Milis bincang-bincang Masyarakat Adil Makmur Situs Koleksi Informasi Serbaneka

Sunday, January 01, 2006

Re :De-Islamisasi

Back to geocities.com/asrirs


From: asrir sutan
Subject : Re De-Islamisasi
Deislamisasi
Deislamisasi adalah aktivitas yang bertujuan dan berupaya untuk menggeser, menggusur, meminggirkan, menyingkirkan, memasung, mencabut Syari’at Islam dari mu’amalah (sosial, kultural, ekonomi, hukum, politik, militer, dll).
Deislamisasi dilakukan terprogram secara sistimatis, terencana, terarah, berkesinambungan.
Diislamisasi dilakukan oleh yang bukan Muslim, dan juga oleh yang mengaku Muslim, bahkan oleh pakar Islam sendiri yang paham akan Kitab Kuning.
Yang bukan Muslim berupaya merusak kepercayaan akan Tauhid, merusak kepercayaan akan Rasul Alla at bangsa biadab. Islam dicap terkebelakang, kolot, anti kemajuan.
Islam dipandang sebagai agama para penghasut, pengikut fanatik. Umat Islam dipandang sebagai orang yang bersedia mati dengan cara kekerasan (teroris), orang-orang bodoh yang secara buas siap menyerbu kemedan peang untuk mendapatkan rampasan perang kalau hidup, ataau mendapatkan surga kalau mati (Orientalis Washington Irving, dalam Muhammad Husain Haekal : "Sejarah Hidup Muhammad", 1984:693, Prof Dr Hamka : "Tafsir Al-Azhar", juzuk VIII, hal 97, juzuk XX, hal 28).
Yang mengaku Muslim berperan aktif menyebarkan isu bahwa Islam itu hanya cocok bagi masyarakat seragam (homogen), tak cocok bagi masyarakat beragam (heterogen). Untuk masyarakat majemuk (heterogen) "harus dicarikan acuan lain yang bisa dipakai bersama dalam komunitas yang pluralistik".
Dengan memanipulasi dalil-dalil syar’I, yang mengaku Muslim sendiri juga turut berperan aktif mengebiri, melumpuhkan, memenggal, mengikis Islam, berupaya mereduksi makna Islam sedemikian rupa.
Dengan memanipulasi makna ayat QS 3:3, yang mengaku Muslim menyebarkan isu bahwa "yang telah beragama jangan didakwahi masuk Islam". "Jangan didakwahkan Islam itu sebagai acuan tunggal (alternatif). Bahwa "Islam itu urusan pribadi, soal nilai". Pemerintah taka berhak memaksa rakyat melaksanakan Syari’at Islam. Aktivitas politik haruslah dipisahkan dari Islam. Padahal Islam itu merupakan satu kesatuan IPOLEKSOSBUDMIL, seperti diungkapkan Sayyid Quthub bahwa "banyak ayat alQur:an yang menggambarkan janji-janji Allah di dunia ini dalam kaitannya dengan komunitas (society, masyarakat) dan bukan individu (perorangan pribadi). "Untuk bisa turunnya berkah dari Allah, seperti yang dijanjikanNya, harus terwujud ketakwaan komunal (jama’ah)", kata Abdul Haris Lc (Majalah UMMI, No.10/IX, 1998, hal 28).
Yang mengaku Muslim aktif menyebar isu bahwa hak individu tidak boleh diintervensi, diatur oleh siapa pun, termasuk oleh Islam sendiri. "Tak ada paksaan dalam Islam". Jangan teraapkan Islam itu secara formal. Jangan formalisasikan ketentuan Syari’at Islam sebagai hukum positif ke dalam peraturan perundangan negara.
Dengan memanipulasi makna keadilan, yang mengaku Muslim menyebarkan isu bahwa "setiap upaya untuk memformalkan ajaran Islam ke dalam peraturan perundang-undangan akan bersifat diskriminatif (zhalim, aniaya, tidak adil) terhadap kelompok yang lain".
Yang mengaku Muslim berupaya menyear isu, bahwa alQur:an tidak pernah secara spesifik berb icara tentang negara Islam (Islamic State), karena itu ide (gagsan tentang negara Islam) tidak ada dan harus tidak ada, karena akan menimbulkan perpecahan bangsa, distabilitas dan disintegrasi nasional. (Siapa yang sebenarnya memecah persatuan antara Timor Barat dan Timor Timur, antara Papua Barat dan Papua Timur, antara Borneo Selatan dan Borneo Utara, antara Korea Selatan dan Korea Utara, antara Yaman Selatan dan Yaman Utara, antara Jerman Barat dan Jerman Timur, dan lain-lain ?)
Yang mengaku Muslim berupaya aktif menyebarkan isu agar tidak melegalisasikan ajaran Islam ke dalam perundang-undangan. "Tak ada ketentuan Fiqih yang mengharuskan negara diatur oleh Islam". Akhirnya Islam diatur oleh negara. Dan paling akhir, Islam tinggal hanya sekedar nama. Taka da mu’amalah, tak ada ‘ubudiyah, tak ada ‘aqidah.
