Milis bincang-bincang Masyarakat Adil Makmur Situs Koleksi Informasi Serbaneka

Tuesday, May 24, 2011

Mulim lawan Muslim (Persepsi antar Muslim)

Muslim versus Muslim (Silang Pandang Persepsi Sesama Muslim)

Pada hakekatnya Islam memberikan kemerdekaan berpikir, kebebasan berpendapat secara luas, karena kebenaran itu sangat jelas, sangat nyata, sangat gamblang (QS 2:256). Terserah, apakah akan menerima kebenaran ataukah akan menolaknya (QS 18:29).

Dalam bingkai, kerangka kemerdekaan berpikir, kebebasan berpendapat ini, Islam menyeru umatnya agar saling nasehat-menasehati, saling ingat-mengingatkan, saling koreksi –mengoreksi, saling krtik-mengkritik (QS 103:3). Tapi semuaaaanya dalam batas-batas yang benar. Tak sampai pada membicarakan, mempersoalkan tentang Allah. Tak sampai pada amerusak persatuan, menimbulkan persengketaaan, pertengkaran, perselisihan, permusuhan (QS 3:103).

Dalam menyampaikan tausiyah, nasehat, korreksi, kritik pun harus memperhatikan kondisi, keadaan orang yang dinasehati, yang dikoreksi, dikritisi. “Berbicaralah kepada manusia menurut kadar kecerdasan mereka masing-masing”.

Semangat saling nasehat-menasehati, saling ingat-mengingatkan, salingkoreksi-mengkoreksi, saling kritik-mengkritik di kalangan umat Islam melahirkan berbagai pandangan, pendapat, pikiran, paham, aliran. Ada paham skolatisme Ibnu Hazm, Ibnu Arabi, Ibnu Taimiyah. Ada paham Rasionalisme AlFarabi, Ibu Sina, Ibnu Rusyd. Ada paham Tradisionalisme Muhammad Iqbal, Hasan Albanna, Badiuzza Said Nursi, Sayyid Qutub, Abul A’la alMaududi. Ada paham Modernisme Thaha Husain. Ada paham Nasionalisme Musthafa Kemal.

Sepajang masa selalu terjadi pergolakan antara Liberalis dengan Literalis, antara Kontekstualis dengan Tekstualis, antara Deformalis dengan Formalis, antara Aqliyin dengan Naqliyin, antara Rasionalis dengan Tradisionalis.

Dalam pandangan Nurcholish Madjid : Orang-orang yang menganggap orang-orang Kristen sebagai “warisan kolonial” yang harus dicurigai dan harus dilawan adalah orang-orang yang tingkat intelektual Islamnya masih “dangkal”. Dengan demikian dalam pandangan Nurcholish Madjid : para pahlawan bangsa penantang kolonial adalah ulama yang tingkat edukasinya rendah, yang kemampuan teknisinya minim. Juga dalam pandangan Nurcholish Madjid : Islam mempunyai sikap yang ambivalen terhadap Kristen. Islam mendukung dan memuji ajaran tentang Kasih dalam Kristen, namun Islam mengikuti pluralisme agama-agama sebagai kelanjutan dari agama-agama sebelumnya yang dianggap sama sebagai agama (SUARA PEMBARUAN, Jakarta, Kemis, 17 September 1992, hal X, kol 1-2).

Nurcholish melihat kegagalan tokoh Islam mendesakkan gagasan Islam sebagai dasar negara dalam siding Konstituante, 1956 lebih disebabkan karena paraaa tokoh-tokoh Islam “kurang memahami antroplogi Indonesia” (REPUBLIKA, Sabtu, 30 Januari 1993).

Dalam pandangan dan pemikiran Dr Taufiq Abdullah, peranan umat slam dalam peristiwa-peristiwa intens begitu dominan. tetapi kemudian, umat slam (Kelompok Solidaritas Islam) selalu tersingkir dari percaturan kekuasaan, Dan ironisnya keadaan ini senantiasa berulang. Kegagalan ini banyak disebabkan oleh lemahnya Kelompok Solidaritas Islam terhadap kesadaran sosiologis anthropologis, gagal memahami bahwa bangsa Indonesia bersfat pluralistis (majemuk) (RISALAH, Bandung, No.10, Th.XXII, Januari 1985, hal 18,19, Wawancara dengan Dr Taufik Abdullah oleh Emha Zainal Emteqiu). Apakah memang ummat Islam Indonesia sedemikian dungu sehingga harus memahami bahwa Islam itu bukalah untuk masyarakat majemuk (pluralistis) ?

