Milis bincang-bincang Masyarakat Adil Makmur Situs Koleksi Informasi Serbaneka

Wednesday, June 29, 2011

Fasiq

Catatan sebaneka asrir pasir
Fasiq
Yang fasiq, cuek (tak peduli) dengan batas antara halal dan haram. demi kepentingannya tak ada yang terlarang. “The end justifies the means”. yang elitnya (actor intelektual) bahkan bisa saja dengan menggunakan symbol agama memanfa’atkann gembel dengan mengasuhnya, mengerahkannya, menggerakkannya untuk melakukan aksi, tindak kejahatan/kekerasan/kerusuhan bagi kepentingannya. Demikian pula yang gembel (preman pengangguran) bisa saja dengan symbol agama siap dikerahkan, digerakkan untuk melakukan aksi, tindak kejahatan/kekerasan/kerusuhan apa pun asalkan ada imbalan, upahnya untk itu. Hal ini bisa saja dibumbui dan diwarnai dengan isu kesenjangan dan kecemburuan sosial dan perbedaan etnis. (fasiq = zhalim = fasid, simak QS 29:30-34, 5:44-47).
Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik. yant tidak mengindahkan perintah Allah. Yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh. Yang memutuskan apa yang diperintakan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya. yang membuat kerusakan di muka bumi. Yang melakukan perbuatan keji (sodomi). Yang membikin tuduhan palsu. Yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah. Yang lupa kepada Allah. Yang kufur terhadap allah dan RasulNya. Yang menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah (QS 2:27,59, 3:82, 5:47, 9:67,84, 21:74, 24:4,55, 47:1, 59:19, 61:5)
Kita mengaku berTuhankan Allah, tahu hukum Allah, tetapi kita tidak mau menegakkan hukum Allah, tidak mau menerima hukum Allah, sengaja melanggarnya, beramal, bertindak berentangan dssengan perintah dan ajaran Allah. Kita membenarkan dalam ucapan, tapi kita menyangkal dalam tindakan.
Kita mengaku beriman kepada Allah swt sebagai Rabb, Islam sebagai dien, AlQur;an sebagai pimpinan (imam), Nabi Muhammad saw sebagai suri teladan (uswah, qudwah), tetapi kita tdak mau mengikuti ajarannya.
Kta mengaku bahwa hak sesama Muslimin, baik sebagai tetangga, kerabat, teman sepekerjaan, teman sperkumpulan meliputi menyebarkan salam, menjawab salam, menengo yang sait, mengantarkan jenazah, memohonkan do’a, mendo’akan yang bersin (berbangkis), menolong yang teraniaya (tertindas), menolong yang kesusahan, menasihati yang membutuhkannya, menutupi aibnya, tidak mengganggu atau merugikannya, tetapi kita tidak menunaikannya.
Kita tahu bahwa setiap Muslim tidak boleh membiarkan sesama Muslim ditipu orang. Bahwa setiap orang yang mengetahui aib (cacat) suatu barang dagangan (komoditi) arus memberitahukannya agar tidak terjadi penipuan. bahwa nasehat itu dalam agama adalah lebi baik daripada dunia dengan segala isinya. Tapi kita tak mempedulkannya. bahkan kita sengaja menutup mata dan kuping kita terhadap hal itu.
Kita tahu bahwa emberikan sesuatu berupa tips ntuk memperlancar urusan adalah perbatan tercela (munkar). Tapi kita berdalih ikhlas mengharapkan ridha Allah semata memberikan sedekah kepada pejabat, petugas yang sama sekali tak perlu disedekahi, meskipun dengan terang terpampang arangan “Jangan memberikan apa-apa kepada petugas”. Agar terhindar dari larangan ini, kita lakkan dengan sembunyi-sembunyi.
Kita begitu bersemangat menghimpun dana untuk meringankan beban penderitaan korban bencana alam dan bendana perang bak di dalam maupun di luar negeri, tetapi kita menutup mata menyaksikan beban penderitaan hidup yang berkepanjangan ang dalami oleh para terlantar, terlunta-lunta, gelandangan, pengemis, pemulung, anak kolong, anak jalanan, tuna arta, tuna wisma, tuna karya.
