Milis bincang-bincang Masyarakat Adil Makmur Situs Koleksi Informasi Serbaneka

Tuesday, April 19, 2011

Syari'at Islam di Ranah Minang

Syari’at Islam di Ranah Minang

Seperti halnya juga di seluruh daerah di Indonesia, pun di Ranah Minang, Syari’at Islam tak mengakar. Hal ini nampak terlihat nyata dari tradisi yang tumbuh berkembang yang tak Islami (Simak Roidah : “Mengkritisi Tradisi Ramadhan”, KHAlifah, Edisi 25 Agustus 2010, hal 12-13). Peraturan, undang-undang, hukum tak mempan merubah sikap mental, tak mempan menanamkan akidah, paham, ideologi, kultur Islami. Penanaman akidah harus diutamakan dari penerapan hukum.

Islam di Ranah Minang baru mulai tercatat dalam sejarah pada 1100H (1680M), ketika Syekh Burhanuddin membuka pengajian di Ualakan Pariaman. Sebelumnya Syekh Burhanuddin menuntut Ilmu Syari’at dari Syekh Abdurrauf di Aceh. Dapatlah dianggap pengislaman Minangkabau berpangkal dari Ulakan (negeri satelit Pariaman) (Simak antara lain Drs Sidi Gazalba via Prof Dr Hamka : “Antara Fakta dan Khayal ‘Tuanku Rao’”, 1974:149; Prof H Mahmud Yunus : “Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia”, 1983:24).

Kemudian pada tahun 1803 selanjutnya diteruskan oleh trio Haji Miskin-Sumanik-Piobang mengajarkan/menyiarkan ajaran Syari’at Islam menurut paham/versi Wahabi (kembali kepada Quran dan Sunnah). Masyarakat dilarang mereka mengisap candu, merokok, meminum minunan keras, mengasah gigi, menyabung ayam, berjudi, mencukur janggut, mandi telanjang, makan sirih, berpakaian yang indah-indah, dan disuruh mereka rajin mengerjakan sembahyang (shalat).

Laki-laki yang mencukur janggut didenda dua suku. Mengasah gigi didenda seekor kerbau. Tidak menutup lutut (aurat) didenda dua suku. Perempuan tidak menutup muka didenda tiga suku. Memukul anak didenda dua suku. Menjual atau memakan tembaakau didenda lima suku. Mennggalkan sembahyag (shalat) didenda lima real; kalau telah dua kali, dihukum bunuh. (Simak “Sejarah Pendidikan Islam di Indonsia”, 1983:27-30.

Masih pada era kolonial Belanda, terdapat pula Peraturan Pemerintah tahun 1890 yang berbunyi : “Dilarang lelaki mandi dengan banyak perempuan di tempat kebiasaan (kamar mandi umum), jika dilanggar akan ditangkap. Dalam Peraturan Pemerintah tahun 1911 antara lain mewajibkan pintu rumah (minimal dengan tirai) bagi pintu yang menghadap ke jalan. Masyarakat juga dilarang memperdengarkan bunyi-bunyian musik. Namun kini, mandi bebas di tempat keramaian , sebuah ‘kemajuan’yang jauh melenceng. Kafe-kafe tumbuh subur, masyarakat membiarkan pintu rumahnya terbuka tanpa tirai (gorden), sehingga orang dapat melihat penghuninya yang sedang terbuka auratnya, yang dapat memancing orang berbuat mesum, dan juga orang dapat melihat harta di dalam rumah, yang dapat memancing orang berbuat kriminal (KHAlifah).

Written by Asrir Sutanmaradjo at BKS1104130745
(look also at http://asrirs.blogspot.com http://sicumpas.wordpres.com http://sikumpas.blogspot.com http://kamimenggugat.blogspot.com http://kami-menggugat.blogspot.com http://islamjalanlurus.truefreehost.com http://sicumpaz.truefreehost.com http://sicumpas.multiply.com http://fauziah_sul.livejournal.com http://pontrendiniyahpasir.wordpress.com)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home