Umat Islam sering muncul sebagai pihak yang kalah setiap pemilihan umum diadakan (KH Firdaus : “Dosa-dosa yang tak boleh berulang lagi”, hal V, “Sekapur sirih”). Menurut Prof Dr Hamka, karena kesadaran politik di alam menegakkan agama Islam tidak tegas dan jelas, maka kaum Muslimin yang gagah berani itu kebanyakan hanya dipergunakan tenaganya guna membina kekuasaan orang lain. Setelah orang lain berkuasa, kaum Muslimin itu disingkirkan dan dilarang keras atau dihambat-hambat agar jangan sampai menuntut haknya yang suci (“Tafsir AlAzhar”, juz IV, 1983, hal 181). Apakah memang Islam tidak mampu mengatur masyarakat majemuk (pluralistis) ?

Dalam pandangan dan penilaian M Syafe’I Anwar, bahwa dalam siding-sidang BPUPKI dapat dikatakan para tokoh Islam sama sekali “tidak siap” untuk berbicara mengenai konsep kenegaraan menurut Islam. Mereka praktis menerima usulan Bung Karno mengenai Pancasila. Dari jumlah 60 orang anggota BPUPKI, 45 suara (75%) memilih dasar kebangsaan dan 15 suara (25%) memilih dasar Islam (REPUBLIKA, Jakarta, Jum’at, 29 januari 1993, hal 6, kol 4, “Idealisme Islam, Realitas Politik dan Dimensi Kebansaan”).

Menurut Ahmad mansur Suryanegara, meskipun dalam karya Muhammad Yamin pidato-pidato dari kalangan Islam dalam siding BPUPKI 29 Mei – 1 Juni 1945 (Ki Bagus H Hadikusumo, KHM Mansur, Sukiman, Wahid Hasyim, kahar Muzakkir, Agus Salim) tidak ada, sehingga sukar diketahui authentiknya, namun demikian dari pidato-pidato Bung karno dapat dibaca tentang gambaran seluruh pikiran yang pernah dikemkakan oleh semua perwakilan(PANJI MASYARAKAT, Jakarta, No.183, 15 September 1975, hal 32, “Mentuna Politiknya Umat Islam Indonesia”).

Dalam pidatonya, Ir Soekarno antara lain menyebutkan : alangkah benernya perkataan dr Soekiman, perkataan Ki Bagus hadikusumo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan paham untuk mendirikan suatu negara Indonesia Merdeka, berpangkal pada persatuan orang dan tempat (“Lahirnja Pantja Sila”, edisi 1947, hal 23,24,25).

Kala BPKI (Badan Penyelidik Kemerdekaan Indonesia membicarakan rancangan pertama UUD pada 13 Juli 1945, Wahid Hasyim mengajukan 2 usul. Pertama agar pada pasal 4 ayat 2 rancangan UUD diteaapkan bahwa yang dapat menjadi Presiden dan Wakil Presiden hanya orang Indonesia asli yang beragama Islam. Kedua agar pasala 29 berbunyi : Agama negara adalah Islam dengan menjamin kemerdekaan orang-orang beragama lain untuk beribadat menurut agamanya masing-masing (ESTAFET, Jakarta, No.12, Th.II, Oktober 1986, hal 25, “Yang Muda Pada masanya”, oleh Dasril).

Pada masa persiapan kemerdekaan Republik Indonesia, kelompok Islam sudah memilki dan mengajukan konsepsi rancangan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, antarra lain disampaikan oleh Moh Saleh Suaidy, ada yang secara lansung kepada ketua dan anggota badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan ada pula yang dikrimkan per pos tercatat ke rumah mereka.

