Milis bincang-bincang Masyarakat Adil Makmur Situs Koleksi Informasi Serbaneka

Tuesday, July 04, 2006

Jalur pembudayaa Pancasila

ASRIR - Jalur Pembudayaan Pancasila
Date: Mon Nov 06 2000 - 11:14:42 EST
Date: Sun, 5 Nov 2000 20:08:56 -0800 (PST)
Subject: Jalur Pembudayaan Pancasila

Jalur pembudayaan Pancasila

Selama empat belas tahun pertama sejak Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia, yaitu dari 1945 sampai 1958, hampir boleh dikatakan bahwa Pancasila dikenali hanya terbatas sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Pada awalnya Pancasila itu adalah formulasi (perumusan) dari gagasan Ir Soekarno yang diperkenalkannya pada hari keempat sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan tanggal 1 Juni 1945 tentang dasar Indonesia Merdeka yang kemudian diterima dalam Piagam Jakarta, dan yang selanjutnya direvisi dalam Pembukaan UUD-45 dengan membuang anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Pada bagian akhir pidatonya, atas petunjuk seorang ahli bahasa - demikian menurutnya - Ir Soekarno mengusulkan Pancasila sebagai nama bagi rancangan Dasar Negara Indonesia Merdeka yang dikemukakannya. Tapi para pendiri Negara Republik Indonesia tak pernah memutuskan memberikan nama Pancasila bagi Dasar Negara Republik Indonesia.
Ide (gagasan) ini dipungut Ir Soekarno dari ajaran Ernest Renan, Otto Bauer, A Baars, Gandhi, Sun Yat Sen, Jean Jaures, dan bukan dipungut dari Nagarakertagama, Sutasoma, Sriwijaya, Majapahit.
Pada masa Orde Lama (1959-1965) Manipol dianggop sebagai pengamalan Pancasila. Sejak awal Orde Baru, Pancasila diperkenalkn sebagai mithos bangsa Indonesia. Budayawan Kuntowijoyo mengajak untuk “Mengakhiri Mitos Politik” (REPUBLIKA, Senin, 21 Agustus 2000, hlm 8). Pancasila mulai dikeramatkan sebagai kekuatan sakti yang ampuh, semangat, jiwa, spirit yang tangguh.
Sebagai mithos, Pancasila diintrodusir sebagai Jiwa Bangsa Indonesia, sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia, sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, sebagai Sumber Tertib Hukum bagi Negara Republik Indonesia, sebagai Perjanjian Luhur Bangsa Indonesia, sebagai Cita-cita dan Tujuan Bangsa Indonesia, sebagai Falsafah Hidup yang mempersatukan Bangsa Indonesia. Ini merupakan hasil temuan kajian Laboratorium Pancasila.
Untuk sampai ke sini dikaitkan, dicarikan acuan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Sang Saka Dwi Warna, Garuda, Palapa pada ajaman Hindu-Budha, pada kejayaan nenek-moyang di jaman Majapahit Siwa-Budha. Padahal masa/jaman kejayaan, keemasan Majapahit adalah jaman feodal, jaman jahiliyah, jaman kesesatan, jaman syirik. Pancasila dikembangkan menjadi Pancakarsa. Sejak tahun 1978 diperkenalkan bahwa Pancasila perlu diyahati dan diamalkan.
Ketua Laboratorium Pancasila IKIP Malang, Dardji Darmodihardjo SH (yang waktu itu juga Rektor Universitas Brawijaya di Malang), dalam bukunya “Orientasi Singkat Pancasila”, terbitan tahu 1979 (LP UNBRA) mengemukakan bahwa istilah Pancasila telah dikenal sejak zaman Majapahit pada abad XIV, yaitu terdapat di dalam buku Negarakertagama karangan Prapanca dan buku Sutasoma karangan Tantular. Dalam kakawin Sutasoma disebutkan terdapat Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika. Mengaitkan Pancasila pada Tantular tampaknya terlalu dipaksakan (mengada-ada). Pancasila Sutasoma Tantular yang disebut Pancasila Krena bukanlah mengenai dasar falsafah negara (rechts-ideologi), tetapi mengenai ajaran morala (kesusilaan) yang wajib diamalkan oleh Upasaba (Bhudaawan) agar tidak melakukan lima larangan, yaitu tidak melakukan kekerasan (ahimsa), mencuri, berjiwa dengki, berbohong, mabuk (minuman keras).