Di depan umum kita sangat mengecam penghidupan seks bebas yang terbuka atau setengah terbua. Tapi kita buka tempat-tempat mandi uap, kita atur tempat-tempat prostitusi, kita lindungi dengan berbagai aturan resmi, setengah resm ataupun cara swasta.
Dalam lingkungan sendiri, kita pura-pura alim. Begitu lepas, keluar dari lingkungan sendiri, kita antas masuk tepat maksiat. Kita ikut-ikut maki korpsi, tetapi kita sendiri tak bersih dar korupsi, bakan sebagai koruptor.
Kita mengatakan, bawa hukum itu berlaku sama terhadap semua orang. Tetapi dalam kenyataan kita lihat pencuri masu penjara, sedangkan pencuri besar segera akan bebas, atau masuk penjara sebentar saja.Kita begitu getol, bersemangat membicarakan peran, fungsi masjid sebagai markas, pusat kegiatan umat Islam, tapi kita sendiri sama kali jauh, tak akrab dengan masjid.
Kita mengaku memperjuangkan aspirasi dan nasib rakyat. Tapi nyatanya kita hanya pandai memanfa’atkan dan memperkuda rakyat. kita nyatakan bahwa kekuasaan itu diatur dan diawasi oleh hukum. Tapi nyatanya kita barkan hukum itu diatur, dikendalikan oleh kekuasaan. kita nyatakan bahwa yang berkuasa, berdalat itu adalah rakyat. Tapi nyatanya kita anggap lmrah dan wajar rakyat itu yang dikuasai.
Kita latah mengajak, menganjurkan mempererat, memperkokoh hubungan slaturrahim. Tapi dalam diri kita sendiri tak secuilpun benih raim itu bersemi. Kita datang berkunjung bertamu ke empat sanak famili, kita menunggu, menanti kedatangan kunjungan sanak famili pada saat hari raya idul fitri untuk mepererat hubungan silaturraim. Tapi diri kita sendiri kosong dar rahim itu. Kita bersalam-salaman, berma’af-ma’afan dengan tetangga sekitar pada hari raya idul fitri tak lebih dari depan pintu rumah.
Kita hibur gembirakan yatim miskin pada hari raya idul fitri dengan menyantuninya dengan sandang dan pangan bilamana nama kita diumumkan, disiarkan, disebut sebagai penyantun. Tapi kia masa bodoh, ta peduli sama sekali bilamana nama kita tak akan diumumkan, disiarkan, disebut sebagai penyantun.Tak pernah tergerak hati kita untuk menghibur menggembirakan keponakan, anak famili, anak tetangga berknjung ke taman ria anak-anak.
Kita mengaku percaya bahwa belum beriman seseorang sebelum ia mencintai sesame Mukmin sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, tetapi kita tak pernah berupaya mewujudkan kesamaan antara pernyataan (Das Sollen) dengan kenyataaqn (Das Sein).
Kita getol berkoar meneriakkan seruan menggalang persatuan dan kesatuan. Tapi kita sendiri ogah datang berkujung bertamu ke rumah yang berlainan paham dengan kita, mengucapkan salam selamat. Bahkaan ketika berlebaran kita tidak mengajak orang yang kita salami untuk mapir berkunjung ke rumah kita, kita tidak mengajak orang yang berjalan kaki yang pulang dari shalat ‘id untuk ikut bersama dalam kendaraan yang kita kemudikan. Silaturrahmi hanya sampai batas di pintu rumah. Yang minta ma’af tiak merasa bersalah. Yang berutang merasa utang lunas dengan minta ma’af pada sa’at lebaran. Yang mengemis memanfa’atkan lebaran untuk meningkatkan penghasilan (pendapatan). Ukhuwah tinggal sebagai impian. Lebaan usai, suasana akembali biasa seperti semula (Siapa lu siapa gua). Kembali kepada kesucian (fithrah, original nature creation) tinggal impian, idaman. Lain di bibir, lain di hati.
Kita begitu bersemangat menghimpun dana untk meringankan penderitaan korban bencana alam dan bencana perang baik di dalam mau pun di luar negeri, tetapi kita menutup mata menyaksikan beban penderitaan hidup yang berkepanjangan yang dialami oleh para terlantar, terlunta-lunta, gelandangan, pengemis, pemulung, anak kolong, anak jalanan, tuna arta, tuna wisma, tuna karya. Kita menyatakan bertanggungjawab memelihara fakir-miskin dan anak-anak yatim. Tapi nyatanya kita menyia-nyiakannya, membiarkannya menderita berkepanjangan.