Kira-kira sesudah seminggu dibentuknya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Moh Saleh Suaidy menyusun suatu Konsepsi Rancangan Undang-Undang Dasar Republik Islam Indonesia. Konsepsi itu terdiri dari 20 halaman kertas folio dengan tik rapat. Konsepsi itu diserahkan kepada Ketua dan sebagian anggota BPUPKI secara lansung ketempat kediaman masing-masing dan ada pula dikirimkan per pos tercatat ke rumah mereka. Abikusno mengatakan akan mempergunkanan konsepsi tersebut jadi bahan pidato dalam sidang BPUPKI (SYI”AR ISLAM, Jakarta, No.4, Th.V, Juni 1976, hal 2-6, “Catatan Sejarah : Konsepsi Konstitusi Islam diajukan ke Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan”).

Pada tanggal 1 Juni 1945 dalam siding Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Ir Soekarno memanjukan gagasan (ide) nya yang dapat disebut Pancasila, atau Trisila, ataupun Ekasila. Ir Soekarno di waktu mudaanya telah belajar memahami marxisme, nasionalisme dan juga tentang Islam. Dari hasil pemahamannya terhadap ketiga paham tersebut, Ir Soekarno memajukan gagasan (ide) tentang Pancasila, atau Trisila, atau Ekasila.Menyadari aan potensi umat Islam di Indonesia, Ir Soekarno dengan sengaja melengkapi gagasannya pada penutupnya dengan sila Ketuhanan. Agar gagasan (ide) nya tersebut dapat diterima oleh Umat Islam Indonesia, Ir Soekarno juga dengan sengaja membukakan pintu kesempatan berperannya ummat Islam Indonesia, dengan memberikan ulasan tentang sila demokrasi yang memikat ummat Islam Indonesia. Tertarik akan pikiran Ir Soekarno itulah ummat Islam Indonesia yang diwakili oleh tokoh-tokohnya menerima gagasan (ide) Ir Soekarno tersebut dengan terlebih dahulu meluruskan makna Sila Ketuhanan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan yang mewajibkan umat Islam menjalankan syari’at agamanya. Rumusan Pancasila yang tertuang pada Piagam Jakarta 22 Juni 1945 itulah yang diperjuangkan oleh umat Islam Indonesia untuk dapat dit3erma oleh semuanya.

Sidang BPKI yang kedua membahas kata-kata dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Wongsonegoro menyatakan, anak kalimat itu mungkin menimbulkan fanatisme karena seolah memaksa menjalankan syari’at bagi Umat Islam. Wahid hasyim beranggapan lain, bahwa anak kalimat itu tidak akan mempunyai akibat setajam yang dibayangkan Wongsonegoro (ESTAET, Jakarta, No.`12, oktober 1986, hal 25).

Menurut M Syafe’I anwar, kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” tidak disetujui oleh Prof Dr Soepomo, Prof Hoesein Djayadiningrat, Wongsonegoro dan para pendukung dasar kebangsaan lainnya (REPUBLIKA, 29 januari 1993, hal 6, kol 4).

Menurut M Natsir, seorang utusan dari Indonesia bagian Timur dari ummat Kristen datang menyampaikan pesan melalui komandan tentara Jepang yang waktu itu masih berwenang di Jakarta, kepada Dwi Tunggal Bung karno dan Bung Hatta, agar 7 kata yang tercantum dalam Muqaddimah Undang-Undang dasar Republik yang berbunyi : “dengan kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, harus dicabut. Ini berupa ultimatum, kalau tidak diterima, maka Ummat Kristen di Indonesia sebelah Timur tidak akan turut serta dalam negara Republik Indonesia, yang baru diproklamirkan itu (ALMUSLIMUN, Bangil, No.234, hal 20-21, “Ihwal Khas : Tanpa toleransi taakkan ada kerukunan”, oleh M Natsir).