Meskipun berupaya mengaitkan Pancasila pada Tantular, namun tidak ada keseriusan untuk tidak melakukan mo-limo, yaitu tidak melakukan madon/lacur/zina, maling/curi, main/judi, madat/narkotik, minum/miras/mabuk (TERBIT, 14 November 1996).
Sedangkan Bhinneka Tunggal Ikanya Sutasoma Tantular bukanlah semobayan Persatuan, Kebangsaan (Nasionalisme), tetapi mengenai konsep religi Siwa-Budha, bahwa meskipun zat/wujudnya Siwa dan Budha berbeda, tetapi sesungguhnya satu pengertian/nama sebagai “Keesaan Yang Maha Kuasa” dalam bentuk Siwa-Budha. Mirip ajaran Trinitas yang mengajarkan bahwa meskipunzat/wujud/manifestasi-nya tiga oknum, tetapi sesungguhnya satu pengertian/nama sebagai Satu di antara Tiga Tuhan.
Sejak tahun 1978 secara sistimatis dan terencana, dikembangkan konsep Pancasila sebagai ajran Moral Bangsa Indonesia, sebagai Asas Moral bagi kehidupan bangsa Indonesia. Mulai dari kehidupan pribadi dan berkeluarga diatur, ditata oleh negara. Kapan waktunya boleh berkeluarga, berapa jumlah anak, bagaiamana isi dakwah setahap demi setahap diarahkan, diatur, ditata oleh negara.
Setelah ditetapkan Pancasila sebagai Asas Tunggal, maka disini Pancasila berperan mengatur sikap dan tingkah laku orang Indonesia masing-masing dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa (Ketuhanan Yang Maha Esa), dengan sesama manusia (Kemanusiaan yang adil dan beradab), dengan tanah air dan nusa bangsa Indonesia (Kebangsaan atau nasionalisme), dengan kekuasaan dan pemerintahan negara (Kerakyatan), dam dengan negara sebagai kesatuan sosial dalam rangka realisasi kesejahteraan (Keadilan Solsial).
Dalam hubungan ini sementara pengamat mempertanyakan apakah negara/pemerintah, MPR berhak mengatur dan membina hati nurani masing-masing individu ?
Di kalangan yang bukan Islam, inilah jalan/jalir pembudayaan Pancasila, yaitu jalur/pendekatan sejarah (jaman Siwa-Budha).
Di kalangan yang Islam, jalur pembudayaan Pancasila yang ditempuh ialah jalur/pendekatan agama. Dikemukakan bahwa “di bawah bendera Pancasila, upaya mengembangkan Islam, justru lebih memperoleh suasana dinamis”. Bahwa “Republikd Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ini adalah sejalan dengan ajaran Islam”. “Bahwa di Repujblik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD-1945 ini, ajaran Islam lebih banyak dilaksanakan dari pada di dunia Islam lainnya”. “Bahkan hidup keagamaan ummat Islam di Indonesia tampak lebih bersemarak dari pada hidup keagamaan ummat di bahagian tertentu dunia Islam”. “yang penting bukanlah nama, tetapi adalah dilaksanakan ajran Islam dalam masyarakat”. “What is in a name ? That we called a rose. Shall by any other name. Smell as sweet” ungkap Shakespeare. Bahwa “tidak ada alasan bagi ummat Islam untuk menolak Pancasila sebagai ASAS YANG PALING DISUKAI (asas satu-satunya) bagi persatuan bangsa dan perjuangan memakmurkan bangsa”, karena PANCASILA mengandung ajakan dan ajaran yang tak diragukan dapat dianggap juga sebagai AJARAN ISLAM SENDIRI”. “Menerima Pancasila berarti secara tidak langsung mendekatkan yang belum Islam pada Islam, dan makin menguatkan ajaran Islam bagi yang Islam”. “Hendaknya kita ummat Islam Indonesia menerima negara Republik Indonesia ini sebagai sasaran akhir dari aspirasi politik kita, dan bukan sekedar sasaran antara atau batu loncatan ke arah sasaran yang lain”. Bahwa “adanya persamaan dan semangat al-Qur:an dengan Pancasila”. Untuk sampai ke sini diyakinkan lebih dulu, bahwa “al-Qur:an tidaklah mengandung segala-galanya”. Diintrodusir semboyan “Islam Yes, Partai Islam No”, dan belakangan dilanjutkan dengan Islam Yes, Negara Islam No, dimantapkan pula dengan “Tak Ada Negara Islam”: dalam Qur:an dan Sunnah.
