Hakekat dan hikmah ibadah
Belajar memahami Ibadah
Ibadah adalah ketundukan mutlak kepada Allah dalam segala hal. Ibadah merpakan implementasi, realisasi, penerapan dari keimanan dan keyakinan bahwa ‘Tak ada Tuhan selain Allah”. Beribadat berarti mengikuti aturan dan hokum Allah dalam setiap hal dan setiap kondisi dan melepaskan diri dari ikatan setiap hukum yang bertentangan dengan hukum Allah.
Dari sudut pandang hukum/fiqih, ibadah itu mencakup :
- Ibadah wajib. Melaksanakan perbuatan yang disuruh (wajib) dan meninggalkan perbuatan yang terlarang (haram).
- Ibadah sunnah. Melaksanakan perbuatan yang dianjurkan (sunnah) dan meninggalkan perbuaatan yang tercela (makruh).
- Ibadah mubah. Melaksanakan atau meninggalkan perbuatan yang dibolehkan (mubah).
Dari sudut bentuknya, ibadah mencakup :
- Ibadah batin. Berhubungan dengan kerohanian, keimanan, keyakinan, pemikiran, pemahaman.
- Ibadah lahir. Mencakup :
=Ibadah ifradi. Berhubungan dengan perbuatan perorangan, seperti Rukun Islam.
=Ibadah keluarga. Berhubungan dengan perbuatan dalam hubungan kekeluargaan, seperti hubungan antara suami dan isteri, antara orangtua dan anak.
=Ibadah jama’i. Berhubung dengan perbuatan bersama. Ibadah dsalam bermasyar(syu’uri).
Dalam terminologi Fiqih (Hukum Islam), ibadah (dalam pengertian luas) mencakup :
- Rubu’ ibadah (dalam pengertian sempit, seperti Rukun Islam).
- Rubu’ munakahah (mengenai hubungan kekeluargaan).
- Rubu’ mu’amalah (mengenai hubungan tataniaga).
- Rubu’ jinayat (mengenai hubungan tatanegara).
(Disimak antara lain dari :
- Ummu Yasmin : “Materi Tarbiyah”, 2005:118-128,
- Abul A’la alMaududi : “Bagaimana memahamai Qur:an”, 1981:95-117,
- ------------“------------ : “Prinsip-Prinsip Islam”, 1975:105-107,
- ------------“------------ : “Dasar-Dasar Islam”, 1984:107-115)
(BKS0708130645)
Bagaimana konsep matematika ibadah
Disebutkan bahwa shalat berjama’ah di masjid dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendiri di rumah (Simak HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar dalam Terjemah “Riadhus Shalihin” Imam Nawawi, jilid II, halaman 160, hadis no.1, Terjemah “Bulughul Maram” Al’Asqalani, halaman 217, hadis no.421). Apakah ini berarti bahwa akhlaqseseorang yang secara rutin shalat berjama’ah di masjid 27 kali lebih baik dari yang shalat sendiri di rumah ? Apakah efektifitas shalat berjama’ah di masjid secara rutin dapat dilacak ditelusuri sesudah keluar dari masjid , bahwa kesalehan ritual dan kesalehan sosialnya meningkat 27 kali dari sebelumnya ?
Disebutkan bahwa shalat di Masjid Nabawi lebih baik dari 1000 kali daripada shalat di masjid lain, sedangkan shalat di Masjidil Haram lebih baik 100 kali daripada di Masjid Nabawi ( Simak HR Bukhari dan Muslim dari Abuhurairah, dalam Terjemah “AlLukluk wal Marjan” Muhammad Fuad Abdul Baqi, jilid I, halaman 474, hadis 881). Apakah ini berarti akhlak seseorang yang secara rutin shalat di Masjidil Haram lebih baik ribuan kali daripada yang shalat di masjsid lain. Apakah orang-oang yang bermukim di sekitar kedua masjid itu yang hanya dapat hak/fasilitas untuk memperoleh kebaikan ribuan kali ? Apakah setelah beribadah di Masjidil Haram (Haji atau Umrah) sikap mental (kesalehan ritual dan kesalehan social seseoang akan meningkat lebih baik ribuan kali dari sebelumnya ?
