Milis bincang-bincang Masyarakat Adil Makmur Situs Koleksi Informasi Serbaneka

Monday, April 11, 2011

Kembalilah ke sisitim pendidikan era parlementer

Kembalilah ke sistim pendidikan era parlementer

Di era jaman merdea, di era pemerintahan parlementer, suasana bebas merdeka benar-benar dirasakan dalam pendidikan, tak ada aturan yang mengikut, membatasi kemerdekaan. Tak ada pakaian seragam harian, upacara, olahraga, pramuka. Entah dari mana datangnya ide, gagasan penyeragaman, uniformitas di semua bidang di era pemerintahan orde baru.

Di era pemerintahan parlementer, biaya pendidikan yang dipikul oleh orang tua siswa minim. Tak ada biaya tambahan ini, biaya itu. SPP disesuaikan dengan besar kecilnya penghasilan oang tua siswa. Di kelas satu samapi kelas tiga SR (kini SD) cukup menggunakan batu tulis (sabak) dan anak batu tulis (grip). Belum perlu menggunakan kertas, buku tulis, pensil, ballpoint, pulpen, apalagi bku ceta. Muatan lokal sangat terbatas. Bahasa daerah diajarkan di sekolah yang siswanya memang menggunakan bahasa daerah. Bahasa Arab dan Agama Islam diajarkan di sekolah yang siswanya memang banyak beragama Islam.

Evaluasi, ujian disesuaikan dengan usia, umur siswa. Di SR (SD) lebih banyak disajikan ujian yang bersifat konkrit (yang menggunakan kata tanya apa, siapa, berapa). Baru mulai di SMP (SLTP) lebih banyak disajikan ujian yang bersifat abstrak, berupa esai, menjelaskan (yang menggunakan kata Tanya kenapa, bagaimana). Sedangkan yang bersifat pilihan (multiple choice test) sangat minim). Bahkan diperlukan keahlian guru untuk menyusun ujian sedemikian rupa, sehingga siswa susah menemukan jawabannya meskipun membuka buku/catatan (seperti ujian hitungan ciferein/agka, peta buta, menterjemahkan, menjelaskan).

Sistim, model pendidikan di era pemerintahan parlementer lebih cenderung mengacu pada sistim, model pendidikan warisan/peninggalan colonial Belanda. Sedangkan sistim, model pendidikan di era orde baru lebih cenderung mengacu pada sistim, model pendidikan warisan/peninggalan colonial Anglo Sakson. Tapi sistim, model penegakkan hukum/keadilan masih saja mengacu pada sistim, model penegakkan hukum/keadilan warisan/peninggaln colonial Belanda, dan belum pernah beralih ke sistim, model penegakkan hukum/keadilan warisan/peninggalan Anglo Sakson.

Nostalgia 15 tahun kenangan manis suasana merdeka dalam pendidikan 1945-1960

Pada era parlementer sampai dicanangkannya era presidensial dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, orang tua murid benar-benar sangat merasakan nikmat kemerdekaan. Mereka tidak dibebani dengan berbagai macam kewajiban tetek bengek dengan pungutan yang berat. Mereka tidak diwajibkan menyediakan pakaian seragam harian sekolah, pakaian seragam olahraga, pakaian seragam pramuka dengan segala macam embel dan asesorinya. Seluruh siswa-murid bebas mengenakan pakaian asalkan rapi dan sopan, tak neko-neko. Benar-benar terasa keberagaman (bhineka) dari pada keseragaman (tunggal ika). Kerukunan tak terusik, bahkan terpelihara. Orang tua murid juga tak dibebani dengan kewajiban menyediakan alat tulis yang disediakan sekolah. Bila buku catatan siswa-murid yang sudah penuh dapat diminta lagi buku catatan baru dari sekolah. Sedangkan buku pelajaran tercetak (cetakan) hanya sangat terbatas yang harus disediakan oleh orang tua murid. Sekolah menyediakan buku pelajaran tercetak pada perpustakaan sekolah yang dapat digunakan oleh siswa-murid.

