Milis bincang-bincang Masyarakat Adil Makmur Situs Koleksi Informasi Serbaneka

Tuesday, April 05, 2011

Jakob Sumardjo bicara Kearifan Lokal

Jakob Sumardjo bicara kearifan lokal

Menurut budayawan Jakob Sumardjo, dari sudut pandang kearifan lokal, maka “klenik” itu merpakan salah santu unsur keragaman, keberagaman, kebhinekaan dalam “Makna Kesatuan Indonesia” (KOMPAS, Sabtu, 12 Maret 2011, hal 6, Opini). Keragaman, keberagaman, kebhinekaan dipahami sebagai talbis, sinkretisme, kompromisme, campur aduk antara daging daan galeme (tetelan, jeroan, kikil).

Kesatuan, keikaan hanya bisa terwujud justeru karena adanaya keberagaman, kebhinekaan. Kesatuan bukanlah keseragaman. Keragaman bersifat kodarati, alami, natural. Yang dimaksudnya dengan keragaman adalah keragaman budaya, bukan keragaman kebenaran.

Kearifan lokal menurutnya menolak kebenaran tunggal (kebenaran mutlak-absolut). Yang ada hanyalah kebenaran nisbi-relatif, keragaman kebenaran. Upaya mengusung kebenaran tunggal universat akan menimbulkan malapetaka. Kearifan lokal macam ini telah mendamaikan hidup rakyat Indonesia. Dengan kata lain, kedamaian, ketertiban, ketenteraman bisa terwujud tanpa mengutak-atik klenik, mitos, magik, kearifan lokal, tanpa bicara kebenaran mutlak, kebenaran tunggal universal. Tak begitu jelas apakah pandangan Jakob Sumardjo ini berdasarkaan analisa kritis, ataukah tetap saja hanya ikut-ikutan.

Di dunia klenik, mitos, magis, sesuatu yang secara rasional tak mungkin menjadi mungkin, sesuatu yang secara normal tak tersentuk menjadi tersentuh. Dunianya adalah dunia irrasional, ghairu ma’qul (Simak juga Emha Ainun Nadjib : “Surat Kepada Kanjen nabi”, Mizan, Bandung, 1997:181-182).

Budayawan Jakob Sumardjo begitu tertarik kagum pada sosok RM Sasrokartono (1872-1952), pejuang pergerakan nasional sejak tahun 1925, yang berpegang teguh pada Islam dan kejawen, seorang sarjana kesusasteraan Timur di Leiden yang menguasai 17 bahasa Eropa dan 9 bahasa daerah, yang selama 26 tahun hidup di Eropa tidak menentu tujuan hidupnya di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat. Padahal Islam dan Kejawen itu saling berseberangan dalam pandangan tetua Wali Songo, Sunan Giri (Simak Umar Hasyim : “Sunan Giri”).

Bukan klenik, tapi kearifan lokal ?

Juru kunci gunung Merapi bertugas, bertanggungjawab menjaga gunung Merapi hingga nafas sterakhir. Bertugas, berhak memimpin prosesi Labuhan/Ruwatan untuk memanjatkan doa dan mempersembahkan sesajen kepada Eyang Petruk, sang penunggu gunung Merapi (sing mbaurekso), sang magis pengayom masyarakat yang berdiam di kawasan gunung Merapi. Ini sama sekali bukan klenik, melainkan kearifan local yang diyakini secara turun temurun oleh leluhur. Demikian suara Nugroho Angkasa dalam MEDIA INDONESIA, Rabu, 3 November 2010, halaman 20. Juga suara tokoh spiritual Permadi SH dalam wawancara dengan reporter televisi pada Sabtu, 6 November 2010.

Muncul pertanyaan, apa saja cirri, unsure dari klenik, khurafat, takhyul itu. Apakah memang prosesi labuhan/ruwatan, persembahan sesaajen, mbah roso (sing mbaurekso), magis pengayom masyarakat itu bukan termasuk ke dalam kategori klenik, khuafat, takhyul ?

Islam mempertanyakan keyakinan secara turun temurun oleh leluhur itu. “Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walau pun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula mendapat petunjuk ? “ (QS 5:104) (What! Even though theirs fathers had no knowledge what saevu, and no guidance ?). Bagaimana logika Permadi cs ?

Hidup dalam mitos

Dulu, kini, nanti manusia hidup dalam mitos, berpikir brdasar mitos. Dulu, agar trhindar dari bahaya, malapetaka dengan menggunakan ruwatan, petung dan sesaji.

Agar dapat mengatasi krisis dari keterjajahan dimitoskan Presiden Soekarno sebagai Ratu Adil dengan gelar yang serba agung, “Pemimpin Besar Revolusi”, “Penyambung Lidah Rakyat”, “Seniman Agung”.

Agar dapat mengatasi keterbelakaangan menuju pembangunan dimitoskan Presiden Soeharto sebagai Juru Selamat, dngan menyandang gelar “Bapak Pembangunan”, “Jenderal Besar”.

Agar dapat mengatasi disintegrasi bangsa dimitoskan Gus Dur sebagai “Bapak Pluralisme” (Kuntowijoyo : “Mengakhiri mitos Politik”).

Di kalangan intelektual dimitoskan bahwa ilmu pengetahuan Barat sebagai sumber kemajuan, peradaban.

Para tokoh dimitoskan sebagai pembawa misi profetik (nubuwah ?), sebagai juru selamat, pembebas bangsa dan kemiskinan, keterbelakaaaaaangan, pengantar ke kesejahteraan.

Demokrasi dimitoskan sebagai pembawa kedamaian.

(written by sicumpaz@gmail.com in sicumpas.wordpress.com as Asrir at BKS1011040930)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home