Disebutkan bahwa amalan sunat pada bulan Ramadhan bernilai seperti amalan wajib (Simak Terjemah “Riadhus Shalihin”, jilid II, halaman 463, hadis no.8, HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas). Apakah ini berarti akhlaq seseorang yang secara rutin melakukan amalan sunat lebih baik daripada yang hanya melakukan amalan wajib saja ? Apakah tolok ukur yang dapat digunakan untuk melihat bahwa kesalehan ritual (spiritual) dan kesalehan social seseorang itu meningkat ?
Bagaimana kaitan antara kepekaan/kesalehan ritual/spiritual dengan kepekaan/kesalehan sosial. Apakah semakin meningkat kepekaan/kesalehan ritual/spiritual akan semakin meningkat kepekaan/kesalehan sosial. Bagaimana kaitan antara ibadah dengan akhlaq. Apakah ibadah itu merupakan cara, metoda untuk meningkatkan akhlaq. Rasulullah diutus untuk meningkatkan akhlaq manusia.
Disebutkan bahwa haji/umrah adalah jihad para wanita (Simak HR Ahmad, Ibnu Majah dari Aisyah, dalam Terjemah “Bulubhul Maram”, halaman 352, hadis no.727). Bagaimana halnya kalau wanita yang sudah menunaikan ibadh haji/umrah itu kebetulan masih punya dana untuk menunaikan ibadah haji/umrah, apakah ia harus kembali menunaikan ibadah haji/umrah ? Bagaimana kalau saat itu di lingkungannya bertempat tinggal terdapat proyek keagamaan (seperti pembangunan masjid, madrasah) yang sangat membutuhkan dana pembangunan. Apakah ia harus mengutamakan mewakafkan hartanya untuk pembangunan proyek keaamaan ? Dan bagaimana kalau di sekitarnya banyak fakir-miskin yang sangat membutuhkan bantuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Apakah si wanita itu harus lebih mendahulukan menyantuni oang0oang papa ?
Di dalam sejarah pernah disebutkan seorang dermawan dan hartawan besar yang tidak sempat berzakat, namanya Ma’an bin Zaaidah. Ia hidup pada akhir pemerintahan Umaiyah dan awal pemerintahan Bani Abbas. Sumber kekayaannya amat besar, dan ia selalu member orang hadiah, murah tangan, sehingga setelah tahun habis dia tak dapat berzakat, karena hartanya yang tinggal tak sampai nisabnya (Prof Dr Hamka : “Tafsir AlAzhar”, Panjimas, juzuk II, 1983:91). Tentu saja pemberiannya bukanlah recehan, remahan. Kalau besarnya receh, remah taklah akan menguras kekayaannya.
Ada seseorang yang sudah menunaikan ibadah haji dan umrah, kini bermaksud akan berumrah bersama sekeluarga lagi. Pada saat yang sama beberapa saudara kandungnya hidupnya sangat memprihatinkan (melarat, manyarapih), membutuhkan modal usaha. Mana yang lebih mulia di sisi agama dan kemanusiaan, apakah member saudra bantuan modal usaha ataukah berangkat sekeluarga menunaikan ibadah umrah ?.
Disebutkan bahwa yang sempat beribadah pada malam lailatul qadar, maka nilai amal-ibadahnya meningkat lebih dari seribu kali daripada malam hari biasa. Apakah ini berarti juga nilai ketakaan, kekhusyu’annya meningkat lebih daripada seribu kali sebelumnya ? Ketakwaan, kekhusu’an itu mengandung, mencakup pengertian kepekaan, kesalehan spiritual (teologis, teosentris, domestic, individual)) dan social (sosiologis, antroposentris, public, intelektual) ?
Dalam hubungan ini ada terminologi Islam, yaitu “zuhud”. Zuhud adalah sikap hidup yang lebih peduli pada kesejahteraan sosial daripada kemewahan diri meskipun ia mampu.
