Milis bincang-bincang Masyarakat Adil Makmur Situs Koleksi Informasi Serbaneka

Tuesday, May 24, 2011

Negara dan/nan Islam

Negara dan/nan Islam

Muhammadiyah merasa perlu (menjelaskan dengan) mencantumkan pengertian, bahwa Ke-Tuhanan Yang Maha Esa adalah keimanan kepada Allah swt (tauhid). Bertolak dari penjelasan tersebut, Muhammadiyah dituntut menjelaskan rincian “Pengertian Ke-Tuhanan Yang Maha Esa dalam kehidpan berbangsa dan bernegara” baik konseptual maupun faktual.

Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsional, secara operasional dan secara konkrit, riil bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang berPancasila dan UUD-45 menjadi masyrakat yang adil makmur sejahtera, bahagia, material dan spiritual yang diridhai Allah swt (KH Sahlan Rosidi : “Ke-Muhammadiyahan untuk Perguruan Tinggi muhammadiyah”, 182, jilid I, hal 110).

Catatan : Menurut KH Sahlan Rosidi/Muhammadiyah, bahwa ajaran Islam dapat berserikat/bersekutu dengan ajaran Pancasla mengatur masyarakat Indonesia. Pertaanyaan : Apakah mungkin Islam dan yang bersifat man-made (sekularisme/almaniyah) dikompromikan/direkonsiliasikan?

Menurut almarhum Abul A’la al-Maududi bahwa suatu rekonsiliasi, suatu perpaduan dan pertemuan antara Islam dan sekularisme adalah mustahil. Bahwa suatu bagian dari Syar’iyah mustahil dapat ditempelkan (disubordinasikan) pada suatu ideologi atau isme tertentu. Masyarakat Islam tidak mungkin mengambil system kehidupan selain Syar’iyah. Masyarakat Islam yang menganut sistim lain, pasti bukan masyarakat Islam lagi (Dr HM Amien Rais : “Hubungan Antara Politik dan Dakwah”, dalam “Panduan Umum Musyawarah Wilayah Muhammadiyah/Aisyiyah, Dki Jakarta, 1995-2000, hal 49,53,54).

Asas adalah merupakan roh atau jiwa organisasi. Tanpa asas Islam bukan lagi merupakan organisasi Islam. “Beraqidah Islam dan berasas Pancasila” adalah rumusan aneh. Orang Islam yang hakiki akan beraqidah Islam dan juga berasas Islam. Aqidah dan asas tak bisa dipisah-pisahkan. Bagi ideology mujahid adalah aneh bila ada yang beraqidah Islam, tetapi berasas Pancasila (KH Firdaus AN : “Dosa-Dosa Yang Tak Boleh Berulang lagi”, 1992, hal 32,40,41).

Dr HM Amien Rais bersama almarhum Mr Mohammad Roem mengingatkan bawa aspirasi hukum Islam sepenuhnya dapat ditampung dala negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD-1945 (“Panduan Umum”, hal 56).

Catatab : Sikap ini apakah brdasarkan kaidah shul “Keadaan darurat membolehkan yang dilarang” dan “menghindari keburukan didahulukan daripada meraih kebaikan” ?

Struktur pemerintahan yang berdasarkan UUD-1945 dan Pancasla sudah sesuai dengan prinsip politik Islam, dan sudah merupakan bentuk final negara Indonesia (KIBLAT, No.18/XXX, 5-20 Februari 1983; MEDIA DAKWAH, Agustus 1993, hal 45).

Ketika mengomentari Laporan (TEMPO, 14 Juni 1986) Utamanya Syu’bah Asa, Abu Afzalurrahman mencatatkan kesimpulan “Asas Tunggal itu sah, otomatis tidak perlu Negara Islam, serta-merta Negara RI berdasarkan Pancasila ini final” (ALMUSLIMUN 198, September 1986).

M Syafi’I Anwar berpendapat, bahwa ketika Pancasila sudah ditetapkan menjadi satu-satu asas (Asas unggal), maka gagasan “Negara Islam” telah tertutup. Menurut Dawam Rahardjo, upaaaaya mengembangkan Islam, justru lebih memperoleh nuansa dinamis di bawah bendera Pancasila (REPUBLIKA, 30 Juni 1993, hal 6, “Radikalisme Islam”, Realitas Politik dan Dimensi Kebangsaan”).