Diantara yang aktif menggunakan jalur ini adalah Munawir Syhadzali (Islam dan Tatanegara), Harun nasution, Dahlan Ranuwiharjo, Syafi’i Ma’arif (MEDIA PEMBINAAN, No.5-9, 1986), Syafi’i Anwar, Dawam Rahardjo (REPUBLIKA, 30 Juni 1993), Hasbullah Bakry (PELITA, Oktober 1983), dan lain-lain yang biasa dikenal sebagai tokoh pembaharu, seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid (PANJI MASYARAKAT, No.528, hlm 73-74).
Teori politik Munawir Syadzali disanggah (disangkal, dibantgah) Firdaus AN (ALMUSLIMUN 258, September 1991). Bagi ideolog mujahid adalah aneh bila ada yang berakidah Islam, tetapi berasas bukan Islam. Adalah aneh yang Islam lebih memilih yang bukan Islam, lebih tertarik kepada yang bukan Islam.
Sungguh tak etis seorang muslim yang telah merenungkan al-Qur:an dengan pemikiran yang mendalam dan kesungguhan menyelidiki, akan berujar dengan lantang “tidaklah cukup dengan al-Qur:an”, “tidaklah benar segalanya ada dalam al-Qur:an”. Adalah suatu penghinaan menuduh “Islam tidak punya konsep tentang negara”, bahwa “selain al-Qur:an ada lagi yang tak diragukan (la raiba fihi)”.
Seandainya “PANCASILA itu mengandung ajakan dan ajaran yang tak diragukan dapat dianggap sebagai AJARAN ISLAM SENDIRI”, seandainya “Pancasila itu adalah sejalan dengan ajran Islam”, mustahillah muncul debat antara pihak Islam dengan pihak Nasionalis (Kebangsaan), baik pada sidang BPUPPKI, maupun di sidang Konstituante, dan mustahil pula pembubaran Konstituante pilihan rakyat (PANJI MASYARAKAT 698, 11 Oktober 1991).
Dalam hubungan ini dibawa-bawa nama Ali Abdul Raziq, kelompok minoritas Najadah dari Khawarij, Mu’tazilah. Ali Abdul Raziq (1888-1966) menggunakan jalur agama untuk mengesahkan nasionalisme. Dalam bukunya “Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam”, Ali Abdul Raziq melancarkan propaganda menentang adanya khilafah dan mengajak agar ummat Islam mengambil sekularisme dan nasionalisme.
Untuk sampai ke sini disusunlah teori politik, bahwa Islam itu sendiri mutlak tidak ada hubungannya dengan negara, bahwa tidak ada sedikitpun kaitan antara Islam dengan masalah kekhilafahan. Kekhilafahan Islam yang muncul dalam sejarah, menurut Ali Abdul Raziq bukanlah bercorak Islam (keagamaan), melainkan merupakan kerajaan Arab (kerajaan duniawi). Dalam kaitan ini, Ali Abdul Raziq mengutipkan Matius:22, “Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi haknya dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi haknya pula”.