(Asrir BKS1009140700 written by sicumpaz@gmail.com)
Ibadah antara pola dan hikmah
Ada suara mengatakan bahwa dalam beribadah yang diperlukan hanyalah melaksanakannya secara serius dengan mengikuti tuntunan untuk mendapatkan pahala tanpa perlu memahami maksud, tujuan, hikmahnya. Dengan demikian, maka ibadah dapat dilaksanakan dengan khusyu’. Melaksanakan apa yang disuruh, meninggalkan apa yang dilarang.
Ada pula suara yang mengatakan bahwa dalam beribadah disamping melaksanakannya secara serius dengan mengikuti tuntunan untuk mendapatkan pahala juga perlu memahami maksud, tujuan, hikmahnya agar apat dilakukan dengan khusyu’. Ibaah dilaksaakan dengan disertaai pemahaman tentang hikmahnya.
Dalam melaksanakan shalat berjama’ah di masjid, laksanakan saja apa yang disuruh dan tinggalkan apa yang dilarang. Tak peduli apakah safnya rapat atau tidak. Apakah safnya teratur, lurus atau tidak.
Dalam melaksanakan ibadah shaum Ramadhan, laksanakan saja apa yang disuruh dan tinggalkan apa yang dilarang. Dalam hubungan dengan shaum Ramadhan ini ada hadis yang menyebutkan perlunya unsure imaanan dan ihtisaaban. Imaanan berarti percaya, tunduk, patuh, melaksanakan yang disuruh dan meninggalkan yang dilarang. Ihtisaaban berarti hitung-hitungan, memahami maksud, tujuan, hikmah dari ibadah yang dilakukan.
Dalam melaksanakan ibadah qurban, laksanakan saja apa yang disuruh dan tinggalkan apa yang dilarang. Tak perlu memahami maksud, tujuan, hikmah ibadah qurban itu. Tak perlu memahami apa beda antara qurban dengan sesajen. Tak perlu memahami mana qurban yang diterima dn mana qurban yang ditolak. Sembelih hewan quban. Bagi-bagikan daging hewan sembelihan itu. Tak perlu memahami mana yang lebih utama bagi si miskin, apakah hewan hidup ataukah daging hewan sembelihan. Tak perlu memahami apa beda antarra infaq, sedeqah dengan qurban. Tak perlu memahami mana yang lebih utama bagi si miskin, apakah infaq, sedeqah ataukah qurban. Tak perlu memahami apakah daging hewan sembelihan itu bagi si miskin merupakan makaanan mewah (langka) ataukah tidak.
Inti ajaran alam beribadah adalah “am’na wa atha’na”, laksanakan aja tanpa “fakkarna”, tanpa perlu memahami maksud, tujuan, hikmahnya.
(Asrir BKS1010180545 written by sicumpaz@gmail.com sicumpas.wordpress.com)
Mencari Makna dan Hakekat qurban
Apakah hakekat berqurban itu adalah menumpahkan darah hewan ternak pda hari tasyrik ? Kata shalat yang diiringi oleh wanhar hanya satu-satunya alam ayat QS 108:2 (AlKautsar). Selainnya kata shalat diikuti oleh kata infaq atau kata zakat.
Apakah hakekat berqurban itu adalah ramai-ramai makan daging hewan ternak pada hari tasssyrik ?
Apakah ada riwayat yang menyatakan bahwa pada masa Rasulullahsawhidup ada orang-orang yang berupaya membeli hewan ternak untukdiqurbankan pada hari tasyrik ?
Padahari tasyrik ada seseorang peternak kambing baru punya anak lelaki berumur tujuh hari. Kambingnyaa ada 40 ekor. Apasaja kewaajiban agama Islam yang harus ia lakukan berkaitan dengan kambingnya?
Apakah di daerah-daerah yang bukan daerah peternakan orang-orang harus berupaya membeli hewan ternak dari daerah-daerah peternakan untuk diqurbankan pada hari tasyrik ?
