Milis bincang-bincang Masyarakat Adil Makmur Situs Koleksi Informasi Serbaneka

Monday, July 17, 2006

UUD-45 di mata pengamat

1 Adnan Buyung Nasution berpandangan bahwa secara ideal, harus ada
pemikiran untuk mengkaji ulang materi UUD-45. Ia telah mempelajari lebih
dari 200 konstitusi di berbagai negara, dan ternyata tak ada yang statis.
Semua berubah mengikuti perkembangan. Men urutnya UUD-1945 terlalu besar
memberi peluang bagi pemerintah, untuk memberi pengertian berdasarkan
kepentingan politiknya. Dalam pandangannya, yang menjadi patokana adalah
aspirasi rakyat disertai dengan pertimbangan antara kekuasaan eksekutif,
legislat if dan yudikatif (REPUBLIKA, Minggu, 6 Mei 1998, hal 1,
"Reformasi tak bisa Ditunda").




2 UUD-45 dibuat saat zaman Jepang. Pertama berlaku dari 18 Agustus 45
selama tiga bulan. UUD-45 menganut sistem presidensil. Ketika dipraktekkan
selama tiga bulan ternyata UUD-45 tidak demokratis. Sistim UUD-45
"concentration of power" sangat memungkinkan
terjadi diktator. Akibatnya muncul malapetaka politik, ekonomi, dan
sebagainya. Setiap UUD-45 diberlakukan, yang muncul adalah ketidak adilan,
kesewenang-wenangan, pemerintahan diktator (Demokrasi Terpimpin, Demokrasi
Pancasila). Menurut PPKI, UUD-45 tid ak lengkap, kurang sempurna, dan
kalau negara sudah dalam situasi memungkinkan, maka UUD-45 diganti dengan
yang lebih baik. Yang paling berperan dalam pembuatan UUD-45 adalah
BPUPKI. UUD-45 selesai dibuat 16 Juni 1945. BPUPKI bertugas merancang
konstitusi , sedangkan PPKI bertugas melakukan pemindahan kekuasaan, bukan
mensahkan UUD. Yang paling menentukan pembuatan UUD-45 adalah Prof Dr
Soepomo, pakar hukum adat (bukan pakar hukum tatanegara), Mr Wongsonegoro
dan Mr Yamin yang ! paling mengerti sistem pemerintahan Hindia Belanda.
Ide pembentukan MPR muncul dari pemikiran perlunya lembaga
pertanggungjawab Presiden, seperti pertanggungjawab Gubernur Jenderal
Hindia Belanda pada Ratu Belanda. Ide adanya MPR mengacu sistem pemerintah
an Hindia Belanda. Dalam mengembalikan pemberlakuan UUD-45 dengan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 terdapat persekongkolan atau kerjasama antara
Soekarno dan militer. Kembali ke UUD-45 itu adalah agar Presiden Soekarno
dapat berkuasa dan dapat menerapkan konse pnya, yaitu Demokrasi Terpimpin.
Dekrit 5 Juli 1959 adalah Keppres No.150 tahun 1959 yang kedudukannya
lebih rendah dari Konstituante (Prof Dr Harun al-Rasyid : UUD-45 Bisa
Diganti", SABILI, No.5, Th.VI, 16 September 1998, hal 22-24).




3 Dalam SUARA PEMBARUAN 7 Juli 1998, Christianto Wibisono mengemukakan
bahwa UUD-1945 dibikin secara instan (tergesa-gesa, terburu-buru, terdesak
oleh waktu) oleh BPUPKI dan PPKI dalam waktu hanya beberapa bulan. Padahal
untuk memperoleh konstitusi yang t ersusun secara tuntas, lengkap,
sempurna memerlukan waktu yang cukup panjang. Para pendiri Republik pun
mengakui bahwa UUD-1945 itu perlu disempurnakan. UUD-1945 itu mengacu
kepada pola Gubernur Jenderal VOC dan rezim kolonial Belanda. Dengan sikap
parano id politik, pola VOC diteruskan dengan kebanggaan dan sikap kepala
batu yang keblinger dan tidak rasional sama sekali. Dekrit Presiden
Soekarno 5 juli 1959 telah mengambalikan jarum RI mundur ke 18 Agustus
1945, yaitu dengan kembali ke UUD-1945. Dalam per kembangannya UUD-1945
yang tidak sempurna itu dikeramatkan (dikuduskan, disakralkan) dan nyaris
diberhalakan, tidak boleh diganggu-gugat. Padahal hakikat dan substansi
dari revolusi demokratis (yang berpangkal pada Asas Trias ! Politika)
adalah mutasi sistem politik dari pola biadab primitif (intimidasi,
buldorisasi) menjadi pola beradab demokratis modern (jurdil), menjamin
rakyat tidak diperintah secara sewenang-wenang oleh penguasa, menghormati
hak-hak asasi manusia dan proper ti individu. ("Dwifungsi Model George
Washington")




