, hal 28).
Yang mengaku Muslim aktif menyebar isu bahwa hak individu tidak boleh diintervensi, diatur oleh siapa pun, termasuk oleh Islam sendiri. "Tak ada paksaan dalam Islam". Jangan teraapkan Islam itu secara formal. Jangan formalisasikan ketentuan Syari’at Islam sebagai hukum positif ke dalam peraturan perundangan negara.
Dengan memanipulasi makna keadilan, yang mengaku Muslim menyebarkan isu bahwa "setiap upaya untuk memformalkan ajaran Islam ke dalam peraturan perundang-undangan akan bersifat diskriminatif (zhalim, aniaya, tidak adil) terhadap kelompok yang lain".
Yang mengaku Muslim berupaya menyear isu, bahwa alQur:an tidak pernah secara spesifik berb icara tentang negara Islam (Islamic State), karena itu ide (gagsan tentang negara Islam) tidak ada dan harus tidak ada, karena akan menimbulkan perpecahan bangsa, distabilitas dan disintegrasi nasional. (Siapa yang sebenarnya memecah persatuan antara Timor Barat dan Timor Timur, antara Papua Barat dan Papua Timur, antara Borneo Selatan dan Borneo Utara, antara Korea Selatan dan Korea Utara, antara Yaman Selatan dan Yaman Utara, antara Jerman Barat dan Jerman Timur, dan lain-lain ?)
Yang mengaku Muslim berupaya aktif menyebarkan isu agar tidak melegalisasikan ajaran Islam ke dalam perundang-undangan. "Tak ada ketentuan Fiqih yang mengharuskan negara diatur oleh Islam". Akhirnya Islam diatur oleh negara. Dan paling akhir, Islam tinggal hanya sekedar nama. Taka da mu’amalah, tak ada ‘ubudiyah, tak ada ‘aqidah.
Dengan memanipulasi makna keadilan, yang mengaku Muslim menyebarkan isu bahwa lembaga pendidikan Madrasah, IAIN, Peradilan Agama, RUU Zakat bersifat diskriminatif (zhalim, aniaya, tidak adil). Karenanya haruslah ditolak,
Elite politik Muslim yang mendukung Fraksi Islam paling banyak seperlima, yaitu dari kalangan Muslim di PPP, PBB, PK, PNU, PSII, P. Sedangkan elite politik yang menantang Fraksi Islam paling sedikit empat perlima, yaitu dari kalangan Muslim di PDI-P, Golkar, PAN, PKB, PKP, PDKP, PDR, IKKI, PP, PNI.
Yang mengaku Muslim turut meredusir, menurunkan pengertian jihad dari pengertian istilah (kontekstuaal, keagamaan) menjadi pengertian lughawi (tekstual, grammatikal, leksikal, kebahasaan), yang hanya berarti bekerja keras atau berjuang. Juga pengertian ukhuwah diturunkan dari ukhuwah Islamiyah menjadi ukhuwah syhu’ubiyah/wathaniyah.
Yang mengaku Muslim turut aktif menyerukan agar prinsip-prinsip Islam harus diselaraskan, disesuaikan, diakomodasikan dengan dunia modern (modernisme). Pengundangan sanksi moral oleh negara haruslah ditolak.
Yang mengaku Muslim juga menuding, mencap Islam sekretarian, primodial, ekstrim, fundamentalisme. Umat Islam dituding berpikiran picik, sempit, sontok, sektoral, parsial.
Yang mengaku Muslim sendiri menyerukan bahwa umat Islam haruslah berpikiran luas dalam skala besar, menjangkau kepentingan nasional, tidak berpikiran sempit, hanya mementingkan kepentingan Islam.
Jebakan deislamisasi : Yang ya’lu, yang unggul adalah Nasionalisme, bukan Islam. Haruslah berpikir nasionalis, jangan Islami.
Yang mengaku Muslim juga melakukan sinkretisasi, mencampurkan yang bukan Islam ke dalam Islam (talbisul haq bil bathil). Tokoh-tokoh masa kini yang dijadikan rujukandan acuan dalam sinkretisasi antara lain Ir Mahmud Muhammad Thaha, Abdullah Naim (keduanya tokoh pluralis Sudan yang menentang keras islamisasi pemerintahan). Hasan Hanafi (tokoh kiri Mesir yang menyatakan bahwa hakikat agama itu tidak ada), Muhammad Imarah, Rifa’at Thahthawi dan lain-lain tokoh sekular yang menyandang predikat Islam (Islam di permukaan, ‘ala harfin, tak lebih dari tenggorokan). Rifa’ah Thahthawi dikirim untuk belajar di Perancis. Di sana ia tinggal selama lima tahun (1826-1831). Sarjana lain yang tugas belajar di Perancis ialah Khairuddin alTunisia. Di Perancis ia menghabiskan waktu empat tahun (1852-1856). Setelah kembali keduanaya menyebarkan ide-ide untuk menata masyarakat dengan dasar sekularisme rasional (WAMY : "Gerakan Pemikiran dan Keagamaan", hal 26).
Pernah Rasulullah didatangi seseorang yang cekung matanya, menonjol tulang pipinya dan nonong dahinya, lebat jenggotnya, botak kepalanya. Orang itu berkata : "Hai Muhammad, bertakwalah kepada Allah" (Berlaku adillah dalam pembagian ghanimah). Rasulullah menjawab : "Siapakah yang ta’at kepada Allah, jika aku maksiat (tidak berlaku adil). Apakah kalian tidak percaya padaku, sedang Allah telah mempercayai aku terhadap penduduk bumi ?". Setelah oang itu pergi Rasulullah berkata : "Sesungguhnya akan keluar dari turunan orang itu orang-orang yang pandai (lancar) membaca Kitab Allah (alQur:an), tetapi tidak lebih dari tenggorokannya, mereka terlepas (keluar) dari agama (Islam), bagaikan anak panah terlepas dari busurnya (ketika dilepaskan), mereka akan membunuh orang-orang Islam dan membiarkan orang-orang kafir" (deislamisasi) (Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi : "AlLukluk walMarjan", hadits no.639-642, HR Bukhari, Muslim dari Abi Sa’id alKhudri, tentang "Orang-orang Khawarij dan sifat mereka".
Orang-orang Timur membasmi musuh dengan memenggal kepalanya. Tetapi Barat dan pendukungnya hanya dengan merobah hati dan tabi’atnya (Abul Hasan Ali alHusni anNadwi : "Pertarungan antara Alam Fikiran Islam dengan Alam Fikiran Barat", 1983:162).