Dengan memanipulasi makna keadilan, yang mengaku Muslim menyebarkan isu bahwa lembaga pendidikan Madrasah, IAIN, Peradilan Agama, RUU Zakat bersifat diskriminatif (zhalim, aniaya, tidak adil). Karenanya haruslah ditolak,
Elite politik Muslim yang mendukung Fraksi Islam paling banyak seperlima, yaitu dari kalangan Muslim di PPP, PBB, PK, PNU, PSII, P. Sedangkan elite politik yang menantang Fraksi Islam paling sedikit empat perlima, yaitu dari kalangan Muslim di PDI-P, Golkar, PAN, PKB, PKP, PDKP, PDR, IKKI, PP, PNI.
Yang mengaku Muslim turut meredusir, menurunkan pengertian jihad dari pengertian istilah (kontekstuaal, keagamaan) menjadi pengertian lughawi (tekstual, grammatikal, leksikal, kebahasaan), yang hanya berarti bekerja keras atau berjuang. Juga pengertian ukhuwah diturunkan dari ukhuwah Islamiyah menjadi ukhuwah syhu’ubiyah/wathaniyah.
Yang mengaku Muslim turut aktif menyerukan agar prinsip-prinsip Islam harus diselaraskan, disesuaikan, diakomodasikan dengan dunia modern (modernisme). Pengundangan sanksi moral oleh negara haruslah ditolak.
Yang mengaku Muslim juga menuding, mencap Islam sekretarian, primodial, ekstrim, fundamentalisme. Umat Islam dituding berpikiran picik, sempit, sontok, sektoral, parsial.
Yang mengaku Muslim sendiri menyerukan bahwa umat Islam haruslah berpikiran luas dalam skala besar, menjangkau kepentingan nasional, tidak berpikiran sempit, hanya mementingkan kepentingan Islam.
Jebakan deislamisasi : Yang ya’lu, yang unggul adalah Nasionalisme, bukan Islam. Haruslah berpikir nasionalis, jangan Islami.
Yang mengaku Muslim juga melakukan sinkretisasi, mencampurkan yang bukan Islam ke dalam Islam (talbisul haq bil bathil). Tokoh-tokoh masa kini yang dijadikan rujukandan acuan dalam sinkretisasi antara lain Ir Mahmud Muhammad Thaha, Abdullah Naim (keduanya tokoh pluralis Sudan yang menentang keras islamisasi pemerintahan). Hasan Hanafi (tokoh kiri Mesir yang menyatakan bahwa hakikat agama itu tidak ada), Muhammad Imarah, Rifa’at Thahthawi dan lain-lain tokoh sekular yang menyandang predikat Islam (Islam di permukaan, ‘ala harfin, tak lebih dari tenggorokan). Rifa’ah Thahthawi dikirim untuk belajar di Perancis. Di sana ia tinggal selama lima tahun (1826-1831). Sarjana lain yang tugas belajar di Perancis ialah Khairuddin alTunisia. Di Perancis ia menghabiskan waktu empat tahun (1852-1856). Setelah kembali keduanaya menyebarkan ide-ide untuk menata masyarakat dengan dasar sekularisme rasional (WAMY : "Gerakan Pemikiran dan Keagamaan", hal 26).
Pernah Rasulullah didatangi seseorang yang cekung matanya, menonjol tulang pipinya dan nonong dahinya, lebat jenggotnya, botak kepalanya. Orang itu berkata : "Hai Muhammad, bertakwalah kepada Allah" (Berlaku adillah dalam pembagian ghanimah). Rasulullah menjawab : "Siapakah yang ta’at kepada Allah, jika aku maksiat (tidak berlaku adil). Apakah kalian tidak percaya padaku, sedang Allah telah mempercayai aku terhadap penduduk bumi ?". Setelah oang itu pergi Rasulullah berkata : "Sesungguhnya akan keluar dari turunan orang itu orang-orang yang pandai (lancar) membaca Kitab Allah (alQur:an), tetapi tidak lebih dari tenggorokannya, mereka terlepas (keluar) dari agama (Islam), bagaikan anak panah terlepas dari busurnya (ketika dilepaskan), mereka akan membunuh orang-orang Islam dan membiarkan orang-orang kafir" (deislamisasi) (Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi : "AlLukluk walMarjan", hadits no.639-642, HR Bukhari, Muslim dari Abi Sa’id alKhudri, tentang "Orang-orang Khawarij dan sifat mereka".
Orang-orang Timur membasmi musuh dengan memenggal kepalanya. Tetapi Barat dan pendukungnya hanya dengan merobah hati dan tabi’atnya (Abul Hasan Ali alHusni anNadwi : "Pertarungan antara Alam Fikiran Islam dengan Alam Fikiran Barat", 1983:162).

