Milis bincang-bincang Masyarakat Adil Makmur Situs Koleksi Informasi Serbaneka

Wednesday, August 24, 2011

Menonton

Menonton (melihat, mendengar, menyaksikan)
Ibnul Qaiyim dalam kitabnya “Madarijs Salikin” menjelaskan antara lain tentang ibadah mata dan telnga (tentang yang wajib, yang haram, yang sunat, yang makruh, yang mubah) :

- Haram melihat kepada wanita-wanita yang bukan mahram dengan semata-mata dorongan syahwat, kecuali karena suatu kepentingan, misalnya, karena ia sebagai khatib/da’i, petugas, pekerja, saksi, hakim, dokter, dank arena mahram.
- Haram melihat aaurat (dibalik pakaian, dibalik pintu).
- Haram mendengar suara-suara perempuan yang bukan mahramnya, yang dikhawatirkan bisa menimbulkan fitnah dengan suara-suara mereka itu, apabila tidak ada suatu keperluan, seperti penyaksian, jual-beli, minta fatwa, pengaduan atau pengobatan dan lain sebagainya.
(Dr Yusuf al-Qardhawi : “Ibadah dalam Islam”, terjemah H Muammal Hamidy, dkk, Pustaka Abd Muis, Bangil, 1981, hal 115-117).

Dalam menjawab pertanyaan : “Bolehkan mendengar lagu-lagu ?”, ustadz Hussein Bahreisy memberikan jawaban demikian : “Islam membolehkan untuk mendengarkan lagu-lagu yang dibenarkan yang tidak mengandung unsur-unsur haram. Lagu-lagu yang haram, misalnya yang dibawakan oleh ahli-ahli sufi dengan tarian-tariannya dengan tujuan seperti ibadat, atau lagu-lagu yang porno (merangsang nafsu hewani) yang dibawa oleh wanita-wanita dengan merangsang nafsu orang-orang yang melihatnya, baik laki-laki atau perempuan, atau yang dibawa oleh orang-orang banci (wadam).

Adapun nyanyian yang halal, yaitu yang tidak mengandung maksiat, tidak bersikap banci, tidak porno (cabul), mengajak kepada kemuliaan, keberanan, kejujuran, menepati janji, atau nyanyian istri terhadap suaminya begitu pula terhadap muhrimnya, nyanyian anak-anak kecil baik laki-laki, atau perempuan walaupun di tempat-tempat pertemuan, dengan syarat tidak telanjang dan tidak maksiat, nyanyian untuk hari raya, pesta-pesta perkawinan (yang tidak mengandung maksiat), dan pada perayaan-perayaan khusus yang tidak bernada haram (Hussen Bahreisy : “Jawaban Islam”, hal 130-131).

Dalam menjawab pertanyaan : “Bagaimanakah pandangan syari’at tentang menonton film di gedung bioskop atau pada TV ?”, ustadz Husein Bahreish memberikan jawaban demikian. “Hukum menonton film baik di gedung bioskop atau pada pesawat televisi pada asalnya hukumnya jaiz (boleh). Dengan syarat tidak melalaikan waktu shalat, dalam pergaulan di tempat-tempat tidak mengandung maksiat yang artinya tidak terjadi pergaulan bebas laki-laki dan perempuan, dan isi film tersebut disusun dengan tujuan agar tontonan film tersebut tidak membawa pda kejelekan. Dan sebuah film yang isinya mengajak pada jalan keselamatan, tidak mengajak pada dosa dan kecabulan, terhindar dari perbuatan sadism, kriminalitas, serta tidak melanggar akidah Islam, maka hal tersebut dibolehkan” (Hussein Bahreish : “Jawaban Islam, al-Ikhlas, Surabaya, hal 131-132).

Dalam menjawab soal : “Apa hukumnya turut menonton permainan tonel ?”, ustadz H Mahmud Aziz memberikan jawaban : “Adapun permainan toneel yang dinamakan juga komedi bangsawan atau stambul itu, ashalnya tidak haram, tetapi lantaran bercampur gaul laki-laki dengan perempuan, maka menontonnya adalah haram”. Sebagai alasannya dikemukan hadis tentang larangan bagi laki-laki dan perempuan dalam satu tempat tanpa mahram (HSR Muslim) dan ayat QS 24:30-31 tentang keharusan menundukkan pandangan, memelihara kehormatan dan larangan menampakkan aurat (A Hassan : “Soal Jawab”, hal 370-371).

Dalam menjawab soal tentang bioskop, stadz A Hassan (Fuqaha Indonesia ?) memberikan penjelasan antara lain sebagai berikut : “Segala sesatu urusan kedunian itu halal, kecuali yang diharamkan dengan alas an syara’”. Sekalian macam pertunjukan (tontonan) itu urusan keduniaan dan pada ashalnya halal, kecuali yang diharmkan oleh syara’. Bioskop itu satu pertunjukan (tontonan). Tidak dapat kita haramkan melainkan dengan alas an. Alasan (nash) buat mengharamkannya tidak ada.

Melihat wanita yang bukan mahram, terutama melihat auratnya, betul haram, tetap tidak ada keterangan tentang haram melihat gambarnya, karena kalau seorang dapat melihat seorang wanita, kemudian pada suatu ketika ia ambarkan wanita itu di angan-angannya, tidak ada alas an buat mengharamkannya.

