Milis bincang-bincang Masyarakat Adil Makmur Situs Koleksi Informasi Serbaneka

Wednesday, June 29, 2011

केचुरंगन दी मन-mana

catatan serbaneka asrir pasir

Kecurangan di mana-mana

Di Arab pun tak ada keadilan. Di mana-mana hanya kecurangan. Atas nama Hukum Islam, Ruyati (54 tahun) dipenggal, dipancung Arab, tanpa mempertimbangkan siksaan, penganiayaan yang diterimanya dari majikannya. Citra Islam dan Hukum Islam rusak, luntur di mata dunia, terutama di mata Barat Kristen. Seandainya keadilan Umar bin Khattab yang diterapkan, maka taaaaaak akan terjadi pemancungan semena-mena.

Sayangnya Ruyati dan yang senasib dengannya tak berupaya membebaskan diri dari penyiksaan majikan dengan memutuskan hubungan kerja dengan majikannya. Bahkan para TKW seyogianya malu dengan menyandang predikat pahlawan devisa, malau jadi kuli di negeri orang. Untuk jadi kuli cukup di negeri sendiri. Yang diperlukan sikap mental zuhud, qana’ah, wara’, tak rakus akan dunia, mencukupkan apa yang ada, menjauhi yang syubhat.

Pemimpin, pemerintah seharusnya malu membiarkan warganya jadi kuli di negeri orang. Seharusnya pro aktif memikirkan, menciptakan, menyediakan lapangan kerja bagi waganya. Bukan hanya rami-ramai memikirkan rehabilitasi gedung MPR/DPR yang akan memakan dana satu setengah triliun, memikirkan pengadaan pesawat kepresidenan yang memerlukan dana setengah triliun. Tak ramai-ramai memikirkan kesejahteraan, kemakmuran rakyat seperti diamanatkan oleh pasal 33-34 UUD-1945.

Ramai-ramai berebut kedudukan untuk jabatan Ketua PSSI. Tak ramai-ramai mencegah kisruh PSSI. Ramai-ramai berebut untuk menjadi Ketua KPK. Tak ramai-ramai mencegah tindakan pidana korupsi. Ramai-ramai melakukan kecurangan, kebohongan, kemunafikan. amai-ramai mengemas, memoles kepentingan sendiri seolah-olah kepentingan umum.

Kecurangan di mana-mana. Di olahraga, di pendidikan, di pengadilan, di birokrasi, di mana-mana tampil kecurangan, kebohongan, kemunafikan. Tampil, muncul politik partokrasi, kleptokasi, elitokasi, execu-thieves, lesisla-thieves, yudica-thieves (KOMPAS, Sabtu, 18 Juni 2011, hal 15).

Sanksi hukum pidana (Islam lebih mengutamakan damai)

Sanksi hukum pidana maksimal ditetapkan untuk mencegah berulangnya, berkembaangnya aksi tindak pidana (jarimah). Hukum qishash dalam Islam pun dilaksanakan untuk mencegah berulangnya, berkembangnya aksi tindak pidana. Bukan untuk menambah, tetapi untuk mengurangi. Bukan untuk saling bunuh membunuh, tetapi untuk saling berdamai, saling mema’afkan.

Mencuri akibat kesalahan masyarakat tak serta merta mengakibatkan si pencuri laangsung dihukum potong tangan. Illat, sebab sesuatu aksi tindak pidana menjadi bahan pertimbangan hukum di siding pengadilan.

Sanksi hukum diat, uang tebusan mengindikasikan bahwa saling berdamai, saling ma’af mema’afkan itu lebih utama dari pada saling qishash mengqishash.

Dari ayat QS 4:92-93, yang jadi bahan pertimbangan hukum dalam kasus pembunuhan adalah : Apakah kasus pembunuhan itu dengan sengaja atau tidak. Apakah si terbunuh itu seorang mukmin atau bukan. Apakah si terbunuh itu seorang mukmin yang berada dalam komunitas lawan/musuh ataukah tidak. Apakah si terbunuh itu seorang mukmin yang berada dalam komunitas yang terikat janji atau tidak.

Yang tidak aman tetangganya dari gangguannya dikategorikan tidak beriman (Simak HR Bukhari, Muslim dari Abi Hurairah, dalam “Riadhus Shalihin” Imam Nawawi, pasal “Hak Tetangga”). Yang menjadi masalah, dikategorikan apakah seorang majikan yang berperilaku tak manusiawi, yang menyiksa, menganiaya pembantunya.

Ungkapan “illa khthaan” dipahami “kecuali (si pembunuh) bersalah”. Tak pernah dipahami “kecuali (si terbunuh) bersalah” dalam ayat QS 4:92 tersebut. Bagaimana yang sebenarnya ? Wallahu a’lam bis-shawab.

Sanksi hukum pidana (Islam lebih mengutamakan damai)

Sanksi hukum pidana maksimal ditetapkan untuk mencegah berulangnya, berkembaangnya aksi tindak pidana (jarimah). Hukum qishash dalam Islam pun dilaksanakan untuk mencegah berulangnya, berkembangnya aksi tindak pidana. Bukan untuk menambah, tetapi untuk mengurangi. Bukan untuk saling bunuh membunuh, tetapi untuk saling berdamai, saling mema’afkan.

Mencuri akibat kesalahan masyarakat tak serta merta mengakibatkan si pencuri laangsung dihukum potong tangan. Illat, sebab sesuatu aksi tindak pidana menjadi bahan pertimbangan hukum di siding pengadilan.

Sanksi hukum diat, uang tebusan mengindikasikan bahwa saling berdamai, saling ma’af mema’afkan itu lebih utama dari pada saling qishash mengqishash.