KH Firdaus AN menyebutkan bahwa tanggal 17 Agustus 1945 sore hari, datang telepon dari seorang jepang pembantu Laksamana Meda, bahwa sebentar lagi akan datang menemui Bung Hatta seorang opsir angkatan laut Jepang akan menyampaikan pesan seorang tokoh Nasrani dari Indonesia Timur, bahwa tokoh nasrani itu keberatan dengan delapan kata yang jelas tercantum dalam Piagam Jakarta, yaki “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sampai tahun 1984 tokoh itu masih misterius bagi sejarawan maupun politisi. barulah setelah Cornel University di Amerika Serikat menerbitkan sebuah buku tentang Indonesia, barulah dapat informasi, bahwa tokoh itu bernama Dr Sam ratulangi, seorang politisi Kristen dari Manado, Sulawesi Utara.

KH Firdaus memberkan komentar. Kenapa setelah rumah sudah, tokok masih berbunyi lagi ? Kenapa dengan mudah mencoret suatu piagam yang dihasilkan oleh sidang-sidang yang berkali-kali dengan mengeluarkan tenaga dan air mata ? Kenapa tidak protes ? Dcoret atau tidaknya delapan kata yang amat saral itu, mereka pasti akan mendrikan negara lain dari Republik, yang ternyata kemudian tegaknya Negarai Indonesia Timur (NIT) (“Dosa-Dosa Yang Tak Boleh Berulang lagi”, cetakan pertama, hal 46,47,48).

Menurut Dawam Rahardjo, upaya mengembangkan Islam justru lebih memperoleh suasana dinamis di bawah bendera Pancasila (REPUBLIKA, Sabtu, 30 Januari 1993, hal 6, kol 9). Apakah memang demikian yang logis-rasionil ? Menurut Usran dari Sulawesi Selatan, guncangan hebat yang melanda beberapa organisasi Islam terjadi pada saat penggodokan kemerdekaan Indonesia yakni dengan hilangnya tujuh perkataan kunci pada pembuka UUD-45 kemudian terkenal dengan sebutan “tujuh perkataan Piagam Jakarta”. Hilangnya tujuh perkataan Piagam Jakarta itu, menurut Dr Ahmad Syafe’I Ma’arif merupakan titik awal dari serangkaian evolusi lebih lanjut dan kekalahan-kekalahan umat Islam selanjutnya. Kenyataan tersebut semakin terbukti dengan semakin lunturnya visi (pandangan) juang dalam menghadapi tantangan dari golongan lain yang tidak menyukai Islam (SUARA ‘AISYIYAH, Yogyakarta, No.08, Th ke-68, Agustus 1993, hal 20, “Api Islam”, oleh Usran).

Abdul Manan Salamun dalam tulisannya “Pemimpin Islam Belum Siap Mengisi Kebangkitan Islam ? “menyatakan keprihatinannya bahwa “suara-suara sumbang justru datang dari kaum intelektual Muslim sendiri. Misalnya sebagaimana dikatakanoleh Dr Amien Rais, bahwa tidak ada negara Islam dalam alQuran dan asSunnah. Dasar pendapat ini pun mendapat dukungan dari bapak Mr Mohammad Roem” (KIBLAT, No.10.Th.XXXI, 5-20 Oktober 1983, hal 23).

Dr H Amien Rais bersama almarhum Mr Mohamamd Roem mengingatkan bahwa aspirasi hukum Islam sepenuhnya dapat ditampung dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD-1945 (“Hubungan Antara Politik dan Dakwah”).

Penerbit “Bulan Bintang”, Jakarta, tahun 1977 menerbitkan buku kecil yang memuat dua karangan. Yang pertama, karya Haji A Salim yang telah dimuat di Majalah Islam Populer “HIKMAH” 1953. Dan yang kedua, pidato Dies natasil Mr Mohammad Roem di Universitas Islam Sumatera Utara, Medan pada tanggal 9 Januari 1969. Buku tersebut berjudul “Ketuhanan YME & Lahirnya pancasila”.

Haji Agus Salim dalam bulanan PEDOMAN MASYARAKAT, tahun 1940 menulis tentang kedudukan Khalifah di dalam Islam. Bagi Haji Agus Salim, berdasarkan data histories : Kekuasaan kekhalifahan itu berdasarkan kekuatan senjata. Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib tak disepakati oleh seluruh umat Islam. Taak ada hubungan yang tegas antarra agama dengan urusan khalifah (negara). Kekhalifahan itu sudah berakhir.