Hasbullah Bakry mengemukakan bahwa”tidak ada alas an bagi umat Islam Indonesia untuk menolak Pancasila sebagai ASAS YANG PALING DISUKAI (asas satu-satunya), karena “PANCASILA mengandung ajakan dan ajaraan yang tak diragukan dapat dianggap juga sebagai AJARAN ISLAM SENDIRI”. “Menerima Pancasila berarti secara tidak langsung mendekatkan yang belum islam pada Islam, dan makin menguatkan ajaran Islam bagi yang sudah Islam” (PELITA, Oktober 1983).

Catatan : Rupanya menurut Hasbullah Bakry selain ajaran islam ada lagi ajaran lain yang juga tak diragukan.

Harun Nasuton, Dahlan Ranuwihardjo, Syafi’I Ma’arif dalam makalah berdamanya mengemukakan, bahwa “Republik Indonesia yang berdasarkan Pacasla dan Undang-Undang Dasar 1945 ini adalah sejalan dengan ajaran Islam”. “Bahwa di Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD-1945 ini, ajaran Islam jauh lebih banyak dilaksanakan dari pada di dunia Islam lainnya. Bakan hidup keagamaan umat Islam di Indonesia tampak lebih bersemarak dari pada hidup keagamaan umat di bagian tertentu dunia Islam. Yang penting bukanlah nama, tetapi adalah dlaksanakannnya ajaran Islam dalam masyarakat (MEDIA PEMBINAAN, No.5-9, 1985).

Catatan : Apakah ajaran Islam dapat dilaksanakan dengan semarak dalam masyarakat yang bukan berdasarkan Islam ?

Dalam bukunya “Islam dan Tatanegara”, Munawir Syadzali berpesan “kita bangsa Indonesia, khususnya umat Islam, patut bersyukur kepada Allah swt bahwa para pendahulu kita, para pendiri Republik Indonesia ini sebagai sasaran akhir dari aspiasi politik kita, dan bkan sekedar sasaran antara atau batu loncatan kea rah sasaran yang lain”. Meskipun telah membahas dengan analisa yang cukup padat tentang negara Islam sejak zaman Nabi sampai kini, akan tetapi Munawir Syadzali sama sekali tidak tertarik kepada negara Islam. Yang sangat menggelitik hati Munawir Syadzali adalah Negara Pancasila Indonesia. Demikian ungkap KH Firdaus AN (ALMUSLIMUN, 258, September 1991).

Ketua Laboratorium IKIP Malang (179) menyebutkan bahwa Pancasila sebagai Dasar Negara itu digali dari Pandangan Hidup bangsa Indonesia. Dar hasil penggalian Pandangan Hidup bangsa Indonesia itu, antara lan adalah bahwa Pancasila itu sebagai Sumber dari segala Sumber Hukum (Sumber Tertb Hukum) dari Negara Republik Indnesia (Prof Dardji Darmodihardjo SH : “Orinetasi Singkat Pancasila”, 1979, hal 11,18).

Menurut almarhum Abul A’la alMaududi, bahwa kehendak Allah yang harus dijadikan sumber hukum alam suatu masyarakat Islam, bukanlah kehendak manusia”. hukum-hukum berdasarkan wahyu pada hakikatnya jauh lebih unggul, lebeh superior dari pada hukum-hukum buatan manusia (man-made), ungkap Amien Rais (“Panduan Umum”, hal 48,53).

Dalam Syari’at terdapat bagian-bagian yang tidak dapat diubah dan bersifat permanent, dan ada pula bagian-bagian yang bersifat fleksibel, agar dapat memenuhi tuntutuan perubahan zaman yang dinamis. Masalah-masalah yuridis, politik, ekonomi, administrasi, militer dan lain-lain adalah masalah furu’ (cabang yang dapat dipecahkan berdasrkan akal dengan berpedoman pada etik, nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum yang ditegakan oleh Islam. Sementara itu diingatkan bahwa al-Quran sangat fleksibel, dan memiliki kemampuan adaptif bagi pemecah masalah-masalah kehidupan maanusia, tanpa bergeser dari prinsip-prinsip abadi yang diteapkan Allah swt (“Panduan Umum”, hal 48,51,54).