Keluhan semacam “Beratnya Wajib Belajar” (REPUBLIKA, Jum’at, 1 Oktober 2004, lembar “Pendidikan”, hal 1), dan “Korupsi yang merajalela juga masuk dan merusakkan sistim pendidikan”. Buku teks pendidikan tidak dibikin berkualitas, tetapi sekedar menjadi proyek yang terus diperbarui setiap tahun ajaran. Korupsi juga menggerogoti pembangunan sarana dan prasarana pendidikan (KOMPAS, Sabtu, 25 September 2004, hal 37, Fokus) tak akan pernah muncul dalam sistim pendidikan di era parlementer.

Pada sistim pendidikan era parlementer, nilai dalam ijazah benar-benar nilai murni (NEM), bukan nilai penggelembungan (nilai manipulatif). Untuk melanjutkan ke pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, siswa-murid cukup melengkapi lamarannya dengan salinan ijazahmya, dan tak diharuskan mengikuti tes-ujian saringan. Seleksi sudah cukup dilakukan dari nilai ujian yang tertera dalam ijazah.

Dikatakan bahwa kembali ke sistim pendidikan era parlementer adalah suatu kemunduran. Pendidikan itu haruslah dinamis, tidak statis, apalagi kembali ke masa lalu. Pendidikan itu haruslah selalu berubah, berorientasi ke masa depan, bukan ke masa lalu. Namun dalam realita, kenyataan hidup, di mana pun dan kapan pun, pertumbuhan, perkembangan fisik dan psiko objek didik hampir tak pernah berubah secara signifikan. Paling-paling yang berubah hanyalah alat, sarana pendidikan. Dari menggunakan tikar ke menggunakan bangku. Dari menggunakan sabak (batu tulis) ke menggunakan buku tulis. Dari menggunakan papan tulis ke menggunakan kibot/monitor komputer, dan lain-lain. Tak ada yang berubah. Bahkan nasib “Guru Masih Seperti Yang Dulu” (KOMPAS, Sabtu, 15 September 2004, hal 5). Manusia-manusia yang bergulat dalam dunia pendidikan bukan makin tambah cerdas, berwawasan luas, berdedikasi, kreatif, jujur dan adil, atau beretos kerja meski fasilitas fisiknya bertambah (KOMPAS, Sabtu, 25 September 2004, hal 4, Opini : ‘Mengelola Pendidikan Indonesia”).

Pada sistim pendidikan era parlementer siswa-murid benar-benar dididik dengan keteladanan perilaku para pendidik. Semangat kebangsaan (kenasionalan) tumbuh secara alamiah dari kesadaran sejarah. Bukan dengan rekayasa PMP, keseragaman pakaian (uniformitas). Seorang panelis dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan KOMPAS pada pertengahan Agustus 2004, berucap “Dulu, sewaktu saya di SMA tahun 1954, sekelas dengan saya adalah anak Perdana Menteri, anak Kolonel, anak Letnan Kolonel dan anak Sersan. Kini tidak lagi : yang kaya ke sini, yang tengah ke sini, yang miskin ke sana. Sekarang ini sekolah bukan lagi pemersatu bangsa, tetapi pemersatu kelas sosial (KOMPAS, Sabtu, 25 September 2004, hal 4, Opini : ‘Pendidikan Elitis dengan Semangat Egaliter’).

Disebutkan bahwa pada awal kemerdekaan, sistim pendidikan amat elitis, sangat ekslusif. Sistim pendidikan yang elitis amat menekankan pada kemampuan bernalar secara logis-empirik, juga menghimpun pengetahuan secara sistimatis. Kurikulum elitis hanya cocok untuk 30 persen siswa. Penggunaan kurikulum yang elitis ini harus segera diakhiri, dihentikan. Pendidikan elite harus berubah egaliter, melaksanakan pendidikan elitis berdasar meritokri.