4 Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pada hakikatnya berakar pada sudut pandang
politik Presiden Sukarno sendiri, dan juga dari pimpinan militer Nasution.
Dalam pandangan Presiden Sukarno, juga pimpinan militer Nasution, bahwa
Sistem Demokrasi Parlementer dengan
UUDS-50 nya telah melecehkan peranan mereka dan tak menguntungkan mereka.
Mereka menggusur, menumbangkan sistem Demokrasi Parlementer dengan UUDS-50
nya, dan menggantinya dengan sistem Demokrasi Presidentil dengan UUD-45
nya adalah demi kepentingan kekua saan mereka, bukan demi kepentingan
rakyat. Bagi Presiden Sukarno, UUD-45 itu membuka peluang baginya untuk
memiliki kekuasaan yang luar biasa besarnya (akumulasi kekuasaan).
Sedangkan bagi pimpinan militer Nasution (petinggi ABRI paling berambisi
kembali
dari UUDS-50 kepada UUD-45), UUD-45 (konstitusi zaman revolusi) itu akan
membuka peluang bagi militer untuk mendapatkan legalitas berpolitik
sebagai golongan, meskipun golongan dalam penjelasan UUD-45 adalah
badan-badan seper! ti koperasi, serikat sekerja, dan lain-lain bada n
ekonomi. Kerjasama (konspirasi dan koalisi) Nasution dan Sukarno itu
menghasilkan Dwifungsi dan Demokrasi Terpimpin (Salim Said : "Kisah Tiga
Zaman", GATRA, No.38, 8 Agustus 1998, hal 44-45).




5 Pernah dikemukakan bahwa dengan dicanangkannya kembali ke UUD-45 pada
tanggal 20 Februari 1959, maka memungkinkan terwujudnya suatu kepemimpinan
nasional yang kuat. Presiden bisa bertindak mengangkat dan memberhentikan
para Menteri yang merupakan pemban tunya (Soegiarso Soerojo : "Siapa
Menabur Angin Akan Menuai Badai", 1988:101). Bahasa awamnya, dengan
memanfa’atkan kesupelan, keelastisan UUD-45 untuk mengakumulasi kekuasaan.
(Pasal 17 UUD-45 tentang Kementerian Negara sangat simpel, supel sekali
diband ingkan dengan pasal 50-55 UUDS-50 tentang Pembentukan Kementerian).
Padahal fungsi utama konstitusi itu adalah untuk membatasi kekuasaan
pemerintah/negara. Namun setelah kekuasaan di tangan, maka yang dikuasai
dengan senang hati sepakat mengangkat sebagai
Presiden seumur hidup, dalam sidang umum MPRS di Bandung pada tanggal
15-22 Mei 1963 dengan TAP-MPRS No.III/MPRS/1963.




6 Dalam "Proklamasi dan Konstitusi RI", Mr muhammad Yamin mengemukakan
(apologi, oto-koreksi) bahwa "Tuntutan Revolusi yang membawa kepada
kemenangan seluruh manusia di atas dunia kurang dirasakan oleh perancang
Konstitusi Indonesia 1945 sebagai nikmat ma khluk yang merebut haknya
dalam pergolakan Revolusi Perancis. Konstitusi Indonesia 1945 ditulis
tidaklah pada ketika pergolakan akan dimulai". "Waktu undang-undang
Indonesia dirancang, maka kata pembukaannya menjamin demokrasi, tetapi
pasal-pasalnya benci
kepada kemerdekaan diri dan menentang liberalisme dan demokrasi
revolusioner. Bagi Republik Indonesia 1945 yang mengakui demokrasi dalam
kata pembukanya sebagai dasar negara, maka menyolok mata benar
hak-kemerdekaan warganegara terlalu terbatas ditetapka n dalam
Undang-Undang Dasar. Hanyalah tiga pasal yang menjamin hak itu, yaitu
pasal 27, 28, 29" (Hak Asasi Kemanusiaan). Pada halaman berikutnya, Yamin
mengemukakan bahwa "Konsatitusi RIS dan TI-1950 ialah satu-satunya
daripad! a segala Konstitusi sedunia yang telah berhasil memasukkan Hak
asasi seperti putusan UNO/PBB ke dalam Piagam Konstitusi. Dalam bahasa
awam, tampaknya UUD-45 itu bersifat mendua (mengadung konflik/kontradiksi
dalam dirinya). Pada Pembukaannya rakyat yang b erdaulat, yang berkuasa
(demokrasi), tapi dalam batang tubuhnya negara yang berdaulat, yang
berkuasa (kedaulatan negara).




7 Dalam UUD-45 tidak terdapat hal yang mengatur tentang yang terlarang
dilakukan oleh penguasa. Juga tak ada pasal yang mengatur tentang wewenang
dan tata-cara mengadili penguasa yang berbuat salah, seperti melakukan
praktek KaKaEn yang dilegalisasi denga n memanipulasi konstitusi, atau
menetapkan kebijakan, atau pemberian fasilitas yang menguntungkan diri
sendiri, atau keluarga, atau kolega, baik dalam bentuk materi maupun
non-materi. Berbeda dengan UUD-45, dalam UUDS-50 terdapat pasal-pasal yang
mengatur
tentang perbuatan yang terlarang dilakukan oleh penguasa (pasal 11-12).
Juga dalam UUDS-50 terdapat pasal yang mengatur tentang wewenang dan
tatacara mengadili penguasa yang melakukan tindak kejahatan dan
pelanggaran jabatan (pasal 106). Dalam UUD-45 tid ak ada aturan yang
menyebutkan konsekuensi pelanggaran pelaporan keuangan. Pelanggaran
pelaporan keuangan tidak diatur dalam UUD-45. Dalam UUD-45 tidak tercantum
sanksi apa yang diberikan pada pelanggaran. Demikian ungkap prak! tisi
dan pakar hukum Adnan Buyung Nasution. BPK mempunyai kekuasaan dan
kewenangan, tapi tidak bisa menindaka lanjutinya, ungkap Faisal Basri
(MERDEKA, Selasa, 3 November 1998, hal 8).

0 Comments:

Post a Comment

<< Home