Milis bincang-bincang Masyarakat Adil Makmur Situs Koleksi Informasi Serbaneka

Wednesday, May 18, 2011

KH Firdaus AN bicara Budi Utomo

KH Firdaus AN bicara Budi Utomo

Perkumpulan Budi Utomo itu dipimpin oleh kaum Ambtenaar, yaitu ara pegawai yang setia kepada pemerintah kolonial Belanda. Pertama kali Budi Utomo diketuai oleh Raden T Tirtokusomo, Bupati Karanganyar yang dipercaya Belanda. Ia memimpin Budi Utomo sejak tahun 1908 sampai dengan tahun 1911. Kemudian ia digantikan oleh Pangeran Arjo Notodirojo dari istana Paku Alam, Yogyakarta. Sebagai orang Keraton yang diberi gaji oleh Belanda, maka ketua Budi Utomo itu sangat patuh kepada induk semangnya (majikannya).

Dengan dipimpin oleh kaum bangsawan yang inggih selalu, tidak mungkin Budi Utomo akan dapat melangkah maju untuk mengadakan aksi massa, brjuang guna mengubah nasib mereka yang menderita dibawah telapak kaki penjajah Belanda. Dengan sifat kebangsaan yang pasif dan setia kepada Belanda itu, juga membaut Budi Utomo terjauh dari rakyat. Dan sifat aristokratis yang negatif itu adalah merupakan sifat dan cirri khas Budi Utomo sampai akhir hayatnya.

Budi Utomo bukan bersifat kebangsaan yang umum bagi seluruh Indonesia, tetapi bersifat regional, kedaerahan dan kesukuan yang sempit. Keanggotaannya selalu terbatas bagi kaum ningrat-aristokat elite cabang atas, tetapi juga hanya terbatas bagi suku bangsa tertentu, yaitu suku jawa dan Madura. Dengan itu, Budi Utomo adalah hanya perkumpulan yang sangat terbatas dan sangat fanatic kesukuan yang picik. Dan karenanya tidak tepat kalau dikatakan Budi Utomo, gerakan Nasional Indonesia. Sebab, selain orang-orang Jawa dan Madura, tidak boleh memasuki perkumpulan Budi Utomo tersebut.

Di samping itu Budi Utomo adalah kebelanda-belandaan yang tidak mencerminkan bahwa mereka adalah bangsa Indonesia yang jauh lebih besar daripada bangsa penjajah itu. Bukan saja dalam bahasa mereka sehari-hari lenyap sifat kebangsaannya, tetapi sampai-sampai kepada Anggaran Dasar Budi Utomo itu sendiri memakai bahasa Belanda kolonial itu. Apakah adil menilai Budi Utomo sebagai gerakan nasional teladan, padahal suku bangsa Indonesia yang lain dari suku Jawa dan Madura haram jadi anggota Budi utomo ? Jangankan demikian, orang-orang Jakarta sendiri di mana Budi Utomo itu dilahirkan tidak boleh ikut jadi anggotanya. Dengan begitu, siapakah yang tidak herankalau Budi Utomo yang chaufinistis regional dan lokal itu dan yang anggotanya terdiri dari pegawai Bslanda, lagi tidak pernah memperjuangkan Indonesia merdeka sepanjang hayatnya, tiba- tiba dijadikan tonggak sejarah bagi kebangkitan Nasional Indonesia, justru setelah revolusi rakyat mencapai kemerdekaannya yang gilang gemilang.

Budi Utmo juga dapat dipandang sebagai perkumpulan kaum intelek ningrat yang meremehkan atau anti-agama, terutama Islam; karena merea memandang agama itu sebagai alat belaka. Dengarlah Noto Suroto, seorang tokoh Budi Utomo dalam suatu ceramahnya tentang Gedachten van kartini alrichtsnoer voor de Indische Vereniging : “Sudah pasti bahwa soal agama adalah batu karang berbahaya, yang dalam kerjasama tidak mudah dihindari, meski bagaimanapun orang berhati-hati; oleh sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita jangan karam alam gelombang kesukaran”. Pepatah Belanda : “ieder meent zijn uil een volk te zijn”, sungguh-sungguh benar dalam soal agama”. Demikian penegasan Noto Suroto.