Sekilas teori politik Ali Abdul Raziq mirip dengan teori politik Najadah dari Khawarij. Tetapi Najadah tidak mengingkari Khilafah, sedangkan Ali Abdul Raziq sama sekali menolak khilafah, menolak mengaitkan urusan negara (dunia) dengan Islam (diin). Tampaknya teori politik Ali Abdul Raziq ini dipasok/disupply oleh missionaris orientalis semisal Margoliouth, Thomas Arnold. Dhyiya’ ad-Din ar-Rais telah menyanggah (menyangkal, membantah) teori politik Margoliouth (Teori Politik Islam), Ali Abdul Raziq (Islam dan Khilafah). Sebelumnya yang menyanggah Ali Abdul Raziq adalah Muhammad Syakir, Sayyid Rasyid Ridha, Muhammad Bukhait, Muhammad al-Khadr Husain.
Sebenarnya Ali Abdul Raziq hadir-tampil di tengah-tengah bersemarakanya persekongkolan persekutuan Nasrani Barat berupaya mengenyahkan kekhilafahan Islam Turki, di tengah-tengah munculnya gelombang nasionalisme untuk menghapus bekas pengaruh Islam, menghapus khilafah Islam, menumpas gerakan pendukung khilafah.
Di antara penganjur/pendukung nasionalisme modern di Mesir adalah Luthfi as-Sayyid (dari Partai Rakyat Hizb Ummah), Sa’ad Zaghlul (pemimpin dan pejuang Mesir yang berpengaruh/kharisma dari Partai Nasionalis Wafd) yang dengan gigih berupaya menghilangkan pengaruh Islam dari politik Mesir, dengan slogan “Agama untuk Tuhan dan negara untuk rakyat”. “Mesir adalah bagian Eropah, pewaris/pelanjut peradaban laut Tengah/Mediteranian” berkembang dan dikembangkan.
Penganjur/pendiri nasionalisme modern di Turki adalah Ziya Gok Alp, professor sosiologi jebolan Istambul, yang dengan gigih berupaya membersihkan Turki dari Islam. Kemal Attaturk, seorang pengagum berat nasionalisme yang setia, patuh menjalankan instruksi Perkumpulan Rahasia (Fremasonry) di Paris dan melaksanakan syarat-syarat Perjanjian Perdamaian Lausanne, Swiss yang ditandatangani bulan Juli 1923 yang menghapuskan sistim kapitulasi (penguasaan daerah taklukan) di Turki, sehingga Turki melepaskan kedaulatannya atas negara-negara Arab, dan lenyapnya kekhilafahan Islam, tumpasnya gerakan pendukung kekhilafahan.
Terwujudlah salah satu langkah yang diambil Barat Nasrani untuk menghancurkan, melenyapkan Timur Islam (setelah gagal dalam Perang Salib) adalah dengan berupaya melenyapkan, memusnahkan khilafah Islam. Sebagai catatan : Sayyid Rasyid Ridha telah menyanggah Kemal Attaturk dalam bukunya “al-Khilafah wa al-Islam al-‘Uzhm”. Sejak pendudukan Napoleon (1798-1801) di Mesir terjadi perbenturan (persinggungan, pergeseran, pertarungan) antara Barat Nasrani dan Timur Islam, baik mengenai pikiran, dan kebudayaan maupun peradaban kesosialan, serta juga buah hasil pengiriman missi-missi ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Yang paling berjasa menggarap Mesir adalah Lord Cromer (Sir Evelyn Baring), Konsul Jenderal Inggeris (1884-1907), otaknya imperialis Inggeris di dunia Arab, yang memegang tampuk kekuasaan Mesir selama hampir 25 tahun.
Nasionalisme di kalangan Arab bermula dirintis oleh dua sarjana Kristen, Nasif Yazeji (1800-1871) dan Butrus Bustani (1819-1893) dengan motto “Cinta tanah air (patriotisme) sebagian dari iman”. Gerakan nasionalisme Arab memperoleh dukungan terbesar di American University of Beirut yang didirikan oleh missionaris pada tahun 1866 dan yang semula dikenal dengan Syria Protestant College. Sanjana lulusan American University of Beirut ini disambut baik di Mesir, menyebarkan teori-teori dan buah pikiran orientalis guru mereka.