Pertanyaan : Kalau al-Quran hanya berfungsi sebatas sumber hukum, maka tak mungkin ada hukum yang bersifatpermanen, semuanya bersifat situasional. Dengan demikian al-Quran ditafsirkan secara situsional.

Kerajaan Inggeris lebih Islami daari pada Kerajaan Saudi Arabia. Sebab Kerajaan Inggeris memberikan kedaultan kepada rakyat an penguasa dipilih oleh rakyat secara periodic. Sedangkan Kerajaan Saudi Arabia, raja dan para pangeran adalah pemilik-pemilik negara secara turun temurun dan tidak perlu bertanggungjawab kepada rakyat. Secara tersirat diintrodusir bahwa di negara petrodollar “Keadilan” dalam tanpad kutip (“Panduan Umum”, hal 48,52).

Catatan : Dalam pandangan Amien Rais, Islam atau tidaknya suatu pemerintahan terletak pada ada tidaknya kedaulatan dan pertnggungjawaban kepada rakyat, serta ada tidaknya pemeilihan pemegang kekuasaan. Pertanyaan : Dengan criteria demikian, kerajaan Nabi Sulaiman itu apakah dapat dikategorikan Islami ataukah bukan ?

Suatu pemerintahan yang didirikan oleh masyrakat Muslim haruslah mengindahkan dasar-dasar yangtelah diberkan oleh Islam, ungkap Amien Rais (“Panduan Umum”, hal 54).

Catatan : Jadi yang harus diindahkan masyyarakat Muslim adalah dasar-dasar yang diberikan oleh Islam, dan bukan hasil/buah/karya renungan manusia (man-made),

Kadangkala Islam malah disubordinasikan pada suatu ideologi buatan manusia (man-made). Pandangan ini merupakan pandangan sekularistis, yang tdak dapat menerima Islam secara utuh (kaffah), ungkap Amien Rais (“Panduan Umum”, hal 53).

Pertanyaan : Bila aspirasi hukum Islam sepenunya ditapung dalam negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD-1945, maka apakah yang disubordinasikan pada ideologi Pancails ?

Negara dan masyarakat harus dibangun atas dasar Islam. Negara ditegakkan di atas dasar keadilan, musyawarah dan persaudaraan/ukhuwah, ungkap Amien Rais (“Panduan Umum”, hal 51,52).

Masalahnya : Keadilan menurut siapa ? Apakah menurut rakyat, penguasa ataukah menurut Khaliq ? Apakah yang jadi acuannya ? Apakah ideologi lokal/nasional ataaukah ideologi internasional/universal ?

Adil. Adil yang bagaimana ? tandas Hartono (waktu itu Kepala Staf TNI-AD), sambl menambahkan, untuk mendapatkan penilaian yang obyektif, kita harus memasukkan kondisi yang ada (KOMPAS, Rabu, 8 januari 1997, hal 14).

Apa itu adil ? Sebagai pernyataan verbal, asas keadilan, rasa keadilan mash tetap diberlakukan, namun diraskan semakin senjang dari kenyataan. demikian disimak dari “Tajuk Rencana” KOMPAS, Kamis, 16 Januari 1997, hal4.

Apa criteria dari adil itu ? Kepada siapa seharusnya keadilan itu diminta yang dapat diterima semua pihak ? Keadilan itu mutlak kepunyaan Tuhan. Dia yang berhak menghidupkan. Dan Dia pula yang berhak mematikan. Seandainya manusia yang memegang keadilan pastilah di jadi pembunuh. Jangan cari keadilan. Di dunia tak ada keadilan. Yang harus dicari dalam hidup adalah kebenaran, bukan keadilan. Dengan kebenaran pula mencari diri. Berbahagialah yang sudah mendapat hakikat kebenaran. Setelah peristiwa kepergian, kematian, Roh Kebenaran datang membawa kebenaran, menerangkan perihal dosa, keadilan, hukum (Yohannes 16:8-12).

Kepentingan umum tidak ditentukan oleh kemauan penguasa, juga tidak ditentukan oleh opini masyarakat, melainkan telah digariskan pokok-pokoknya oleh Syari’ah, tegas Amien Rais (“Panduan Umum”, hal 54).