Ali Abdul Raziq menegaskan bahwa Khalifah itu adalah sekuler, bukan sesuatu yang agamis. Karena itu institusi, aktivitas ekonomi, politik dan hukum Umat Islam harus dibimbing oleh kepentingan duniawi tanpa asanya pertimbangan agama (Ziauddin Sardar : “Dominasi Taqlid”, SUARA MASJID, No.162, Maret 1988, hal 86). Untuk mengesahkan nasionalisme an sekularisme, Ali Abdul Raziq mengusung teori, bahwa Islam itu sendiri mutlak tidak ada hubungannya dengan negarra, bahwa tidak ada sedikitpun kaitan dengan masalah kekhalifaan. Kekhalifahan Islam yang muncul dalam sejarah, menurut Ali Abdul raziq bukanlah bercorak Islam (keagamaan), melainkan merupakan kerajaan Arab (kerajaan duniawi).

Selain Nurcholish Madjis (dengan “Tak da Negara Islam”nya), di antara yang aktif membudayakan Pancasila adalah Munawir Syadzali (“Islam dan Tatanegara”), harun nasution, Dahlan Ranuwihardjo, Syafe’i Ma’arif (MEDIA PEMBINAAN, No.5-9, 1986), Syafe’i Anwar, Dawam Rahardo (REPUBLIKA, 30 Juni 1993), Hasbullah Bakry (PELITA, Oktober 1983), Abdurrahman Wahid (PANJI MASYARAKAT, No.528, hal 73-74), dan lain-lain yang biasa dikenal sebagai tokoh-tokoh pembaharu.

Dalam sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) 18 Agustus 1945 diputuskan mengadkan beberapa perubahan dalam preambul Pembukaan) dan batang tubuh Undang-Undang Dasar. Pertama, kata “Mukaddimah” diganti kata “Pembukaan”. Kedua, anak kalimat dalam Preambul (Piagam) Jakarta “Berdasarkan kepada Keuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya” diubah menjadi “berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa”. Ketiga, pasal 6 ayat 1 “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret. Keempat, pasal 19 ayat 1, Negara berdasarkan atas KeTuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Negara berdasarkan KeTunan Yang maha Esa” (ESTAFET, No.12, Oktober 1986, hal 25).

Terhadap sikap kaum nasionalis yang menunjuk pada Piagam Jakarta dan pasal undang-undang yang menyatakan persamaan semua warga negara terhadap undang-undang, maka anggota Muzakkir menjadi makin marah sehingga ia mengebrak, memukul meja dan mengusulkan untuk mencoret saja tiap-tiap sebutan yang menunjuk kepada Tuhan atau slam dari Undang-Undang Dasar (“Keterangan-eterangan baru tentang terjadinya Undang-Undang Dasar Indonesia 1945”, oleh Prof JHA Logemann, 1983, hal 21).

M Syafe’i Anwar berpendapat, bahwa ketika Pancasila sudah ditetapkan menjadi satu-satunya asas (Asas Tunggal), gagasan “Negara Islam” telah tertutup (REPUBLIKA, Sabtu, 30 Januari 1993, hal 8, kol 7). Dalam hal ini Pasal 37 UUD-1945 diapayakan semaksimal mungkin hanya untuk dilihat dan dibaca saja, misalnya dengan ide referendum (UU No.5 Th 1985 tentang referendung).

Tujuan Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang dibentuk di Yogyakarta 7 Nop 1945 adalah ; Terlaksananya ajaran dan hukum islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat dan Negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi. tjuan Nahdatul Ulama yang dibentuk th 1926 adalah mempertahankan syari’at Islam. Kapan orsospol islam kembali pada ikrar 7 Nop 1945 yang sepakat menjadikan Masjumi sebagai satu-satunya parpol Islam ?