(1)
--- asrir sutan wrote:
Deislamisasi

Deislamisasi adalah aktivitas yang bertujuan dan
berupaya untuk menggeser, menggusur, meminggirkan,
menyingkirkan, memasung, mencabut Syari’at Islam
dari
mu’amalah (sosial, kultural, ekonomi, hukum,
politik,
militer, dll).

Deislamisasi dilakukan terprogram secara
sistimatis,
terencana, terarah, berkesinambungan.

Diislamisasi dilakukan oleh yang bukan Muslim, dan
juga oleh yang mengaku Muslim, bahkan oleh pakar
Islam
sendiri yang paham akan Kitab Kuning.

Yang bukan Muslim berupaya merusak kepercayaan akan
Tauhid, merusak kepercayaan akan Rasul Allah,
mencaci-maki, menjelek-jelekkan Islam dan umat
Islam.
Berupaya merusak kepercayaan akan Kitab Allah.
Berupaya merusak kepercayaan akan Takdir Allah,
merusak kepercayaan akan hari pembalasan.

Yang bukan Muslim berupaya menyebar isu neatif,
menjelekkan dan menghina serta merendahkan Islam,
Qur:an dan Nabi Muhammad.

Islam digambarkan sebagai agama orang primitif,
barbar, sadis, bengis, beringas, sangar, seram,
brutal, haus darah, penumpah darah, kejam, jorok,
dekil, kumal, yang cocok buat bangsa biadab. Islam
dicap terkebelakang, kolot, anti kemajuan.