(1)
--- asrir sutan wrote:
Deislamisasi

Deislamisasi adalah aktivitas yang bertujuan dan
berupaya untuk menggeser, menggusur, meminggirkan,
menyingkirkan, memasung, mencabut Syari’at Islam
dari
mu’amalah (sosial, kultural, ekonomi, hukum,
politik,
militer, dll).

Deislamisasi dilakukan terprogram secara
sistimatis,
terencana, terarah, berkesinambungan.

Diislamisasi dilakukan oleh yang bukan Muslim, dan
juga oleh yang mengaku Muslim, bahkan oleh pakar
Islam
sendiri yang paham akan Kitab Kuning.

Yang bukan Muslim berupaya merusak kepercayaan akan
Tauhid, merusak kepercayaan akan Rasul Allah,
mencaci-maki, menjelek-jelekkan Islam dan umat
Islam.
Berupaya merusak kepercayaan akan Kitab Allah.
Berupaya merusak kepercayaan akan Takdir Allah,
merusak kepercayaan akan hari pembalasan.

Yang bukan Muslim berupaya menyebar isu neatif,
menjelekkan dan menghina serta merendahkan Islam,
Qur:an dan Nabi Muhammad.

Islam digambarkan sebagai agama orang primitif,
barbar, sadis, bengis, beringas, sangar, seram,
brutal, haus darah, penumpah darah, kejam, jorok,
dekil, kumal, yang cocok buat bangsa biadab. Islam
dicap terkebelakang, kolot, anti kemajuan.

Islam dipandang sebagai agama para penghasut,
pengikut fanatik. Umat Islam dipandang sebagai orang
yang bersedia mati dengan cara kekerasan (teroris),
orang-orang bodoh yang secara buas siap menyerbu
kemedan peang untuk mendapatkan rampasan perang
kalau
hidup, ataau mendapatkan surga kalau mati
(Orientalis
Washington Irving, dalam Muhammad Husain Haekal :
“Sejarah Hidup Muhammad”, 1984:693, Prof Dr Hamka :
“Tafsir Al-Azhar”, juzuk VIII, hal 97, juzuk XX, hal
28).