Kita mengaku percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa (Sila pertama Pancasila), tetapi kita juga percaya kepada Nyai Roro kidul, dewi siluman di laut seatan yang dipandang sakti.
Kita nyatakan Nabi Muhammad teladan sempurna. Tapi nyatanya, ajaran nabi Muhammad kita lemparkan. Kita pungut yang bukan ajaran Nabi Muhammad. Kita nyatakan Qur:an itu tuntunan sempurna. Kita gunakan Qur:an untuk sarana sumpah. Tapi nyatanya ajaran Qur:an kita lemparkan. Kia singkirkan Qur:an dari Konstitusi. Kita pungut yang bukan ajaran Qur:an. Kita nyatakan Islam itu sistem sepurna. Tapi nyatanya ajaran Islam kita lemparkan. Kita punut yang bukan ajaran Islam. Kita nyatakan Allah itu Maha Sempurna. Tapi nyatanya ajaran Allah kita lemparkan. Kita pungut yang bukan ajaran Allah.
Berdasarkan pengamatan, studi, observasi Sufi Ibrahim “AlAzam” bin Idham yang dinukil oleh Syaqiq alBalkhi tentang tingkah polah sosial kita seperti demikian (Yang dikenal sebagai an-nashihatul ‘asyrah, deka/desa nasehat, nasehat yang sepuluh) :
Kita mengaku berTuhankan Allah, tetapi kita tdak mau menunaikan hak Allah, bahkan mencintai makhluk. Kita tahu bahwa yang bernyawa akan mati, tetapi kita mencintai rumah tempat tinggal. Kita percaya akan akhirat, tetapi kita mencintai hidup dunia. Kita percaya bahwa di ahirat kela segala sesuat akan diperhitungkan, tetapi kita mengejar, menumpuk hara kekayaan. Kita percaya akan kewajiban bertobat, tetapi kita suka berbuat maksiat. Kita tau bahwa dunia ini akan lenyap, tetapi kita hidup dalam kemewahan. Kita thu bahwa setiap hal mengikuti takdir, tetapi kita resah gelisah mengalami kegagalan. Kita percaya bahwa neraka disediakan bag yang jahat, tetapi kita melakukan perbuatan dosa. Kita percaya bahwa sorga disedakan bagi yang mengerjakan kebajikan, tapi kita tidak berupaya memperolehnya, bahkan kita tdak merasa puas menikmati kekyaan dunia. Kita tahu bahwa seta itu musuh kita, tetap kita patuh mengikuti kemauan, perintahnya. Kita membaca Qur:an, tapi kita tidak mengamalkan ajarannya. Kita mengaku cinta akan Rasulullah, tetapi kita tidak mengikuti Sunnahnya. Kita tutupi aib kita, tetapi kita beberkan aib orang lain.
Dalam hal ini, barangkali patut juga kita renungi perngatan Presiden Amerika Serikat mendiang Abraham Lncoln :
“Kita bisa saja mengibuli manusia. Api kia tak bisa lepas dari tilkan Yang Maha Kasa. Kita bisa saja mengibuli semua orang pada suatu jumlah orang pada sepanjang masa, tapi kita tak akan bisa mengibuli semua orang semanjang masa”. Kita bisa saja mengibuli manusia. Tapi kita tak bisa lepas dari tilikan Yang Maha Kuasa.
“Dia 9Allah) mengetahui apa-apa yang di langit dan di bumi dan mengetahui apa-apa yang kamu rahasiakan dan apa-apa yang kamu nyatakan. allah Maha Mengetahui apa-apa yang ada dalam dada” (QS 64:4).
Penyair Palestina Ali Ahmad Said berkata : “Bumi kita searang adalah bumi pertentangan-pertentangan. Kita menganjurkan kemerdekaan, akan tetapi tidak melaksanakannya. kita melepaskan diri dari perbudakan lahir untuk jatuh kembali pada perbudakan jiwa dan batin”,
“Katakanlah : Hai hamba-hambaKu ang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesunggunya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS 39:53).
“Dan ta’atilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dar Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” (QS 3:132-133).
