Milis bincang-bincang Masyarakat Adil Makmur Situs Koleksi Informasi Serbaneka

Thursday, March 31, 2011

Emha Ainun Nadjib bicara mantra (kekuatan komp;osisi dan repetisi mantra)

Emha Ainun Nadjib bicara mantara

Menurut Emha Ainun Nadjib, Muhammadiyah kurang akrab dengan budaya sehingga menyebabkan kurang tanggap, padahal banyak sekali kekayaan di sana yang patut dikenali. Semua masih perlu banyak belajar. Tak terlalu cepat mengambil kesimpulan, keputusan dan tudingan tanpa mempelajari proses pengambilan datanya, proses analisanya, proses simulasi sosial budayanya, sehingga terjebak dalam mempersoalkan hal yang sama-sama belum belum paham betul (SUARA AISYIYAH, No.2, Th ke-88, Februari 2011, hal 14, ‘Ijtihad Kesenian & Kebudayaan Merupakan Sunnatullah’).

Menurut teori, telaah, analisa budayawan Emha Ainun Nadjib, bahwa “komposisi dan repetisi suatu mantra atau ‘hizib’ merangsang penggumpalan energi atau ‘quwwah’ (magi ?) yang kemudian digerakkan oleh ‘iradah’”. “Musik mantra dan izib : Menyingkirkan Badai …” (MINGGU PAGI, Minggu ke-3, Desember 1991). “satu komposisi rapal (lafaz ?) tertentu bisa menjelmakan yang seharusnya terluka menjadi takterluka, yang tak terambolkan menjadi terambolkan, yang secara rasional tak mungkin menjadi mungkin. Sebuah menu ‘hizib’ (bacaan ?) tertentu mampu membuat yangtak tertembus menjadi tertembus, membuat yang secara normal tak tersentuh menjadi tersentuh, yang biasanya tertutup menjadi terkuakkan”.

Dengan meneriakkan nama wali, seperti “Imam Lapeooooo”, atau “Syaikh Habaaasy”, orang dapat selamat dari bahaya. Mereka secara sosiologis-empirik telah berinteraks dan bersenyawa sedemikian rupa dengan kepercayaan dan rasa syukur mat atas manfa’at hidup sang wali (percaya penuh akan qudrah wali ?). Tapi dengan meneriakkan kalimah thaiyibah “Allahu Akbar”, orang tak dapat selamat dari bahaya (karena tak percaya penuh akan kudrat ilahi ?) (“Surat Kepada kaajeng Nabi”, Mizan, Bandung, 1997:181-182).

Dari teori, analisa Cak Nun tersebut, ta jelas, hendak dibawa kemana umat ini ? Apakah agar percaya penuh akan qudrah ilahi, ataukah agar percaya penuh akan qudrah wali (klenik ?).

Dalam praktek kehidupan nyata, Mahbub Djunaidi sempat merasa aneh “kita mangaku percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi kita juga percaya kepada Nyi Roro Kidul, Dewi Siluman yang dipandang sakti” (KOMPAS, 28 aret 1993, hal 9, Asal Usul : ‘Interupsi’). Budayawan Jakob Sumardjo menggiring pembacanya agar menerima ‘klenik’ sebagai salah satu unsur keragaman dalam “Makna Kesatuan Indonesia” (KOMPAS, Sabtu, 12 Maret 2011, hal 6, Opini). Keragaman, keberagaman, kebhinekaan, pluralisme dipahami sebagai talbis, campur aduk, sinkretisme.


Dalam hubungan dengan wali ini, Prof Dr Hamka pernah menceritakan bahwa bagi pengikut thariqat Syaikh Samman di madinah, kalau ada bahaya, cukup panggl saja “Ya Samman”. Niscaya terkabul. Malahan ada yang berkata, kalau diminta kepada Allah dengan langsung : “Ya Allah” akan ditolak dengan marah oleh Allah “Mengapa diminta langsng kepadaKu, padahal WaliKu telah ada, yaitu Syaikh Samman”. Penganut kepercayaan semacam ini telah membawa terang benderang Tauhid kepada gelap gulita Syirik, yaitu jadi pengikut thagut ( Simak “Tafsir AlAzhar”, juzuk III, 1984:28, ayat QS 2:257).

Mengenai karamah kalimah thayyibah dapat disimak dari hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah ketika Rasulullah beristirahat di suatu lembah (arah Najed), seorang Badwi datang berdiri menghunus pedang kepada nabi seraya berkata “Siapakah yang dapat membelamu daripadaku ?” jawab Nabi “Allah”. Maka langsung pedang itu ia sarungkan kembali, dan tida dibalas oleh Nabi (Simak “Riadhus Shalihin” Imam Nawawi, pasal “Yakin dan Tawakkal”).

Mengenai jampi (ruqyah) orang sakait dengan ayat-ayat Quran, terdapt dalam kitab hadis di bahwa judul “Thibb” (Penobatan). Mengenai hizib (darusan ?) terdapat riwayat dari Muslim yang bersumber dari Umar, bahwa Rasulullah bersabda “Siapa yang ketiduran dari membaca hizb di waktu malam, kemudian dibacanya di waktu pagi, maka seolah-olah telah dibacanya di waktu malam”.

Istilah mantera lafal guna-guna), magi (sihir) dan yang berhubungan dengan itu adalah asing, setidaknya tidak akrab dengan Islam.

(Simak juga :
- Dr Abdullah Azzam : “Aqidah”, GIP, 1992:23, tentang mustajabah Asmaul Husna, dalam do’a Al-‘ala bin Al-Hadrami)

(written by sicumpaz@gmail.com in sicmpas.wordpress.com as Asrir at BKS9805080930)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home