Seorang tokoh Budi Utomo yang lain membuka isi hatinya dengan kata-kata seperti ini “Apabila agama mengetuk pintu untuk masuk dalam komplotan ini (Budi Utomo), harus ditolak. Kita sungguh takut akan daya pemisah yang ada padanya …”. Selanjutnya ia berkata : “Apabila Sarekat Islam, perkumpulan kaum muslim sanggup menyiapkan bangsa Jawa untuk hidup berpolitik, kata “Islam” itu harus kita isi pengertian lain, yang tidak pernah ada di dalamnya”.

“Pengertian “tanah air” masih asing bagi kita”, demikian Gunawan Mangunkusumo dalam tulisannya alam Gedenboek Budi Utomo 20 Mei 1918 hal 109 (Prof Dr Slametmuljana, Nasionalisme Sebagai Modal Perjuangan Bangsa, hal 123-124). Demikianlah kaum Budi tomo memandang agama sebagai momok, atau “Islam Phobi”. Dan akhirnya dengan gamblang Prof Slamet menambahkan pula pengakuannya sendiri dengan kalimat-kalimat yang berbunyi :

“Seorang pemeluk agama bercita-cita meluaskan agamanya di antara orang-orang sebangsa khususnya, tetapi seorang nasionalis akan memperalat agama untuk mencapai kekuasaan politik. bagi pemeluk agama adalah alat untuk memperkuat kekuasaan, Jadi bila agama tidak dapat memberi kesempatan untuk perluasan kekuasaan, agama harus ditinggalkan. Apa yang dikatakan alat bagi yangsatu, adalah tujuan bagi yang lain, dan kebalikannya” (Prof Slametmuljana, ibid, hal 124-125).

Lebih jauh dapat dilihat sifat anti-agamany (Islam) Budi Utomo dalam menyerang keyakinan Umat Islam seperti yang dipublikasikan dalam media-massa yang terkenal “Suara Umum” yang terbit di Surabaya di bawah asuhan Dr Sutomo yang dikutip oleh AHasan, Guru Besar Persatuan Islam dalam Majalah ALLISAN yang berkata antara lain : “Digul lebih utama daripada makkah”. Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu kamu punya Kiblat” (M.S) ALLISAN, No.24, 1938.

Demikianlah kaum Budi Utomo itu tidak malu-malu mempertontonkan kepada umum sifat anti-agamanya dan meremehkan serta memandangnya sebagai angina lalu belaka. Dan dengan penghinaan yang terang-terangan kepada keyakinan umat Islam itu, kaum Budi Utomo menjadi sasaran kemarahan dan kutukan kaum Muslimin yang merasa terhina dan terluka. Akhirnya Budi Utomo (yang selama ini dipandang sebagai awal kebangkitan Nasional Indonesia yang dilahirkan di Jakarta pada ttanggal 20 Mei 1908) lenyap dari arena pergerakan Indonesia pada bulan Desember 1935 dan misinya dilanjutkan oleh Parindra.

Kini timbul pertanyaan : apakah suatu organisasi yang demikian coraknya itu serta sepak-terangnta yang menyakitkan hati, patutkah dijadkan contoh teladan, yang hari jadinya dijadikan pula sebagai patokan tonggak sejarah bagi kebangkitan nasional Indonesia yang penduduknya 90% terdiri dari kaum Muslimin. Bahkan tiga tahun sebelum Budi Utomo sudah lahir di Solo tahun 1905 Sarekat Islam dengan sifat Nasional dan dasar Islam (“Dosa-Dosa Yang Tak Boleh Berulang Lagi”, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1992:62-65, dari PANJI MASYARAKAT, 11 November 1990).

(BKS1105182030)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home