Dari ayat QS 4:92-93, yang jadi bahan pertimbangan hukum dalam kasus pembunuhan adalah : Apakah kasus pembunuhan itu dengan sengaja atau tidak. Apakah si terbunuh itu seorang mukmin atau bukan. Apakah si terbunuh itu seorang mukmin yang berada dalam komunitas lawan/musuh ataukah tidak. Apakah si terbunuh itu seorang mukmin yang berada dalam komunitas yang terikat janji atau tidak.

Yang tidak aman tetangganya dari gangguannya dikategorikan tidak beriman (Simak HR Bukhari, Muslim dari Abi Hurairah, dalam “Riadhus Shalihin” Imam Nawawi, pasal “Hak Tetangga”). Yang menjadi masalah, dikategorikan apakah seorang majikan yang berperilaku tak manusiawi, yang menyiksa, menganiaya pembantunya.

Ungkapan “illa khthaan” dipahami “kecuali (si pembunuh) bersalah”. Tak pernah dipahami “kecuali (si terbunuh) bersalah” dalam ayat QS 4:92 tersebut. Bagaimana yang sebenarnya ? Wallahu a’lam bis-shawab.



Pamer kecurangan

Kita ini bangsa munafik, bangsa curang. Kalau jujur, tak ikut curang akan didemo, dikucilkan, diasingkan. Dimana-mana pamer kecurangan. Di pendidikan, di pengadilan, di yudikatif, di legislatif, di eksekutif, di mana-mana.

Lima puluh tahun yang lalu, dalam majalah SASTRA, No.8/9, Th.II, 1962 terdapat cerita pentas “Domba-Domba Revolusi”, oleh B Soelarto. Seluruh pelakunya : perempuan, penyair, petualang, politikus, pedagang, serdadu adalah pembohong, pendusta. Semuanya mahir, terampil mengemas, memoles kebohongan, kedustaan dengan menggnakan ribuan topeng, masker.

Keahlian menyembunyikan kebohongan untuk sesaat memang dapat menyelamatkan diri. Namun “sekali lancung ke ujian, sepanjang hidup tak dipercaya”.

Diceritakan bahwa Syaikh Abdul Qadir Jailani, ketika berangkat pergi belajar, menuntut ilmu agama, di tengah perjalanan ia bertemu dengan sekawanan penyamun, perampok. Salah seorang dari penyamun itu menghampirinya dan menanyakan kepadanya apakah ia membawa uang. Abdul Qadir kecil teringat akan didikan ibunya agar jangan pernah berbohong, berdusta. Ia menjawab bahwa ia membawa dua puluh keping uang mas yang dijahitkan oleh ibunya dalam bajunya. Ia menerangkan bahwa ibunya mengajarinya, mendidiknya agar jangan pernah berbohong, berdusta. Mendengar cerita Abdul Qadir kecil, maka hati, perasaan si penyamun itu tersentuh, tergugah. Bahkan akhirnya si penyamun tersebut menjadi murid pertama dari Syaikh Abdul Qadir Jailani (“Sepintas Tentang Riwayat Hidup Syaikh Abdul Qadir Jailani”, dalam “Kunci Tasawuf : Menyingkap Rahasia Kegaiban Hati”, terbitan Husaini, bandung, 1985:VI).

Iman-islam mencegah kecurangan, kemunafikan. Rasulullah saw mengajarkan agar tak pernah berbohong, berdusta. “Sesungguhnya berkata benar itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga. Seorang membiasakan diri berkata benar hingga tercatat di sisi Allah sebagai seorang benar. Dan dusta itu membawa kepada kecurangan, dan kecurangan itu menuju ke neraka Seorang selalu berdusta hingga tercatat di sisi Allah sebagai pendusta” (HR Bukhari Muslim dari Ibnu Mas’ud dalam “Riadhus Shalihin” Imam Nawawi, pasal “Haram Berdusta”).

Diceritakan bahwa seorang preman, begajul dating mengunjungi seorang kiyai. Ia minta diajari tentang Islam. Sang kiyai hanya mengajarinya agar tak pernah berbohong, berdusta. Dengan mengamalkan, menerapkan ajaran tersebut, si preman tak pernah lagi melakukan tindak kejahatan, perbuatan munkar.

Sorang Islam, seorang beriman tak akan melakukan tindak kejahatan, perbuatan munkar. Seorang Islam hanya akan melakukan tindak kejahatan, perbuatan munkar ketika Islam itu terlepas dari dirinya. “Tidak akan berzina seorang pelacur di waktu berzina, jika ia beriman, dan tidak akan minum khamar ketika meminumnya jika beriman, dan tidak akan mencuri seorang pencuri di waktu mencuri jika ia berman (HR Bukhari, Muslim dari Abu Hurairah, dalam “alLukluk wal Marjan”, hadits no.36).

Orang Islam, pertama sekali diajarkan Rasulullah saw adalah keimanan, kepercayaan akan Allah swt. Dimana dan kapan pun berada, Allah senantiasa mengawasi, memperhatikan tindakan, perbuatan. Seorang Islam sangat malu melakukan tindak kejahatan, perbuatan munkar. Malu akan dirinya, akan keluarganya, akan tetangganya, akan masyarakatnya, akan Tuhannya. Jika sudah tak punya malu, jika sudah turun ke taraf binatang, silakan berbuat sesuka hati. “Jika kamu tak punya malu, lakukanlah sesukamu” (HR Bukhari dalam “Mukhtarul Ahadits anNabawiyah” Ahmad alHasyimi Beik, hal 52, hadits no.364).

(written by sicumpaz@gmail.com at BKS1106150545)

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home