Islam dipandang sebagai agama para penghasut,
pengikut fanatik. Umat Islam dipandang sebagai orang
yang bersedia mati dengan cara kekerasan (teroris),
orang-orang bodoh yang secara buas siap menyerbu
kemedan peang untuk mendapatkan rampasan perang
kalau
hidup, ataau mendapatkan surga kalau mati
(Orientalis
Washington Irving, dalam Muhammad Husain Haekal :
“Sejarah Hidup Muhammad”, 1984:693, Prof Dr Hamka :
“Tafsir Al-Azhar”, juzuk VIII, hal 97, juzuk XX, hal
28).

Yang mengaku Muslim berperan aktif menyebarkan isu
bahwa Islam itu hanya cocok bagi masyarakat seragam
(homogen), tak cocok bagi masyarakat beragam
(heterogen). Untuk masyarakat majemuk (heterogen)
“harus dicarikan acuan lain yang bisa dipakai
bersama
dalam komunitas yang pluralistik”.

Dengan memanipulasi dalil-dalil syar’I, yang
mengaku
Muslim sendiri juga turut berperan aktif mengebiri,
melumpuhkan, memenggal, mengikis Islam, berupaya
mereduksi makna Islam sedemikian rupa.

Dengan memanipulasi makna ayat QS 3:3, yang mengaku
Muslim menyebarkan isu bahwa “yang telah beragama
jangan didakwahi masuk Islam”. “Jangan didakwahkan
Islam itu sebagai acuan tunggal (alternatif). Bahwa
“Islam itu urusan pribadi, soal nilai”. Pemerintah
taka berhak memaksa rakyat melaksanakan Syari’at
Islam. Aktivitas politik haruslah dipisahkan dari
Islam. Padahal Islam itu merupakan satu kesatuan
IPOLEKSOSBUDMIL, seperti diungkapkan Sayyid Quthub
bahwa ak boleh diintervensi, diatur oleh siapa
pun, termasuk oleh Islam sendiri. “Tak ada paksaan
dalam Islam”. Jangan teraapkan Islam itu secara
formal. Jangan formalisasikan ketentuan Syari’at
Islam
sebagai hukum positif ke dalam peraturan perundangan
negara.

Dengan memanipulasi makna keadilan, yang mengaku
Muslim menyebarkan isu bahwa “setiap upaya untuk
memformalkan ajaran Islam ke dalam peraturan
, grammatikal, leksikal, kebahasaan), yang
hanya berarti bekerja keras atau berjuang. Juga
pengertian ukhuwah diturunkan dari ukhuwah Islamiyah
menjadi ukhuwah syhu’ubiyah/wathaniyah.

Yang mengaku Muslim turut aktif menyerukan agar
prinsip-prinsip Islam harus diselaraskan,
disesuaikan,
diakomodasikan dengan dunia modern (modernisme).
Pengundangan sanksi moral oleh negara haruslah
ditolak.

Yang mengaku Muslim juga menuding, mencap Islam
sekretarian, primodial, ekstrim, fundamentalisme.
Umat
Islam dituding berpikiran picik, sempit, sontok,
sektoral, parsial.

Yang mengaku Muslim sendiri menyerukan bahwa umat
Islam haruslah berpikiran luas dalam skala besar,
menjangkau kepentingan nasional, tidak berpikiran
sempit, hanya mementingkan kepentingan Islam.