Apkah berqurban dalam bentuk menyembelih hewan ternak itu memang sudah baku (Ta’abbudi), sudah qath’I ? Ataukah boleh dalam bentuk lain ? Rasulullah saw mengatakan bahwa ketika Nabi Ibrahim hidup, di Makkah blum ada tanaman. Seandainya waktu itu aatanaman tentulah Nabi Ibrahim juga akan mendo’akan keberkahan kepada mereka pada tanaman (dalam HR Bukhari dari Ibnu Abbas pada “Riadhus Shalihin” Imam Nawawi, Bab “Bahagian Hadis-Hadis yang terserak-serak dan yang jenaka).
Ataukah berurban itu bermakna memenuhi kepentingan social, kebutuhan masyarakat, kepedulian akan yang melarat, yang lapar, untuk mendapatkan kebahagiaan di akhirat ? Islam memandang yang tak peduli akan yang melarat, yang lapar, mengindikasikan tak peduli akan Islam (Simak QS 107:1-3; 28:76-77). Yang member makan yang lapar itu dikategorikan sebagai yang mendapatkan rahmat, ridah Allah.
Apakah qurban itu wujud taqarrub ilallah yang terkandung dalam AlQur:an dan yang terurai, terjabar dalam akhlaq, perilaku Rasulullah saw yang sangat tawadhu’, sangat dermawan ? (Simak “Madarijus Salikin” Ibnu Qayyim, terbitan Pustaka AlKautsar, Jakarta, 2008:324; “Sejarah Hidup Muhammd” Haekal, terbitan Tintamas, Jakarta, 1984:228_231).
Sehubungan ayat QS 5:27, apakah bentuk qurban Qabil dan Habil, apakah bentuk sesajen masa kini, ataukah seperti hewan sembelihan pada masa hari tasyrik ? Apakah tandanya qurban yang diterima, dan apa pula tandanya qurban yang ditolak ? Apakah karena Habis ikhlas melakukannya, sedangkan Qabil tidak ikhlas melakukannya ? Apakah karena qurbannya ditolak, makanya Qabil iri akan, dengki terhadap Habil, dank arena terbakar dengan api dengki itu maka Qabil membunuh Habil ? Apakah kasus ini merupakan peristiwa lanjutan dari yang membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah ? (QS 2:30).
(Asrir BKS1010181200 written by sicumpz@gmail.com sicumpas.wordpres.com)
Tiada keteladanan
Setiap tahun, setiap Ramadhan di masjid tempat saya tinggal setiap malam setelah shalat tarawih diisi dengan santapan rohani yang disampaikan oleh penceramah-penceramah secara bergilir, bergantian terjadwal. Sehabis melakssanakan shalat witir, seluruh para jama’ah pada pulang. Masjid tinggal kosong melompong. Begitulah berulang-ulang, tahun berganti tahun.
Di antara isis ceramah adalah agar mengisi Ramadhan dengan tadarusan, membaca Qur:an dan i’tikaf di masjid. Namun saying seribu saying, ceramah tetap tinggal ceramah. Tak ada seorang pun penceramah yang siap memberikan contoh, yang siap mengajak dan membimbing jama’ah bertadarus, beri’tikaf setelah shalat witir sampai tengah malam.
Sama sekali tak terasa dampak ceramah tersebut. Hal ini karena tak ada keteladanan, tak ada sosok penceramah yang terpanggil memberikan contoh, telada kepada jama’ah tentang yang diceramahkannya. Penceramah jalan sendiri. Jama’ah jalan sendiri. Sebenarnya tak ada suasana berjama’ah.
Barangkali di masjid-masjid lain pun tak beda halnya dengan masjid tempat saya tinggal. Setelah shalat witir, masjid tinggal kosong melompong. Tak ada tadarusan, tak ada I’tikaf. Silakan lacak, telusuri sendiri.
(Asrir BKS1008282200 writen by sicumpaz@gmail.com)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home