Milis bincang-bincang Masyarakat Adil Makmur Situs Koleksi Informasi Serbaneka

Saturday, July 17, 2010

Kebebasan beragama


Kebebasan beragama
Kalangan Libral menghendaki kebebasan dalam menjalankan kebeasan beragama. “Seandainya ada sebuah paham dan menggugat privatisasi yang diatur dalam undang-undang” menurut mereka ini melanggar HAM (SABILI, No.26, Th IX, 27 Juni 2002, halaman 81). HAM dimanipulasi untuk mengemas hawa nafsu kebebasan hewani tanpa batas.
Agama itu memuat seperangkat aturan. Aturan agama itu membatasi hak privat dan hak public. Untuk beragama tak dapat bebas berbuat sebebasnya tanpa batas. Hanya dalam batas-batas yang ditetapkan agama, mat bragama dapat berbuat bebas sesuai dengan kebebasan manusiawi, bukan berdasarkan kebebasan hewani. Batas-batas dlam Islam terdapat pada Qur:an, Hadits, Sirah, baik secara eksplisit maupun implicit.
Dengan perantara Khalid bin Sid al’Ash, pihak Thaqif (di Ta’if) menyampaikan kepada Muhammad bahwa mereka menerima Islam, dengan permintaan supaya berhala mereka dibiarkan selama tiga tahun, jangan dihancurkan, dan mereka supaya dibeaskan dari kewajiban shalat. Tetapi permintaan merekamitu sama sekali dutolak oleh Muhammad. (Muhammad Husain Haekal : Sejarah Hidup Muhammad”, 1984:574-575).
Pernah pada suatu ketika dating seorang lelaki menghadap Rasulullah dengan cara yang sangat terus terang, yang dengan beraninya memohon dengan penuh pengharapan, agar dirinya diperkenankan melakukan perbuatan zina karena pada dirinya terdapat kelainan, yang dia senddiri merasa tidak sanggup mengekang nafsu birahinya terhadap waanaita. Menghadapi peristiwa yang demikian, dengan kebijaksanaannya Muhammad saw mengupas terlebih dahulu tentang dosa-dosa hingga sampai kepada hukum yang mana perbuatan zina itu setarap dengan kejahatan pidana, karena merupakan ancaman yang mengganggu dan menyerang kehormatan wanita, dan termasuk pula tindak aniaya. Rasulullah memecahkan persoalan yang demikian dengan cara memberi bimbingan, pengajaran, penginsafan dan menyebarkan kebajikan, dan kehalusan dan keindahannya. Akhirnya lelaki tersebut minta Rasulullah memohonkan kepada Allah, agar Allah menanamkan rasa cinta ke dalam hatinya (lelaki itu) akan kesucian, dan menjadikan keimanan itu terasa indah, dan agar ditimbulkan dalam hatinya rasa kebencian terhadap kedurhakaan. Berkat do’a Rasulullah, lelaki itu merasa bahwa taiada sesuatu yang dia benci seperti halnya perbuatan zina (Khalid Muhammad Khalid : “Kemanusiaan Muhammad”, 1984:137-140; Dr Yusuf AlQardhawi : “Kerangka dan Methoda Pengajaran”, 1994:49-50).
“Adapun orang-orang yang dalama hatinyaaaa condong kepada kesesatan, maka mereeka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tiak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah (QS 3:7). Na’udzu billahi min dzalik.
Oraaang beriman bila diingatkan dengan Qur:an aakan menyambutnya dengan “sami’na wa atha’na” bukan dengan sambutan “sami’na wa fahhamna tsum wa atha’na”. Dan tidaklah patut bagi laki-laku yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapaan, tak ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka (QS 33:36).
Sementara pengamat “terorisme” Noor Huda Ismail menggugat prinsip “sami’na wa atha’na” karena menurutnya menciptakan budaya taqlid, nrimo, tanpa kritis. Seharusnya katanya “sami’na wa fakir-fikirna” yang dapat menumbuhkan budaya “critical thinking” (KOMPAS, Sabtu, 17 Juli 2010, halamana 4, “Kekerasan : Budaya Berpikir Kritis Dapat Cegah Terorisme”.
Dengan alasan kebebasan, apakah kita berbuat apa saja yang kita inginkan ? Apakah kita bebas berjalan bugil di tempat keramaian tanpa penutup tubuh sehelai benang pun ? Apakah kita bebas mendengar suara music di tengah malam dengan suara keras, sementara tetangga kita tengah beristirahat ? Apakah kita bebas mendatangkan tukang kayu di tengah malam untuk memperbaiki rumah kita, sementara para tetangga sedang tidur lelap ? Satu-satu tempat yang bias bebas berbuat sebebasnya taanpa batas hanyalah tempat yang tidaak dihuni oleh manusia barang seorangpun. Di sana kita bebas berbuat dan menikmati kebebasan seperti yang kita inginkan (Prof mutawalli asSya’rani dalam Muhammad alMusnid : “Dulu Maksiat Sekarang Tobat”, 2001: 13-14)
(Asrir BKS0206231200)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home