Tarik menarik dalam dunia pendidikan muncul karena perbedaan visi, misi dan kepentingan. Ada pihak yang menghendaki fungsi pendikan ialah untuk mencerdaskan bangsa, menjadi inovator, mengubah lingkungan, memberi sumbangan kepada kemajuan ekonomi dan seterusnya. Pihak lain memandang bahwa strategi pendidikan mestinya mengacu pada kemampuan dalam IPTEK untuk mengembangkan ekonomi. Pendidikan cukuplah menyajikan IPTEK dan ekonomi yang langsung mendapatkan pemenuhan kepentingan di bawah pusar/pinggul (perut dan kelamin versi Freud). Ilmu-ilmu humaniora tersingkir demi dunia pendidikan (KOMPAS, Sabtu, 25 September 2004, hal 9, Humaniora).

Pendidikan pernah bergeser berfungsi untuk menyiapkan tenaga kerja untuk mengerjakan teknik-administrasi/operasi dengan lancar, yang memiliki keterampilan memijit tombol dalam industri mekanis (the push button skills in a mechanized industry) untuk memutar modal (kipas/fan pemilik modal/konglomerat). Anak dididik oleh sistim pendidikan, disiapkan hanya untuk melayani kebutuhan konglomerat yang menguasai industri (KOMPAS, Rabu, 23 April 1997, hal 3, Terkait dan Sepadan, ‘Link & Match’ oleh Liek Wilardjo).

Kalangan pengusaha/dunia usaha dituntut untuk berperan aktif menyumbangkan dana, tenaga, pemikiran (funds and forces, material and spiritual, duit dan ide) demi pendidikan yang nantinya akan berkiprah/mendukung bagi peningkatan/kemajuan dunia industri.

Pendidikan hendaknya dilihat sebagai sebuah usaha bangsa untuk menyejahterakan dirinya untuk mengejar ketertinggalannya. Pendidikan sebagai bagian dari proses produksi bangsa dan upaya memertahankan diri di tengah kompetisi global. Pendidikan membukakan sebesar idealisme dalam mendidik norma.

Dulu pada era pemerintahan kolonial Belanda, pendidikan dirancang untuk mencetak inlanders – alat dalam produksi, perdagangan, administrasi, kehutanan, kepolisian, kejaksaan, dan kepenjaraan kolonial. Pada awal kemerdekaan sampai akhir tahun 1950-an, sistim pendidikan dirancang untuk menghasilkan para elits yang mampu bernalar secara logis-empirik, berkemampuan menghimpun pengetahuan secara sistimatis (KOMPAS, Sabtu, 25 September 2004, hal 5, “Pendidikan Elitis dengan Semangat Egaliter”. Kini oleh sisitim pendidikan, anak disiapkan untuk melayani kebutuhan konglomerat yang menguasai industri (KOMPAS, Rabu, 23 April 1997, hal 5, Terkait dan Sepadan? ‘Link & Match’, oleh Liek Wilardjo),

Kurikulum SD/M Kelas 1-3

Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, oleh Badan Standar Nasional Pendidikan ditetapkan sejumlah buku teks yang dinyatakan memenuhi syarat kelayakan sebagai buku pegangan siswa berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional, Nomor 34 Tahun 2008 tanggal 10 Juli.

Siswa SD/MI kelas 1-3 pun dijejali dengan buku teks pelajaran tersebut. Anak-anak yang masih belum mengenal huruf dan angka secara baik, apalagi mengenal suku kata, kata, kalimat, operasi bilangan sudah dijejali dengan teks pelajaram, rangkuman dan evaluasi pelajaran, yang sama sekali belum dapat dicernanya. Bahkan pelajaran bahasa asing (bahasa Inggeris) untuk SD/MI kelas 1-2 rasanya terlalu berlebihan (over acting). Sungguh tak dapat dipahami logika tentang ini. 60-65 tahun yang lalu anak SR (SD) kelas 1-3 hanya menggunakan sabak (batu tulis). Baru di kelas 4 mulai menggunakan buku tulis dan buku teks.

Di samping itu muatan lokal (seperti pelajaran bahasa daerah) dimasukan tanpa mempertimbangkan kondisi riil. Di daerah pemukiman para pendatang (seperti di wilayah Perumnas) yang siswanya hanya mengenal bahasa Indonesia tak perlu dibebani dengan pelajaran bahasa daerah.

(written by sicumpaz@gmail.com in sicumpas.wordpress.com as Asrir at BKS0410030630)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home