Di Barat, tokoh yang paling memuja paham nasionalisme serta patriotisme adalah Nicola Machiavelli (1469-1532) dengan karya tulisnya “Sang Pangeran” (Il Principe). Machiavelli terkenal sebagai pelopor pemikiran teori politik sekularistik, dan berandil besar dalam meletakkan kultur politik modern (KOMPAS, Senin, 6 September 1999, hlm9). Dan yang menjadi penyebab meluasnya paham nasionalisme sekular (yang berakar pada helenisme Yunani) secara besar-besaran adalah penolakan yang dilakukan oleh para pemimpin Reformasi Protestan terhadap kekuasaan Paus dan bahasa Latin. Ini terjadi karena kekuasaan Paus, kekuasaan gereja sedemikian memuncak, berbuat semena-mena. Akibatnya muncul reaksi terhadap gereja. Muncullah ide pemisahan negara dan gereja. Disebarkan pesan : “Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi haknya dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi haknya pula”.
Di mana-mana nasionalisme mempunyai sikap yang sama, sekular dan anti agama, mengagung-agungkan kejayaan nenek moyang. Sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, pemuda Hatta menegaskan bahwa “bukan Indonesia Merdeka di bawah kerajaan Majapahit yang kita idamkan” (Ke arah Indonesia Merdeka).
Nasionalisme itu di luar Islam. A.Hasan menukilkan hadis Nabi yang menyatakan bahwa “bukanlah dari kalangan Islam orang yang menyeru kepada kebangsaan, yang berpegang atas dasar kebangsaan, yang mati atas dasar kebangsaan (Islam dan Kebangsaan) (Sayid Quthub : Masyarakat Islam, 1983:71).
Yang tak suka pemerintahan/negara diatur oleh Islam berupaya mengarang-ngarang teori politik bahwa tak ada kaitan antara pemerintahan/negara dan Islam. Mereka masih mengakui Islam, tapi lebih suka pemerintahan/negara diatur oleh bukan Islam.
Dengan penolakan mereka terhadap Islam ini, apa lagi yang tersisa pada mereka dari Islam. Sama sekali tak ada. Islam itu telah keluar dari diri mereka. “Akan muncul nanti yang keluar dari agama Islam bagaikan anak panah terlepas dari busurnya”.
Berbagai cara dan siasat untuk menghapus dan menghilangkan Islam dan jejak langkah Islam di Indonesia antara lain dengan melenyapkan esensi partai-partai Islam secara perlahan (sistimatis) dari satu langkah kepada langkah yang lain. Kemudian berlanjut menyingkirkan hakikat Asas Islam. Padahal Asas Islam itu hakikatnya adalah rohnya organisasi Islam. Tanpa asas Islam itu organisasi atau partai Islam itu tidak ada artinya sama sekali, “bagai mayat yang tidak bernyawa lagi”. Menghilangkan asas Islam itu dari organisasi Islam sama dengan membunuh organisasi atau partai itu secara halus. Demikian ungkap KH Firdaus AN (Dosa-Dosa Yang Tak Boleh Beulang Lagi, hlm 32, 73-74).
Islam tak layak dipenggal-penggal. Islam seharusnya diterima secars utuh (kaffah, totalitas) atau Islam itu ditinggalkan/ditanggalkan sama sekali. Ajaran Islam mencakup aspek/dimesi politik, hankam, sosial, budaya, ekonomi, hukum, moral, ideologi, iptek.
Tak ada gunanya mencari-cari teori politik dalam al-Qur:an, karena al-Qur:an bukanlah buku teori politik. Tapi dapat dicari tuntunan Islam yang beraspek/berdimensi politik tentang tindakan aplikasi politik.
Pembudayaan Pancasila itu telah ditempuh dengan melalui jalur sejarah dan agama, sedangkan pembenaran Nasionalisme (Arab dan Barat) ditempuh dengan melalui jalur agama. (Bks 31-12-96)
Asrir
----- End of forwarded message from asrir sutan ----

0 Comments:

Post a Comment

<< Home