Yang mengaku Muslim berperan aktif menyebarkan isu
bahwa Islam itu hanya cocok bagi masyarakat seragam
(homogen), tak cocok bagi masyarakat beragam
(heterogen). Untuk masyarakat majemuk (heterogen)
“harus dicarikan acuan lain yang bisa dipakai
bersama
dalam komunitas yang pluralistik”.

Dengan memanipulasi dalil-dalil syar’I, yang
mengaku
Muslim sendiri juga turut berperan aktif mengebiri,
melumpuhkan, memenggal, mengikis Islam, berupaya
mereduksi makna Islam sedemikian rupa.

Dengan memanipulasi makna ayat QS 3:3, yang mengaku
Muslim menyebarkan isu bahwa “yang telah beragama
jangan didakwahi masuk Islam”. “Jangan didakwahkan
Islam itu sebagai acuan tunggal (alternatif). Bahwa
“Islam itu urusan pribadi, soal nilai”. Pemerintah
taka berhak memaksa rakyat melaksanakan Syari’at
Islam. Aktivitas politik haruslah dipisahkan dari
Islam. Padahal Islam itu merupakan satu kesatuan
IPOLEKSOSBUDMIL, seperti diungkapkan Sayyid Quthub
bahwa ak boleh diintervensi, diatur oleh siapa
pun, termasuk oleh Islam sendiri. “Tak ada paksaan
dalam Islam”. Jangan teraapkan Islam itu secara
formal. Jangan formalisasikan ketentuan Syari’at
Islam
sebagai hukum positif ke dalam peraturan perundangan
negara.

Dengan memanipulasi makna keadilan, yang mengaku
Muslim menyebarkan isu bahwa “setiap upaya untuk
memformalkan ajaran Islam ke dalam peraturan
, grammatikal, leksikal, kebahasaan), yang
hanya berarti bekerja keras atau berjuang. Juga
pengertian ukhuwah diturunkan dari ukhuwah Islamiyah
menjadi ukhuwah syhu’ubiyah/wathaniyah.

Yang mengaku Muslim turut aktif menyerukan agar
prinsip-prinsip Islam harus diselaraskan,
disesuaikan,
diakomodasikan dengan dunia modern (modernisme).
Pengundangan sanksi moral oleh negara haruslah
ditolak.

Yang mengaku Muslim juga menuding, mencap Islam
sekretarian, primodial, ekstrim, fundamentalisme.
Umat
Islam dituding berpikiran picik, sempit, sontok,
sektoral, parsial.

Yang mengaku Muslim sendiri menyerukan bahwa umat
Islam haruslah berpikiran luas dalam skala besar,
menjangkau kepentingan nasional, tidak berpikiran
sempit, hanya mementingkan kepentingan Islam.

Jebakan deislamisasi : Yang ya’lu, yang unggul
adalah
Nasionalisme, bukan Isl agama itu tidak ada),
Muhammad Imarah, Rifa’at Thahthawi dan lain-lain
tokoh
sekular yang menyandang predikat Islam (Islam di
permukaan, ‘ala harfin, tak lebih dari tenggorokan).
Rifa’ah Thahthawi dikirim untuk belajar di Perancis.
Di sana ia tinggal selama lima tahun (1826-1831).
Sarjana lain yang tugas belajar di Perancis ialah
Khairuddin alTunisia. Di Perancis ia menghabiskan
waktu empat tahun (1852-1856). Setelah kembali
ke

=== message truncated ===

(2)
Date: Tue, 7 Jan 2003 22:58:48 -0800 (PST)
From: "Musa Arsyad"