Catatan : Demikian pula, keTuhanan, kemanusiaan, persaudaraan/persamaan, kerakyatan/permusyawaratan, keadilan ditentukan oleh Syar’iyah, dan bukan oleh opini masyarakat.

Harun Nasution, Dahlan Ranuwihardjo, Syafi’I Ma’arif berupaya meyakinkan bahwa “tidak ada ayat-ayat dalam al-Quran yang dengan tegas membicarakan soal pembentukan negara dan yang dengan tegas pula menjelaskan sistim pemerintahan yang harus berlaku dalam Islam”. Untuk sampai ke sini diyakinkan lebih dahulu, bahwa “al-Quran tidaklah mengandung segala-galanya”. Analisa politiknya dikaitkan pada Ali Abdul Raziq, kelompok/golongan Najadah dari Khawarij, dan Hatim bin al-‘Ashim dari Mu’tazilah (MEDIA PEMBINAAAN, N0.5-9, 1986).

Ali Abdul Raziq menyangkal bahwa khilafah, pengadilan, jabatan-jabatan kehakiman itu berasal dari Islam. Semuanya hanyalah urusan duniawi semata (temporal), yang tak ada kaitannya dengan slam sedikitpun. Tak ada pokok-pokok Islam yang mengatur khilafah. Khilafaha hanyalah masalah kebiasaan (konvensi/consensus). Tak ada kaitan ideologi dengan Islam. Demikian pandangan Ali Abdul Raziq (“Pertarungan Antara Alam Pikiran Islam Dengan Alam Pikiran Baraat”).

Dalam sebuah kesempatan, sya – kata Amien Rais – pernah menyatakan bahwa di dalam al-Quran dan Sunnah tidak ada perintah yang menyatakan “Dirikanlah Negara Islam”. tidak ada perintah dalam al-Quran dan Sunnah agar mendirikan Negara Islam (Daulah Islamiyah). Jika umpamanya ada perintah tegas untuk mendirikan Negarra Islam, maka al-Quran dan Sunnah juga akan memberikan tuntunan terinci tentang struktur institusi-institusi negara yang dimaksudkan, sistim perwakilan rakyat, hubungan antara badan-badan legislative, eksekutif dan yudikatif, sistim pemilihan umum dan detil-detil lain yang terinci. Pernyataan tersebut – papar Amien Rais – segera saya ikuti dengan pernyataan berikutnya, antara lain bahwa Islam – sebagai agama wahyu – memberikan etik yang terlalu jelas bagi pengelolaan seluruh kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara dan berpemerintahan (“Panduan Umum”, hal 49,50). (Bandingkan dengan Abdul Qadir Audah : “Islam di antara kebodohan Ummat dan kelemahan Ulama”, 1985:49-61. Tak benar bahwa “Islam tidak ada hubungann antara hukum dan negara”).

Dalam tulisannya “Pemimpin Islam Belum Siap Mengisi Kebangkitan Islam ?”, menurut Abdul manna Salam “suara-suara sumbang justru datang dari kaum intelektual Muslim sendiri. Misalnya sebagaimana dikatakan oleh Dr Amien Rais, bahwa tidak ada negara Islam dalam al-Quran dan as-Sunnah. Dan pendapat inipun mendapat dukungan dari bapak Mr Muhammad Roem (KIBLAT, No,10, Th.XXXI, 5-20 Oktober 1983, hal 23).

Revolusi Iran 1975 misalnya, merupakan contoh yang paling spektakular dari Dunia Islam dalam berusaha membebaskan diri dari kungkungan dan dominasi Amerika Serikat sebagai eksponen bBrat yang paling utama, ungkap Amien Raais (“Panduan Umum”, hal 47).

Dr Amien Rais, penyanjung Syi’ah Iran mengatakan bahwa para pejuang Mujahidin Afghanistan itu tidak memiliki persepsi yang sama mengenai bagaimana membangun Afghanistan di masa depan. Pernyataan bernada dengki semacam ini banyak dilontarkan oleh kelompok yang selalu menampilkan segi-segi negatif dari keberhasilan atau kemenangan Muslimin di negeri-negeri Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sebaliknya, bagi mereka Iran yang Syi’ah sama sekali tidak bercacat (ALMUSLIMUN, No.267, Juni 1992, hal 9, “Tadzkirah”).