(Disimak antara lain dari :
1. Abu Fahmi : “Bercinta dan Bersaudara Karena Allah” (Husni Adham Jaurar), Gema Insani Press, Jakarta, 1990:33,38.
2. H Mawardi Noer SH : “Me4milih Pemimpin”, Publicity, Djakarta, 1971:15-16.
3. Drs Asyhuri : “Orang Kafir Dapat Menerima Pahala Dai Surga ?”, KANISA, Assalam, Surakarta, No.03, Rabiul Awal 1410h, halaman 23.
4. PANJI MASYARAKAT, No.221, 15 April 1977, alaman 46-47, Mukhtar Lubis : “Manusia Indonesia”.
5. Abdullah Thaher : “Kitab al-Islaqm wal-Amal”, halaman7.
6. Amien Noersyams : “Rahasia/Keajaiban Hati “ (Imam Ghazali), halaman 130, tentang tempat masuk setan.
7. Mahfud Sahli : “Dibalik Ketqjaman Hati” (Imam Ghazali), halaman 34, tentang Kelengahan, halaan 57, tentang Kecintaan.
8. SUARA MASJID, No.61, Th V, Oktober 1979, halaman 80, “Mutiara Hikmat dari Usman bin ‘Affan”.
9. Mahbub Junaidi : “Interupsi”, KOMPAS, Minggu, 28 Maret 1993, halaman 9, Asal Usul.
10. PANJI MASYARAKAT, No.245, 15 Aprl 1978, halaman 3, “Hikayat Ibrahim bin Adham.
11. H Salim Bahreisy : “Tarjamah Riadhus Shalihin (Imam Nawawi, jilid II, halaman 416, hadis 2, “Kejelekan orang bermuka dua”; jilid I, halaman 211, hadis 2, “Perintah Menunaikan Amanat”.
12. H Salim Bahreish : “Tarjamah al-Lukluk wal-Marjan” (Muhammad Fuad Abdul Baqi), jilid I, halaman 46, hadis 87, “Tercabutnya amanat dan iman dari hati, dan banyaknya ujian hidup”.
13. S Sjah SH : “Islam Lawan anatisme dan Intoleransi” (Khurshid Ahmad, MA, LLB), Tintamas, Djakarta, 1968, halaman XIII.
14. Abdul Hadi WM : Semangat profetik Sastra Sufi Dan Jejaknya Dalam Sastra Modern”, JURNAL ULUMUL QUR^AN, No.1, April-Juni 1989, hal 104.
15. Mudji : “Politik”, KOMPAS, Selasa, 30 Juli 1996, hal 4.
16. Drs H Jumari Ismanto : “Nikmat membawa musibat”, Anomsari, Jakarta, Pebruari 1993, hal 1-2.
Written by Asrir Sutanmaradjo at BKS9104161030
(look also at http://asrirs.blogspot.com http://sicumpas.wordpres.com http://sikumpas.blogspot.com http://kamimenggugat.blogspot.com http://kami-menggugat.blogspot.com http://islamjalanlurus.truefreehost.com http://sicumpaz.truefreehost.com http://sicumpas.multiply.com http://fauziah_sul.livejournal.com http://pontrendiniyahpasir.wordpress.com )
Comments Off
February 15, 2011
Kita ini bangsa munafik
Filed under: Moral Islam — admin @ 3:22 am

Kita ini bangsa munafik
Kita ini triliunan wajah. Pintar/jujur berbohong. Mulai dari puncak/atas sampai bawah. Baik eksekutif, legislative, yudikatif semuanya pembohong, pendusta. Berbeda antara omongan/ucapan dan perbuatan/tindakan. Semua fasiq, munafiq.
Kita tak suka bila aib, cacat, cela, kejelekan, keburukan kita diketahui oleh pihak lain. Kita berupaya dengan segenap tenaga dan sarana untuk menutupi, menyembunyikan aib diri kita.
Kita butuh topeng penutup bopeng. Untuk menutupi kebopengan kita misalnya wajah kita, kita gunakan pupur-bedak dari berb agai macam merek dan beraneka ragam bahan kosmetika. Kita malu, takut ketahuan akan kebopengan kita. Bedak merupakan satu dari sekian sarana untuk menutupi, menyembnyikan aib diri.