Jebakan deislamisasi : Yang ya’lu, yang unggul
adalah
Nasionalisme, bukan Isl agama itu tidak ada),
Muhammad Imarah, Rifa’at Thahthawi dan lain-lain
tokoh
sekular yang menyandang predikat Islam (Islam di
permukaan, ‘ala harfin, tak lebih dari tenggorokan).
Rifa’ah Thahthawi dikirim untuk belajar di Perancis.
Di sana ia tinggal selama lima tahun (1826-1831).
Sarjana lain yang tugas belajar di Perancis ialah
Khairuddin alTunisia. Di Perancis ia menghabiskan
waktu empat tahun (1852-1856). Setelah kembali
ke

=== message truncated ===

(2)
Date: Tue, 7 Jan 2003 22:58:48 -0800 (PST)
From: "Musa Arsyad"

Bung Asrir,

Tulisan Anda bagus sekali. Secara keseluruhan saya
tidak melihat ada masalah dengan data-data dan
rentetan dalil yang Anda tulis. Masalahnya mungkin
lebih pada cara Anda menerjemahkan data dan semua
dalil itu. Kalau saja Anda mau mencoba sudut pandang
lain, maka Islam sebagaimana yang menelan sayur
dan telor mentah plus sesendok minyak goreng, dan
mengocoknya di mulut hanya dengan mengandalkan air
liur), sampai ia mengalami proses olahan oleh para
pembacanya. Kitab suci diharapkan menjadi matang
setelah dimasak di kepala para pemeluknya. Sebagai
media yang memasakkan, kepala dengan sendirinya harus
diisi dengan berbagai piranti yang membantu proses
pemasakan. Piranti itu tidak jauh-jauh dari kemampuan
manusiawi saja, yang oleh Yang Maha Baik makanan yang dikerumuni lalat). Islam yang
bau-lemah-membusuk ini, apa boleh buat, terpaksa
diisolir dan dionggokkan ke tepi. Maka menjelmalah apa
yang oleh Bung Asrir disebut sebagai deislamisasi.
Deislamisasi adalah proses penyingkiran Islam, karena
berbahaya bagi keselamatan dan kesehatan manusia.

Islam terinjak-injak itu tidak lain adalah Islam
prematur yang tersajikan karena proses pemasakan yang
tidak selesai, atau dimasak tanpa piranti yang
memadai. Tapi sekali lagi, ini sama sekali bukan
persoalan Islam atau bahan mentahnya, ini adalah
persoalan para koki yang tidak pandai mengolah
masakan. Tidak ada yang salah dan tidak pernah ada
masalah -- karena memang kebutuhan dasar -- dengan
bahan-bahan mentah (Anda boleh mengiyakan atau
menidakkan pernyataan ini). Tapi bagaimana halnya
dengan hasil olahan yang kurang matang?