Menurut orang yang beriman (mukmin), bagi kebenaran itu hanya terbentang satu arah, bukan jalan yang bercabang-cabang dan mempunyai berbagai macam arah. Mereka akan tetap istiqamah menempuh jalan tersebut apapun risionya (diintimidasi, diteror, dikucilkan, dipasung, dipenjarakan, disiksa, dianiaya, kehancuran, kegagalan, kekalahan) (“Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah”, oleh Khalid Muh Khalid, 1983, hal 699-700)

Dari sejumlah cendekiwan Islam yang namanya disebut Dr Zamachsyari Dhofir dalam sebuah ceramahnya di gedung Stovia Jakarta, belum seorang pun yang membuat tafsir alQuran, atau karya pemikiran Islam yang utuh. karya cendekiawan islam Indonesia masih berkisar pada kesibukan memfotocopy (budaya koor rekaman membeo ?) pikiran Mu’tazilah, Ali Shari’ati, Muthahari, Fazlur Rahman, Sayyid Quthub (Abu Jihan, BLA, PANJI MASYARAKAT, Jakarta, No.601, Tahun XXX, 1-10 Februari 1988, hal 38, Kolom Kecil).

Hasan Albanna, Sayyid Qutb dengan Ikhwanul Muslimunnya serta maulana Abul A’la alMaududi dengan Jama’ati Islamnya menganggap bahwa Islam juga mengatur masalah system ketatanegaraan maupun politik. Sebaliknya Ali Abdul Raziq, Thaha Husin, Bung Karno berpendapat bahwa Islam tidak ada sama sekali kaitannya dengan aturan atau system kenegaraan (REPUBLIKA, 29 januari 1993, hal 6, kol 4).

Setiap kita tak lebih dari pemamah biak (muqallid) dari pandangan, pendapat, pemikiran (ijtihad) orang-orang yang dahulu dari kita. Alasan, argument (hujja) yang kita kemukakan mengacu (taqlid) pada yang dikemukakan orang-orang dahulu itu. Di antara kita adayang mengacu 9taqlid0 pada Hasan albanna, Sayyid Qutub, Abul a’la almaudidi yang menganggap bahwa Islam juga mengatur masalah system ketatanegaraan maupun politik. Dan ada pula di antara kita yang mengacu pada Ali Abdul Raziq, Thaha Husein yang berpendapat bahwa Islam tidak ada sama sekali kaitannya dengan aturan atau system kenegaraan.

M Luthfi asySyaukani berkata : “Beranikah kita menggunakan hasil pemaaaaaman kita sendiri berhadapan dengan pandangan-pandangan di luarkita ? Misalnya brhadapan dengan Sayyid Qutub, alBanna, Qardawi, Nabhani, Rashid Ridha, Muhammad bin Abd alWahhab, Ibnu Tainiyah, alGhazali, Imam Syafi’i, alBkhari, para Sahabat dan bahkan juga nabi Muhammad sendiri” (www.islamlib.com; Budi Handiaanto : “50 Tokoh Islam Liberal Indonesia”, 2007:211).

Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa pihak penguasa (Pemegang tampuk kekuasaan) lebih berpihak kepada pandangan bahwa Islam tidak ada kaitannya sama sekali dengan sistem kenegaraan. pihak penguasa cenderng pada kebebasan tanpa batas. Pihak penguasa memandang Islam sebagai ancaman terhadap kebebasannya. Kemenangan kelompok nasionalis lebih banyak disebabkan oleh campur tangan (keterlibatan, ketidaknetralan) wasit (yang berpihak pada kelompok nasionalis).

Dalam rangka mengenang kembali Piagam Jakarta yang dikhianati, seyogianya sepanjang bulan Juni digalakkan upaya pengungkapan kembali segala sesuatu yang berhubungan dengan perihal Piagam Jakarta, seperti yang pernah dirintis, dilakukan oleh KH Firdaus AN dengan tulisannya “22 Juni yang Keramat” dalam majalah HARMONIS, No.410, Oktober 1989 (“Dosa-Dosa Yang Tak Boleh berulang Lagi”, 1992, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta).

Dalam pandangan KH Firdaus AN “Teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang dibacakan Soekarno adalah teks yang tidak sah alias tidak otentik. Karena sama sekali tidak sesuai dengan apa yang telah diputuskan oleh BPUUPKI”. Dengan kata lain telah terjadi penyimpangan, sekaligus pengkhianatan terhadap Islam” (SABILI, 29 Januari 1999, REPUBLIKA, Kamis, 28 Januari 1999, hal 3).

(BKS0708050915)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home