Pada tahun 1912-1926 Muhammadiyah tidak pernah menetapkan sikap resmi terhadap keterilbatan para anggotanya dalam SI/PSII, Budi Utomo dan lain-lain. Pada tahun 1927-1937 Muhammadiyah tidak menentukan sikap resmi terhadap anggota yang melibatkan diri atau menjadi anggota partai politik.Pada tahun 1938-1942 Muhammadiyah tidak pernah menentukan sikap resmi terhadap eksistensi Partai Islam Indonesia yang didirikan tahun 1938 oleh para pemuka JIB dan Muhamamdiyah sendiri. Pada tahun 1942-1945 Muhammadiyah tetap tidak merupakan bagian dari Masyumi yang semua bernama MIAI yang didirikan oleh Muhammadiyah sendiri bersama-sama dengan organisasi Islam lainnya (pada tahun 1937). Pada tahun 1966-1968 muhammadiyah bersama-sama dengan ormas-ormas Islam lainnya membentuk Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). partai ini akanmerupakan tempat untuk menyalurkan aspiasi politik anggota-anggota Muhamamdiyah. Namun Muhammadiyah tetap memiliki independensinya (“KeMuhammadiyahan”, hal 106-108).

Catatan : Tampaknya Muhamadiyah dengan sadar dan sengaja membiarkan tumbuh berkembangnya perbedaan persepsi dalam politik para tokohnya, yang sekalipun membuat bingung para anggotanya. Terakhir terlihat pada pemilu 1997 yang secara transparan ada yang memihak Golkar dan ada pula yang memihak PPP. hanya tak terlihat apa ada yang memihak PDI.

Saya pertan bertanya – ungkap Amien Rais – kepada seorang politikus-kiai, ataau kiai-politikus, tentang kepindahannya dari satu parpol ke parpol lainnya. Saya bertanya, apakah langkah beliau itu tidak membingungkan pengikutnya (“Panduan Umum”, hal 40).

Catatan : Pertanyaan senada bisa dihadapkan kepada Muhammadiyah : Apakah kebijaksanaan Muhammadiyah yang tidak berupaya menyamakan persepsi politik tokohnya, tidak akan membingugkan anggotanya ?

Kata Negara Islam di sebagian dunia Muslim merupakan sesuatu yang konroversial. Kehidupan politik yang Islami tidak memberikan tepat bagi seklarisasi. Islam menolak seklarisasi, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Manusia seklaris menggunakan sistim berpikir dan sistim sosial yang sepenuhnya bersifat man-made dan bersandar pada etik situsional. dalam pandang sekularistis, Islam hanya subordinasi dari ideologis buatan manusia (man-made). Demikian papar Amien Rais (“Panduan Umum”, hal 42,43,47,49,53)

Pandangan sekularistis memunculkan pendapat semisal bahwa Islam tidak punya konsep ketatanegaraan, Islam tidak punya preskripsi-preskripsi dasar tentang pengelolan ekonomi, Islam hanyalah agama yang memberikan tuntunan moral saja, hukum-hukum Islam yang bersusmber padaal-Quran perlu direvisi, supaya sesuai dengan konteks masyarakat modern dan sebagainya, papar Amien Raais (“Pandua Umum”, hal 43).

Pandangan tersebut beraar dari bawa tidak ada nash yang tegas yang mengatur hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pertanyaan : Pandangan yang menyatakan bahwa di dalam al-Quran dan Sunnah tidak ada perintah untuk mendirikan Negara Islam, dan yang menyatakan bahwa al-Quran hanya sebagai sumber hukum, yang hukum-hukumnya dapat direvisi sesuai dengan konteks masyarakat, apakah tidak termasuk pandangan sekularistis ?