Bung Asrir,

Tulisan Anda bagus sekali. Secara keseluruhan saya
tidak melihat ada masalah dengan data-data dan
rentetan dalil yang Anda tulis. Masalahnya mungkin
lebih pada cara Anda menerjemahkan data dan semua
dalil itu. Kalau saja Anda mau mencoba sudut pandang
lain, maka Islam sebagaimana yang menelan sayur
dan telor mentah plus sesendok minyak goreng, dan
mengocoknya di mulut hanya dengan mengandalkan air
liur), sampai ia mengalami proses olahan oleh para
pembacanya. Kitab suci diharapkan menjadi matang
setelah dimasak di kepala para pemeluknya. Sebagai
media yang memasakkan, kepala dengan sendirinya harus
diisi dengan berbagai piranti yang membantu proses
pemasakan. Piranti itu tidak jauh-jauh dari kemampuan
manusiawi saja, yang oleh Yang Maha Baik makanan yang dikerumuni lalat). Islam yang
bau-lemah-membusuk ini, apa boleh buat, terpaksa
diisolir dan dionggokkan ke tepi. Maka menjelmalah apa
yang oleh Bung Asrir disebut sebagai deislamisasi.
Deislamisasi adalah proses penyingkiran Islam, karena
berbahaya bagi keselamatan dan kesehatan manusia.

Islam terinjak-injak itu tidak lain adalah Islam
prematur yang tersajikan karena proses pemasakan yang
tidak selesai, atau dimasak tanpa piranti yang
memadai. Tapi sekali lagi, ini sama sekali bukan
persoalan Islam atau bahan mentahnya, ini adalah
persoalan para koki yang tidak pandai mengolah
masakan. Tidak ada yang salah dan tidak pernah ada
masalah -- karena memang kebutuhan dasar -- dengan
bahan-bahan mentah (Anda boleh mengiyakan atau
menidakkan pernyataan ini). Tapi bagaimana halnya
dengan hasil olahan yang kurang matang?