Sekarang kita lihat tentang kerusakan akhlaq yang bakal timbul dari prtunjukan itu. Memang sudan dan tak dapat dipungkiri bahwa pertunjukan bioskop itu umumnya merusak. Kerusakan akhlaq ini sebagian besarnya terdapat di golongan wanita dan anak-anak dan pemuda-pemuda. Wajib ibu bapaawas betul-betul tentang member idzin bagi anak-anak buat menonton, terutama yang anak-anak yang bersifat penurut dan lekas tertarik.

Bioskop itu ialah satu tontonan yang tak dapat kita katakan terlarang dengan mutlak (semata-mata) dan tidak dapat pula kita pandang baik. Tetapi haramnya itu oleh dijatuhkan sesuah melihat isi gambar dan kekuatan masing-masing penonton. Jadi tempat bioskop itu sama dengan pasar atau rumah orang kerja kahwin. Orang-orang yang di tempat-tempat itu, wajib memlihara mata dan kelakuan masing-masing (A Hassan : “Soal Jawab ttentang berbagai masalah agama”, Diponegoro, bandung, 1983, hal 1188-1189).

(Emha Ainun Nadjib dalam “Surat Kepada Kanjeng Nabi”,terbitan, Mizan, Bandung, 1997, hal 43, WAWASAN, Yogya, 1 Mei 1987menyebutkan bahwa “Itulah bedanya dengan apabila kita berbicara tentang betapa wanita harus [diharuskan, mengharuskan diri, diseret, menyeret diri] menjadi seorang penari striptease, penyanyi dangdut yang sengaja menyodorkan betis dan pahanya untuk diusap ramai-ramai oleh penonton, atau segala macam profesi wanita lainnya yang ‘ideologi bisnis’-nya memang adalah memancing sensualitas dan seksualitas).

Dalam menjawab pertanyaan : “Apakah hukumnya menonton film-film Amerika yang setengah telanjang dipandang dari sudut Hukum Islam ?”, ustadz (Fuqaha Indonesia ?) Prof H Mahmud Yunus memberikan jawaban demikian : “Menonton gambar/film yang setengah telanjang tiada haram hukumnya, karena yang haram ialah melihat zat perempuan yang setengah telanjang, bukan gambarnya.

iDalam kitab-kitab fiqih ada disebutkan bahwa melihat perempua dalam kaca (cermin) tidak haram, karena hanya melihat bayangan perempuan, bukan zatnya. Berlain halnya dengan melihat perempuan di balik kaamata, maka demikian itu haram, karena memang zat perempuan yang dilihat.

Hikmahnya maka diharamkan laki-laki melihat perempuan dan kebalikannya dengan syahwat, ialah karena berpandang-pandangan mata itu menarik kepada berbuat maksiat, sebab itu haram hukumnya. Berlain halnya jika melihat itu untuk member pengajaran, berjual beli, menjadi saksi, dan sebagainya, maka tiadalah haram melihat perempuan itu,

Dalam melihat gambar/film, hikmah mengharamkannya tidak ada sama sekali akan terjadi perbuatan maksiat antara laki-laki penonton di Indonesia dengan gambar/film perempuan yang bermain di Amerika. Oleh sebab itu tidak dapat diqiaskan melihat gambar/film perempuan dengan melihat zat perempuan itu sendiri, karena tak sama antara maqis dengan maqis ‘alaihi.

“Asal hukum sesuatu ialah halal”. Menurut qaidah itu maka melihat film itu halal, karena tak ada dalil yang mengharamkannya. Tetapi jika meliht film itu, menarik kepada memperbuat kejahatan, atau merusakkan akhlaq (demoralisasi), lantaran pengaruh film itu, maka ketika itu haram melihatnya. “Tiap-tiap yang menarik kepada yang haram dengan terang dan yakin, maka hukumnya haram, atau dengan dugaan, maka hukumnya makruh”.

Oleh sebab itu anak-anak yang dibawah mur, hanya dibolehkan menonton film-film yang tertentu, supaya jangan rusak akhlaqnya dengan mencontoh apa-apa yang dilihatnya, sebagaimana ditetapkan dalam ilmu jiwa kanak-kanak. Ibu-bapa harus memelihara anak-anaknya, supaya jangan menonton film-film sembarangan saja, melainkan pilihlah film baik yang berisi pendidikan untuk ditonton kepada anak-anak, karena film itu salah satu sebag yang merusak akhlaq anak-anak (demoralisasi pelajar).

Kita anjurkan, supaya pengusaha film berusaha mengeluarkan film-film yang bersifat pendidikan untuk anak, karena jika tidak ada film-film seperti demikian, tentu anak-anak akan menonton juga film-film yang disediakan untuk orang-orang dewasa. memang mereka harus menonton, kalau tak ada tontonan yang khusus untuk mereka, mak mereka akan menonton film-film apa yang ada saja, meskipun berbahaya kepada akhlaq mereka. Hal itu tidak akan mereka insyafi. Bahkan ibu-bapa dan pemimpinlah yang harus sadar dan insyaf” (Prof H Mahmud Yunus : “Soal Jawab Hukum Islam”, al-Hidayah, Jakarta, 1973-1974, hal 73-74).

(Dari sudut pandang ghazwul fikri, dari sudut pandang perjuangan penegakan Islam, maka film juga harus dipandang sebagai alat, sarana yang digunakan oleh musuh Islam untuk transfer budaya, untuk merusak akidah, akhlaq, pola pikir, sikap mental umat Islam).

(written by sicumpaz@gmail.com at BKS1108250900)



Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home