Ya nggak Bung Sahrir, mana ada orang mau makan barang
basi.
From: asrir sutan
Sumber Syari’at Islam Di Mata Pengamat
Di antara kalangan Jaringan Islam Liberal memandang Sumber Syari’at Islam bagaikan bahan mentah hidangan yang masih harus diproses, diolah lebih dahulu agar dapat disantap, dirasa, dinikmati. Menurutnya segala sesuatu yang datang dari alQur:an dan Sunnah harus ditimbang dulu sebelum diterima. "Sami’na wa fakkarna, baru wa atha’na" (kami dengar, kami pikirkan baru kami ta’ati) (SABILI, No.25.Th.IX, 13 Juni 2002, hal 82).
Di antara kalangan Ikhwanul Muslimin (Sayid Quthub) memandang Sumber Syari’at Islam bagaikan komando, instruksi, perintah yang harus siap, segera dilaksanakan, diamalkan, bukan untuk dirasakan, dinikmati. Segala sesuatu yang diminta Qur:an haruslah siap, seera diamalkan, dilaksanakan, ditunaikan dalam sistim hidup sosial, politik, ekonomi, kultural, hukum, militer, dan lain-lain (Sayid Quthub : "Petunjuk Jalan", terjemahan A Rahman Zainuddin MA, tertian alMa’arif, Bandung, hal 18).
Di antara kalangan Islam Literal memandang Sumber Syari’at Islam bagaikan buku petunjuk (guide book, guideline, operation manual) yang harus diikuti tanpa membahas, mempersoalkan, mempermasalahkan, memperdebatkan, mendiskusikan isinya. "Kitab alQur:an ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa" (QS 2:2). "Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu. Tidak ada Tuhan selain Dia. Dan berpalinglah dari orang-orang musyrik" (QS 6:106).
AlQur:an sebagai Sumber Syari’at Islam menjelaskan, bahwa dalam menghadapi alQur:an terdapat tiga kelompok orang. Pertama, kelompok Mukmin, yang menerima alQur:an sebagaia petunjuk secara utuh tanpa debat, antah, sanggah. Sikapnya "sami’na wa atha’na". Ia mengakui bahwa alQur:an itu adalah kebenaran (haq), serta mengikuti petunjukNya (QS 2:121). Kedua, kelompok kafir, yang sama sekali menolak alQur:an sebagai petunjuk. Ketiga, kelompok munafik, yang bersikap "sami’na wa ‘shaina" (kami dengar, tapi tak kami ikuti) (Depag RI : "AlQur:an Dan Terjemahnya", 1984/1985:8-11, Terjemah QS 2:1-20).
"Perumpamaan orang mukmin yang membaca alQur:an dan mengamalkan isinya, bagaikan buah jeruk manis, rasanya enak dan baunya harum. Sedangkan perumpamaan orang munafik yang membaca alQur;an, bagaikan minyak wangi, baunya harum tetapi rasanya pahit" (Dari HSR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah, Darimi, Ahmad dari Abu Musa alAsy’ari, dalam Ali Mustafa Yaqub : "Nasihat Nabi kepada Pembaca dan Penghapal Qur:an", 1991:20).
Hubungan antara Sumber Syari’at Islam dengan Syari’at Islam itu dipandang agaikan hubungan antara poros, sumber lingkaran dengan lingkarannya. Sumber Syari’at Islam sebagai poros, sumber, pusat bersifat tetap, tidak berubah, tidak berkembang. Sedangkan Syari’at Islam berubah, berkembang, berputar, beredar sepanjang lingkaran edarnya.
Dalam menyikapi alQur:an sebagai Sumber Syari’at Islam, umat Islam secara garis besar terbelah dua. Pertama, kelompok yang menerima (muthi:in, literal, tekstual, orthodox, formal, tradisional), Kedua, yang menolak (aba:an, liberal, konstektual, deformal, sinkeretis, rasional) (H Rosihan Anwar : "Santri Dan Abangan", GELANGGANG, No.1 Desember 1966).

(3)
From: Agung Dharmawan (PDD)
Sent: Monday, January 06, 2003 1:24 PM

From: asrir sutan [SMTP:asrirs@yahoo.com]

AS--------
Orang-orang Timur membasmi musuh dengan memenggal
kepalanya. Tetapi Barat dan pendukungnya hanya dengan
merobah hati dan tabi'atnya (Abul Hasan Ali alHusni
anNadwi : "Pertarungan antara Alam Fikiran Islam
dengan Alam Fikiran Barat", 1983:162).
[Agung Dharmawan (PDD)]
-----------------------------------------
Disinilah letak keunggulan pemikiran Barat. Sebisa mungkin
menghindari
bentrok fisik untuk menaklukan Musuh.
Kita nggak usah malu untuk Belajar ber "Strategy", belajar ber
"Diplomasi", dan lebih folus lagi...menguasai teknik-teknik
menaklukan
musuh (Barat ??) dengan merobah hati mereka untuk condong kepada
Islam.....

salam
/ad


From: "Agung Dharmawan (PDD)"
Sent: Tuesday, January 07, 2003 8:21 PM
Subject: RE: Deislamisasi

Jangan lama-lama di sana....
nanti Yahudi-yahudinya keenakan mengeruk pajak orang Indonesia
(muslim).
(eh...emangnya ikhwan ini berada dimana sech...??)