Istilah “Negara Islam” bisa ditafsirkan secara sangat beragam, jelas Yusril Ihza Mahendra. stilah itu dipakai secara amat sangat berbeda oleh Partai Masjumi dan oleh Jama’at Islami (Pakistan). Ketika gagasan itu mau dialihkan menjadi ideologi politik dan ingin diterapkan dalam realitas politik, perbedaan itu menjadi jauh lebih besar lagi. Khusus dalam konteks Indonesia pada forum penyusunan UUD-45 terjadi pengkubuan yang tajam. Ada kubu yang menghendaki negara Islam, seperti dengan jelas disuarakan oleh Ki Bagus Hadikusumo. Kubu lain seperti yang diwakili oleh Soepomo, tidak ingin negara berdasarkan Islam, tapi dia juga tak mau negara berdasarkan sekularisme. Akhirnya sampai pada gagasan negara integralistik (perpaduan, persekutuan, perserikatan Islam dengan sekularisme ?) (REPUBLIKA, Senin, 3 Oktober 1994, hal 8, Suplemen TEKAD/GALERI).

Islam jangan dipenggal-penggal (menerima sebagian ajaran Islam dan menolak sebagian lain). Terimalah Islam itu secara utuh (Kaffah, totalitas) atau tinggalkan/tanggalkan sama sekali. Ajaran Islam mencakup aspek/dimensi politik, hankam, sosial, budaya, ekonomi, hukum, moral, ideologi, iptek. Jangan cari-cari teori politik dalam al-Quran. Al-Quran bukanlah buku teori politik tentang tindak aplikasi politik.

Politik adalah merupakan salah satu aspek saja dari kehidupan manusia atau masyarakat, ungkap KH Sahlan Rosidi (“KeMuhammadiyahan”, hal 105).

Politik pada hakekatnya merupakan bagian (inheret ?) dakwah, ungkap Amen Rais (“Panduan Umum”, hal 41).

Dakwah Islam – menurut Amien Rais – adalah setiap usaha rekonstruksi masyarakat yang Islami. Moralitas dan etika kegiatan dakwah dalam bidang apapun bersumber pada tauhid.

Seluruh dimensi kehidupan Muslim harus bertumpu pada tauhid. Tauhid harus menjiwai dan mewarnai seluruh bidang dan kegiatan hidup kaum Muslimin. Tak satu punajaran Islam, baik prinsipnya maupun prakteknya yang terlepas daari dimnsi sosial. Seluruh kegiatan Muslim berpangkal pada ikrar bahwa salat, ibadat, hidup dan mati diabdikan hanya kepada Allah Tuhan Alam Semesta (QS 6:162). Seluruh kegiatan dalam berbagai dimensi kehidupan diabdikan kepada Allah swt. Duna dimanfa’atkan sebagai sarana untuk akhirat.

Dalam berbagai kesempatan dalam tulisannya, aAbul A’la alMaududi pernah mengemkakan pengertian Tauhid dalam Politik. Muhammadiyah merasa perlu (menjelaskan dengan )mencantumkan pengertian, bahwa kTuhanan Yang maha Esa adalah keimanan kepada Allah swt (Tauhid). Tugas dakwah haruslah menghadirkan nilai-nilai agama ke tengah kehidupan politik, ungkap Amien Rais (Bulletin Jum’at USWATUN HASANAH, No.015/Th.I, Jum’at ke-IV, Jumadil Akhir/Januari 1989).

Dari ayat QS Yusuf 12:42-43,47,50 dipahami bahwa Nabi Yusuf menggunakan sebutqan “Rabb” terhadap “Malik” (raja Mesir). Dari pemahaman ini, maka pernyataan Fir’aun “Akulah rabbmu tertinggi” dalam ayat QS Nazi’aat 79:24, berarti “Akulah penguasatertinggi”. Demikian juga yang terdapat dalam QS Dukhan 44:31. Maka yang dimaksudkan oleh Fir’aun dengan pernyataannya itu – menurut Maududi - adalah bahwa ia adalah penguasa ata pemimpin tertinggi di Mesir. Pernyataan Fir’aun itu tampak jelas dalam ayat QS Zukhruf 43:51 yang maksudnya “Whai bangsa Mesir, apakah negeri ini bukan milikku di mana sungai-sungai mengalir di bawah kekuasaanku ?”. Nabi Musa diutus Allah kepada Fir’aun dan kaumnya agar menyadari bahwa yang berdaulat, yang berkuasa tertinggi itu hanyalah Allah swt, bukan yang lain, agar tidak membangkang terhadap perintah Allah, agar tidak merasa tertinggi, seperti termuat dalam ayat QS Dukhan 44:19. (Abul A’la alMuadudi : “Bagaimana Memahami Quran”, 1981, hal 65,67).

