Mencerdaskan bangsa mengabdi industri ?
Mencerdaskan bangsa mengabdi industri ?
"Sekolah harus mengabdi pada pembinaan SDM (Sumber Daya Manusia) yang diperlukan bagi industri". "Sekolah mesti memberikan yang terbaik pada para pelaku ekonomi". "Sekolah harus mengabdi pada industri". Demikian antarra lain intisari materi sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro pada peresmian pelaksanaan sistem ganda empat sekolah kejuruan di lingkungan PT Indonesia di Jakarta, Senin, 26 Juni 1995 (KOMPAS, Selasa, 27 Juni 1995, hlm 9, klm 1). Dalam bahasa pasaran "pendikan harus mengabdi pada konglomerat". ?
AA Navis mengemukakan bahwa ukuran kemajuan suatu bangsa pada z\aman kini terletak pada "kemampuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang berfungsi mengembangkan ekonomi, dan bukan lagi pada keunggulan humaniora seperti yang berlaku di abad lalu" (KOMPAS, Senin, 7 Agustus 1995, hlm 4, jlm 7, "Strategi Pendidikan nasional"). Tersirat bahwa "pendidikan tak perlu lagi bersusah payah menanamkan kesadaran tentang kebebasan, kemerdekaan, keadilan, serta hak-hak manusia, tetapi cukuplah menyajikan IPTEK dan ekonomi yang langsung berdampak bagi pemenuhan kepentingan di bawah pusar-pinggang (perut dan kelamin versi Freud)".
Dalam hubungan ini lebih lima puluh tahun yang lalu, Tan Malaka (bagaimana pun pernah disebut sebagai Bapak Revolusi Indonesia, dan juga pernah disebutkan tak turut terlibat dalam peristiwa komunis di Madiun di bulan September 1948, yang barangkali nasibnya seperti Chairul Saleh yang dinyatakan tidak terlibat G30S/PKI oleh Panglima TNI-Ad Jenderal Soeharto, seperti diungkapkan dalam KOMPAS, Rabu, 5 Juli 1995, hlm 20, klm 6), melihat dalam perekonomian, bahwa bumiputera (si Inlander) menurut Belanda bisa hidup dengan sebenggol sehari (sekarang, kalikan saja 1000.000), sedangkan seorang pengemis di negeri Belanda bisa mudah menjadi "Tuan Besar" di kebon dan di tambang di Indonesia.
Sistim rodi cultuur stelsel dirobah menjadi sistim Vrije-Arbeit (kerja merdeka) a la Malafeit. Rakyat Indonesia diberi latihan dan pelajaran sekolah. Setiap tahun dicetak inlanders-alat produksi, perdagangan, adminsitrasi, kehutanan, kepolisian, kejaksaan dan kepenjaraan kolonial. Demikian antara lain hasil pengamatan Tan Malaka, yang dalam minimum programnya pernah antara lain menggerakkanKesatuan Aksi (United Actie, Persatuan perjuangan) untuk mensita, membeslag, menyelenggarakan pertanian, kebon, perindustrian, pabrik, bengkel, tambang milik musuh Republik Indonesia, pada pertengahan Januari 1946 di Solo.
Apakah kini rakyat juga harus bekerja keras dalam rangka meningkatkan komoditi untuk kepentingan konglomerat, dalam rangka merintis "sistim-cultuur-stelsel gaya baru" ? (dengan dalih ahwa kehidupan para kaum melarat tergantung dari kantong para konglomerat ?).
Dulu setleh proklamasi, sebelum ORLA ada gagasan nasionalisasi modal, perusahaan asing (khususnya kolonial Belanda dan Jepang). Tapi kini malah berangkulan, bermesraan, mengundang modal, peruisahaan asssing (materialisme-kapitalisme) menjadi raja (tuan rumah) di tanah air sendiri (yang sudah merdeka) (dengan dalih ahwa kita masih perlu waktu untuk melakukan alih teknologi maju, canggih ke bumi terkaya ini).
Di Cikarang (Industrial Estate Jabebeka) tersedia lahan kawasan industri bagi 340 investor (KOMPAS, Selasa, 4 Juli 1995, hlm 17, iklan). Berapa jumlah kekayaan rakyat setempat yang tergusur, tersedot ? Seberapa jauh tingkat kesejahteraan rakyat sekitar kawasan industri dapat diharapkan naik dengan keberadaan investor ini ? Seberapa jauh sumbangan investor terhadap pembinaan SDM 9termasuk sarana, prasarana pendidikan dan peribadahan) rakyat sekitar ?
Dalam kaitan ini barangkali patut juga disimak pandangan Prof Dr Dorodjatun Kuntjoro Jakti pada pengukuhannya sebagai guru besar ekonomi di Fakultas Ekonomi UI tanggal 17 Juni 1995, bahwa kecerdasan (otak), kemauan, kemampuan dan kesempatan haruslah berhadapan dengan survival of the fittest dalam mengantisipasi segala ketinggalan kita, baik di bidang hukum, teknologi, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain sebagainya (KOMPAS, Minggu, 20 Agustus 19995, hlm 2, klm 1-9, wawancara KOMPAS dengan Prof Dr Dorodjatun Kuntjoro-Jakti).
Hitam atas putih, tujuan pendidikan masih saja tetap seperti tertuang dalam GBHN-1978 (TAP NO,IV/MPR/1978), yang berbunyi : "Pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk menimbulkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang maha Esa, kecerdasan, ketrampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, dan mempertebal semangat keangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggungjawab atas pembangunan bangsa". Demikian TAP MPR IV/1978 (Lihat juga UU No.2 tahun 1989, pasal 4, Dr H Amiruddin Rasyad, dkk : "Pengabdian dalam bidang pendidikan", SESOSOK PENGABDI, 1980, hlm 1)
Setelah lebih lima puluh tahun Indonesia Merdeka, sudah berapa prosenkah kenaikan tingkat manusia yang berjiwa pancassislais, yang bertakwa kepada Allah, yang berkreasi dan berketrampilan tinggi, yang berakhlak, berkepribadian luhur, yang berjiwa patriotisme, kesetiakawanan sosial, yang bertanggungjawab terhadap keberhasilan pembangunan keadilan dan kesejahteraan, yang telah merasakan kemakmuran ? (gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta reharja). (Bks 31-8-95)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home