Umumnya sarana untuk menutupi, menyembunyikan aib diri ini disebut dengan masker atau topeng. Seribu satu macam bentuk, model, tipe, jenis masker, topeng yang kita gunakan sesuai dengan situasi dan kondisi ang memerlukannya.
Dengan menggunakan masker, topeng, kita berupaya menimbulkan imej, citra, kesan pada khalayak, bahwa kita tak memiliki aib. Agar khalayak memiliki kesan bahwa kita orang intelek, orang terpelajar, maka kita berupaya tampil sarat dengan kosa-kata, istilah-istilah yang asing, yang teraasa keren dan canggih.
Agar khalayak memiliki kesan bahwa kita orang alim, orang saleh, maka kita tampil dengan setumpuk hafalan kutipan-kutipan nash-nash agama. Agar khalayak memiliki kesan bahwa kita orang maju, orang moern, maka kita berupaya tampil dengan berbagai asesoris yang nyentrik, yang merupakan rangkaian dari fan, fashion and food.
Ada pula masker yang digunakan untuk melindungi, mengamanka, menyelamatkan diri dari sengatan matahari. Agar terlindung, aman, selamat harus mempu bermimikri, mampu menggunakan masker, topeng sesua sikon yang membutuhkannya, harus mampu berperilaku bunglon.
Termasuk jalan selamat dari ancaman, d antaranya adalah perilaku yang adaptif, akomodatif, kooperatif, kompromi, moderat, inklsif. Mak Cik Poli (Machiavelli) menasehati penguasa untuk pandai-pandai secara berhati-hati meggunakan masker, topeng.
Penguasa harus memiliki kebuasan singa yang dapat membikin gentar manusia-manusia serigala. Sekaligus ia harus pula memilki kecerdikan dan kelcikan anjing pemburu yang dapat mendeteksi pelbagai ranjau perangkap, dan data menghindari pelbagai jebakan. Ia harus mampu berperan ganda. Berperan sebagai elitokrat dengan wajah democrat. Harus mengutamakan kepentingan Negara di atas segala-galanya, meskipun akan bertabrakan dengan norma-norma kesusilaan.
Demi kepentingqn Negara (baca kepentingan penguasa), maka kepentingan rakyat boleh dilecehkan. Rakyat hanyalah objek Negara. Ia harus mampu hipokrit, berskap seperti musang berbulu ayam, atau seperti serigala berbulu domba.
Sekali-seali bleh berlagak dermawan melalui berbagai sarana informatika untuk menutupi kerakusan, ketamakan (kolusi dan korupsi). Ia harus mampu membuat lawan-lawan politiknya ertekuk lutut secara telak, sehingga tak sempat bangkit berkuti.
Demi stabilitas nasional, demi kepentingan Negara, maka penindasan da penekanan (agitasi, provokasi, intimidasi) boleh dlakukan terhadap lawan-lawan politik. Hanya ada kawan atau lawan. Tak ada benar atau salah, etis atau tiran.
Sesekali boleh tampak ramah-tamah, lemah lembut untuk menyembunyikan kekerasan, kebrutalan, kekejaman, keculasan, kecurangan. Pokoknya demi keamanan, ketenteraman, stabilitas nasional, maka segala upaya boleh dilakukan, tak peduli dengan norma-norma kesusilaan. Bila perlu diciptakan, disebarkan isu gangguan keamanan dan ketertban, gejolak sosial, keresahan dan kerusuhan, goncangan ekonomi, dan lain-lain. Penamplan boleh alim, tapi tindakan tak terikat dengan norma. Demokrasi digunakan sebagai topeng penutup elitokrasi.
Sebagai bangsa tampaknya kita sudah sangat terbiasa mengenakan bermacam ragam topeng, tergantung keperluan dan kebutuhannya. Ketika keperluan menntut mengenakan topeng Sukarnois, maka kita pun mengenakannya beramai-ramai. Ketika zaman berubah, maka secara missal, kita pun mengenakan topeng Orde Baru. Begitu seterusnya (Simak PIKIRAN RAKYAT, Jum’at, 8 November 2002, hal 18, tajuk Rencana : “Suharto dan Budaya Jawa”, Simak juga KOMPAS, Sabtu, 5 Februari 2011, hal 12, “Teroka : Sastra dan Kebohongan Endemik”, oleh Rizka Ramadhani).
(written by sicumpaz@gmail.com at BKS709081400)

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home