Catatan : Dari tugas Nabi Musa dan Nabi yang lain kepada kaumnya, dapat dipahami bahwa dakwah itu mengajak gar menyadari sepenuhnya akan kedaulatan, kekuasaan tertinggi itu hanyalah milik Allah swt semata.

Alhamdulillah Amien Raais/Muhammadiyah telah merintis mendakwahkan-menjelaskan secara sistimatis model masyarakat Islam (masyarakat adil makmur yang dridhai llah swt, masyarakat yang dikendalikan-diatur oleh ajran Allah swt). Amien Rais berupaya menangkis serangan musuh Islam yang mengkritik hukum Islam, kedudukan wanita dalam Islam. Di awal dan di akhir tangkisannya itu, Amien Rais menyatakan “Kalau yang dimaksud dengan konsep Negara Islam hanya-Cuma berkisar di seputar masalah tersebut (maksudnya hudud dan hijab), penulis (Amien Rais) sudah lama murtad-keluar dari Islam” (“Panduan Umum”, hal 47,49).

Catatan : Apa perlunya pernyataan tersebut ? Apakah tidak lebih tepat menyatakan “Meskipun kalau yang dimaksud dengan konsep Negara Islam hanya-Cuma berkisar seputar masalah tersebut (hudud dan hijab), penulis tak akan pernah murtad-keluar dari Islam”. Terasa aneh membela hudud dan hijab, tapi disertai pernyataan yang kontradiktif.

Bidang politik harus diterjuni secara professional, dan tidak selayaknya dimasuki secara amatiran. pilitik memerlukan pengetahuan dan keahlian sendiri. masalah-masalah politik tidak dapat digarap secara sambil lalu dan tanpa pengetahuan yang cukup, papar Amien Rais (“Panduan Umum”, hal 45).

Catatan : Apakah karena merasa bukan ahlinya, maka Muhammadiyah menghindari kegiatan politik praktis sebagai arena, sarana, alat dakwah ? Kenapa Muhammadiyah tidak serius menyiapkan kader politisi professional yang memiliki wawasan, keahlian serta pengetahuan politik yang cukup, yang menguasai persoalan politik serta katannya dengan masalah-masalah sosial, ekonomi, budaya, psikologi dan lain-lain, yang siap memegang jabatan-jabatan politik seperti sebagai anggota paarlemen, pejabat eksekutif dan lainnya.

Islam sebagai agama wahyu, bagi setiap Muslim menjadi kerangka acuan paripurna untuk seluruh kehidupannya. Kedua sumber Islam (al-Quran dan Sunnah) memberikan skema kehidupan yang sangat jelas. Skema atau kode kehidupan yang diberikan Islam untuk mengatur kehidupan itu dalam Syar’iyah.

Syar’iyah adalah sema kehidpan yang lengkap dan suatu tata sosial yang serba mencakup. Dalam Syar’iyah terapat bagian-bagian yang tidak dapat diubah dan bersifat permanent, dan ada pula bagian-bagian yang bersifat fleksibel, agar dapat memenuhi tuntutan perubahan zaman yang dinamis. Masalah-masalah yuridis, politik, ekonomi, administrasi, militer dan lain-lain adalah masalah-masalah furu’ (cabang) yang dapat dipecahkan berdasarkan akal dengan berpedoman pada etik, nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum yang telah ditegaskan oleh Islam.

Syar’iyah tidak berbicara mendetil mengenai aspek-aspek kelembagaan, teknik dan prosedur pengelolaan suatu negara. Tapi Islam memberikan etika dasar nilai-nilai dan norma-norma yang harus ditegakkan, prinsip-prinsip umum dan referensi baku. Seluruh bidang dan kegiatan hidup kaum Muslimin harus bertumpupada tauhid. Ada nilai-nilai atau prinsip-prinsip konstitusional yang harus ditegakkan dan dijadikan pilar-pilar pengelolaan suatu pemerintahan (negara), seperti syura, keadilan, kebebasan/kemerdekaan, persamaan dan pertanggungjawaban di hadapan Rakyat. ntuk melaksanakan penerapan hukum (Syar’iyah) diperlukan kekuatan, kekuasaan politik yang disebut dengan negara.Negaraberfungsi sebagai penjaga Syar’iyah agar tidak mengalai penyelewengan. Demikian papar Amie Eais (“Panduan Umum”, hal 49-56).