Ya nggak Bung Sahrir, mana ada orang mau makan barang
basi.
From: asrir sutan
Sumber Syari’at Islam Di Mata Pengamat
Di antara kalangan Jaringan Islam Liberal memandang Sumber Syari’at Islam bagaikan bahan mentah hidangan yang masih harus diproses, diolah lebih dahulu agar dapat disantap, dirasa, dinikmati. Menurutnya segala sesuatu yang datang dari alQur:an dan Sunnah harus ditimbang dulu sebelum diterima. "Sami’na wa fakkarna, baru wa atha’na" (kami dengar, kami pikirkan baru kami ta’ati) (SABILI, No.25.Th.IX, 13 Juni 2002, hal 82).
Di antara kalangan Ikhwanul Muslimin (Sayid Quthub) memandang Sumber Syari’at Islam bagaikan komando, instruksi, perintah yang harus siap, segera dilaksanakan, diamalkan, bukan untuk dirasakan, dinikmati. Segala sesuatu yang diminta Qur:an haruslah siap, seera diamalkan, dilaksanakan, ditunaikan dalam sistim hidup sosial, politik, ekonomi, kultural, hukum, militer, dan lain-lain (Sayid Quthub : "Petunjuk Jalan", terjemahan A Rahman Zainuddin MA, tertian alMa’arif, Bandung, hal 18).
Di antara kalangan Islam Literal memandang Sumber Syari’at Islam bagaikan buku petunjuk (guide book, guideline, operation manual) yang harus diikuti tanpa membahas, mempersoalkan, mempermasalahkan, memperdebatkan, mendiskusikan isinya. "Kitab alQur:an ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa" (QS 2:2). "Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu. Tidak ada Tuhan selain Dia. Dan berpalinglah dari orang-orang musyrik" (QS 6:106).
AlQur:an sebagai Sumber Syari’at Islam menjelaskan, bahwa dalam menghadapi alQur:an terdapat tiga kelompok orang. Pertama, kelompok Mukmin, yang menerima alQur:an sebagaia petunjuk secara utuh tanpa debat, antah, sanggah. Sikapnya "sami’na wa atha’na". Ia mengakui bahwa alQur:an itu adalah kebenaran (haq), serta mengikuti petunjukNya (QS 2:121). Kedua, kelompok kafir, yang sama sekali menolak alQur:an sebagai petunjuk. Ketiga, kelompok munafik, yang bersikap "sami’na wa ‘shaina" (kami dengar, tapi tak kami ikuti) (Depag RI : "AlQur:an Dan Terjemahnya", 1984/1985:8-11, Terjemah QS 2:1-20).
"Perumpamaan orang mukmin yang membaca alQur:an dan mengamalkan isinya, bagaikan buah jeruk manis, rasanya enak dan baunya harum. Sedangkan perumpamaan orang munafik yang membaca alQur;an, bagaikan minyak wangi, baunya harum tetapi rasanya pahit" (Dari HSR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah, Darimi, Ahmad dari Abu Musa alAsy’ari, dalam Ali Mustafa Yaqub : "Nasihat Nabi kepada Pembaca dan Penghapal Qur:an", 1991:20).
Hubungan antara Sumber Syari’at Islam dengan Syari’at Islam itu dipandang agaikan hubungan antara poros, sumber lingkaran dengan lingkarannya. Sumber Syari’at Islam sebagai poros, sumber, pusat bersifat tetap, tidak berubah, tidak berkembang. Sedangkan Syari’at Islam berubah, berkembang, berputar, beredar sepanjang lingkaran edarnya.
Dalam menyikapi alQur:an sebagai Sumber Syari’at Islam, umat Islam secara garis besar terbelah dua. Pertama, kelompok yang menerima (muthi:in, literal, tekstual, orthodox, formal, tradisional), Kedua, yang menolak (aba:an, liberal, konstektual, deformal, sinkeretis, rasional) (H Rosihan Anwar : "Santri Dan Abangan", GELANGGANG, No.1 Desember 1966).

(3)
From: Agung Dharmawan (PDD)
Sent: Monday, January 06, 2003 1:24 PM

From: asrir sutan [SMTP:asrirs@yahoo.com]

AS--------
Orang-orang Timur membasmi musuh dengan memenggal
kepalanya. Tetapi Barat dan pendukungnya hanya dengan
merobah hati dan tabi'atnya (Abul Hasan Ali alHusni
anNadwi : "Pertarungan antara Alam Fikiran Islam
dengan Alam Fikiran Barat", 1983:162).
[Agung Dharmawan (PDD)]
-----------------------------------------
Disinilah letak keunggulan pemikiran Barat. Sebisa mungkin
menghindari
bentrok fisik untuk menaklukan Musuh.
Kita nggak usah malu untuk Belajar ber "Strategy", belajar ber
"Diplomasi", dan lebih folus lagi...menguasai teknik-teknik
menaklukan
musuh (Barat ??) dengan merobah hati mereka untuk condong kepada
Islam.....

salam
/ad


From: "Agung Dharmawan (PDD)"
Sent: Tuesday, January 07, 2003 8:21 PM
Subject: RE: Deislamisasi

Jangan lama-lama di sana....
nanti Yahudi-yahudinya keenakan mengeruk pajak orang Indonesia
(muslim).
(eh...emangnya ikhwan ini berada dimana sech...??)