(4)
From: "Mohamed Nepolian Ghozali (PDD)"
Date: Mon, 6 Jan 2003 14:03:13 +0400

Muhamad N. Ghozali
Sebenarnya semua manusia fitrahnya adalah islam (berserah diri) sejak
pertama kali ruh ditiupkan, karena factor orang tua, lingkungan dan
pendidikan yang membuat mereka menjadi beragama lain atau tidak
beragama
(1 milyar penduduk Cina). Mereka (Barat) kayaknya berstrategy untuk
mengalahkan Islam?, tapi yang yang mereka dapatkan adalah jasad
berlabel
islam, karena sudah jelas diatur dalam Al Qur'an dan Hadist bahwa
mulai
dari tarikan nafas sampai pemilihan presiden ada aturannya dalam
islam.
Akan tetapi aplikasi adalah tergantung keimanan masing2, dan sang
eksekutor tetaplah Allah SWT. Tidak ada jaminan apabila suatu negara
yg
berundang2kan Al Qur'an dan Hadist maka semua penduduk yang beriman
akan
lansung ke Al'Jannah, karena semua keputusan adalah karena belas
kasihan
Allah SWT

From: Mohamed Nepolian Ghozali (PDD)
Sent: Tuesday, January 07, 2003 1:18 PM

Hallo Ikhwan Achmad, bagaimana kabarnya disana apa masih bertahan di
tengah masyarakat disana,
Wass. Wr. Wb.

(5)
From: achmad ardiansyah [mailto:achmad@alabama.usa.com]
Sent: Tuesday, January 07, 2003 11:32 AM

Kalau sudah demikian mengetahui bahwa seluruh aktivitas kehidupan
harus
tunduk pada aturan Allah SWT, maka mestinya semua yang mengaku muslim
dan
mukmin tunduk dan patuh untuk menjalankan semua perintahnya dan
menjauhi
larangannya, sehingga secara jama'i sekaligus sbg fardhu 'ain bagi
masing-masing individu untuk li i'laikalimatillah (menjunjung kalimat
Allah SWT), apapun fungsi dan tugas masing-masing individu yang
terpenting
ketaqwaannya.
Banyak di Indonesia ini yang Doktor, Prof dll hanya menjual murah
ideologinya untuk kepentingan orang Barat (Yahudi).

(6)
Date: Tue, 07 Jan 2003 20:43:05 +1100
From: "Luthfi Assyaukanie"

Please, jangan reply all, saya kebagian sampahnya nih.

Luthfi

(7)
Date: 7 Jan 2003
From : “miriam abdullah”

comment:
Deislamisasi adalah umat yang mengaku murni Islam
tetapi menebar kebencian, atas nama Syariat Islam,
terhadap semua orang baik Muslim dan non muslim.
Deislamisasi adalah orang Islam yang melepaskan
substansi Islam demi memperjuangkan topeng Islam
padahal dibalik itu aalah nafsu pada kekuasaan dan
haus darah. Stopppppp!!! ngirim email kebencian itu
kepada saya hai munafik dan barbar.

Miriam Abdullah
From: asrir sutan
Manusia Munafik
Ada pendapat dari kalangan ulama, bahwa orang-orang munafik pada masa dahulu sama dengan orang-orang sekuler (‘ilmaniyun) sekarang. ‘Ilmaniyun dengan paham sekularismenya - yang berupaya memisahkan dunia dengan agama - senantiasa berusaha untuk mempersempit gerak dan aktivitas keIslaman. Padahal, ajaran Islam itu syamil dan kaffah, universal dan komprehensif (simak QS 2:208).
Manusia munafiq, bahasa dan ungkapan-ungkapannya bernada Islam. Penampilannya pun mengindikasikannya Islam. Namun usahanya melemahkan perjuangan Islam. Menghalangi segala gerak-gerik, program dan aktivitas yang berorientasikan Islam. Mereka adalah prototipe "musuh dalam selimut".
Barangsiapa yang perilaku, sikap, ideologi dan cara berpikirnya menyerupai manusia munafiq, maka ia sebenarnya pun termasuk manusia munafiq. Sabda Rasulullah "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka".
Manusia munafiq menolak berhukum kepada Allah dan RasulNya. Bahkan senantiasa menghalangi seluruh program yang menuju ke arah itu (simak A’aidl Abdullah alQarni : "30 Tanda-Tanda Orang Munafiq", 1993

0 Comments:

Post a Comment

<< Home