Meminjam bahasa Firdaus AN, meskipun telah bersusah payah meyakinkan bahwa seluruh bidang kegiatan hidup manusia merupakan lahan, arena, sarana, alat dakwah, dan bahwa hukum-hukum yang berdasarkan wahyu itu jauh lebih unggul, lebih superior dari pada hukum-hukum buatan manusia (man-made) mana pun (“Panduan Umum, hal 44,48), namun Amien Rais tak tertarik mendakwahkan untk menjadikan ajaran wahyu itu (Islam) sebagai dasar hidup berbangsa, bernegara dan berpemerintahan secara murni, bersih dari dominasi ideologi buatan manusia.

Dalam wilayah, daulah, negara yang berpenduduk Muslim, maka konsekwensi logisnya yang layak diberlakukan adalah Hukum Islam (Simak antara lain KH Firdaus AN : “Dosa-Dosa Yang Tak Boleh Berulang Lagi”, Pedomaan Ilmu Jaya, 1992, hal 32-33. Sayangnya KH Firdaus AN tak memiliki kemampuan (kepemimpinan, leadership) untuk mewujudkan, merealisasikan idenya agar “Dosa-Dosa Politik Orla dan Orba Tak Berulang lagi”).

Dalam pandangan KH Firdaus AN “Teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang dibacakan Soekarno adalah teks yang tidak sah alias tidak otentik. Karena sama sekali tidak sesuai dengan apa yang telah diputuskan oleh BPUUPKI”. Dengan kata lain telah terjadi penyimpangan, sekaligus pengkhianatan terhadap Islam” (SABILI, 29 Januari 1999, REPUBLIKA, Kamis, 28 Januari 1999, hal 3).

Rakyat Indonesia sangat mendambakan, mengharapkan pemerintahan yang memiliki Sistim pencekalan pengangguran, Sistim pencekalan kemiskinan, Sistim pencekalan pornografi, Sistim pencekalan kezhaliman, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti yang diamanatkan oleh Piagam Jakarta, yang kemudian dipungut sebagai Pembukaan UUD-1945.

Selama Pancasila dan UUD-45 menjadi nomor satu dalam negara RI; Islam, AlQur^an dan AsSunnah jadi nomor dua, itu berarti semangat jihad kaum Muslimin belumlah optimal. Dan itu adalah hal yang cukup memalukan dalam suatu negara yang penduduknya hampir 90% memeluk agama Islam. Itu satu bukti bahwa iman dan kesadaraan beragama terlalu lemah dan melempem (KH Firdaus AN : “Dosa-Dosa Politik Orla dan Orba Yang Tak Boleh Berulang Lagi di Era Reformasi”, Pustaka AlKautsar, Jakarta, 1999:190).

Yang ideal, di Indonesia cukup memiliki dua buah partai politik, Yaitu Partai Islam dan yang satu lagi Partai Pancasila. Di negara-negara besar yang matang demokrasinya cuma ada dua partai politik. Dengan itu rakyat mudah menentukan pilihannya dan mudah pula menentukan lawan dan kawan. Bagi yang tidak setuju ideologi Islam silakan masuk partai Pancasila, dan yang bercita-cita untuk kejayaan Islam dan kaum Muslimin, silakan masuk Partai Islam (idem, hal 186). Dengan demikian bisa pula diatasi gerakan jihad yang dicap sebagai teroris. Semua yang bercita-cita untuk kejayaan Islam dan kaum Muslim diberikan kesempatan berjuang secara demokratis (musyawarah mufakat) dalam sidang DPR/MPR, seperti yang pernah ditawarkan oleh Soekarno pada sidang BPUUPKI pada 1 Juni 1945 yang dikenal dengan hari Lahirnya Pancasila.

(BKS9707171400)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home