(4)
From: "Mohamed Nepolian Ghozali (PDD)"
Date: Mon, 6 Jan 2003 14:03:13 +0400

Muhamad N. Ghozali
Sebenarnya semua manusia fitrahnya adalah islam (berserah diri) sejak
pertama kali ruh ditiupkan, karena factor orang tua, lingkungan dan
pendidikan yang membuat mereka menjadi beragama lain atau tidak
beragama
(1 milyar penduduk Cina). Mereka (Barat) kayaknya berstrategy untuk
mengalahkan Islam?, tapi yang yang mereka dapatkan adalah jasad
berlabel
islam, karena sudah jelas diatur dalam Al Qur'an dan Hadist bahwa
mulai
dari tarikan nafas sampai pemilihan presiden ada aturannya dalam
islam.
Akan tetapi aplikasi adalah tergantung keimanan masing2, dan sang
eksekutor tetaplah Allah SWT. Tidak ada jaminan apabila suatu negara
yg
berundang2kan Al Qur'an dan Hadist maka semua penduduk yang beriman
akan
lansung ke Al'Jannah, karena semua keputusan adalah karena belas
kasihan
Allah SWT

From: Mohamed Nepolian Ghozali (PDD)
Sent: Tuesday, January 07, 2003 1:18 PM

Hallo Ikhwan Achmad, bagaimana kabarnya disana apa masih bertahan di
tengah masyarakat disana,
Wass. Wr. Wb.

(5)
From: achmad ardiansyah [mailto:achmad@alabama.usa.com]
Sent: Tuesday, January 07, 2003 11:32 AM

Kalau sudah demikian mengetahui bahwa seluruh aktivitas kehidupan
harus
tunduk pada aturan Allah SWT, maka mestinya semua yang mengaku muslim
dan
mukmin tunduk dan patuh untuk menjalankan semua perintahnya dan
menjauhi
larangannya, sehingga secara jama'i sekaligus sbg fardhu 'ain bagi
masing-masing individu untuk li i'laikalimatillah (menjunjung kalimat
Allah SWT), apapun fungsi dan tugas masing-masing individu yang
terpenting
ketaqwaannya.
Banyak di Indonesia ini yang Doktor, Prof dll hanya menjual murah
ideologinya untuk kepentingan orang Barat (Yahudi).

(6)
Date: Tue, 07 Jan 2003 20:43:05 +1100
From: "Luthfi Assyaukanie"

Please, jangan reply all, saya kebagian sampahnya nih.

Luthfi

(7)
Date: 7 Jan 2003
From : “miriam abdullah”

comment:
Deislamisasi adalah umat yang mengaku murni Islam
tetapi menebar kebencian, atas nama Syariat Islam,
terhadap semua orang baik Muslim dan non muslim.
Deislamisasi adalah orang Islam yang melepaskan
substansi Islam demi memperjuangkan topeng Islam
padahal dibalik itu aalah nafsu pada kekuasaan dan
haus darah. Stopppppp!!! ngirim email kebencian itu
kepada saya hai munafik dan barbar.

Miriam Abdullah
From: asrir sutan
Manusia Munafik
Ada pendapat dari kalangan ulama, bahwa orang-orang munafik pada masa dahulu sama dengan orang-orang sekuler (‘ilmaniyun) sekarang. ‘Ilmaniyun dengan paham sekularismenya - yang berupaya memisahkan dunia dengan agama - senantiasa berusaha untuk mempersempit gerak dan aktivitas keIslaman. Padahal, ajaran Islam itu syamil dan kaffah, universal dan komprehensif (simak QS 2:208).
Manusia munafiq, bahasa dan ungkapan-ungkapannya bernada Islam. Penampilannya pun mengindikasikannya Islam. Namun usahanya melemahkan perjuangan Islam. Menghalangi segala gerak-gerik, program dan aktivitas yang berorientasikan Islam. Mereka adalah prototipe "musuh dalam selimut".
Barangsiapa yang perilaku, sikap, ideologi dan cara berpikirnya menyerupai manusia munafiq, maka ia sebenarnya pun termasuk manusia munafiq. Sabda Rasulullah "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka".
Manusia munafiq menolak berhukum kepada Allah dan RasulNya. Bahkan senantiasa menghalangi seluruh program yang menuju ke arah itu (simak A’aidl Abdullah alQarni : "30 Tanda-Tanda Orang Munafiq", 1993

0 Comments:

Post a Comment

<< Home