Milis bincang-bincang Masyarakat Adil Makmur Situs Koleksi Informasi Serbaneka

Thursday, February 24, 2011

Tiga bulan tanpa parpol

Tiga bulan tanpa parpol

Menurut Mr Muhammad Yamin yang juga ikut terlibat dalam penyusunan UUD-45, menyebutkan bahwa “Waktu Undang-undang Indonesia dirancang, maka kata pembukanya menjamin demokrasi, tetapi pasal-pasalnya benci kepada kemerdekaan diri dan menentang demokrasi revolusioner” (Simak “Proklamasi dan Konstitusi RI”, terbitan Djambatan, 1952:90).

Sesuai dengan suasana waktu itu, maka demokrasi yang dipahami adalah dalam sistim pemerintahan presidensial tanpa parpol, meskipun sebelum proklamasi sudah ada sejumlah parpol.

Barulah setelah tiga bulan setelah proklamasi, pada tanggal 16 November 1945 atas usul KNIP, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat No.X. Dengan maklumat ini, maka cita-cita kea rah demokrasi lebih maju selangkah. Sejak saat itu diberlakukanlah Kabinet Ministeriil (sistim parlementer). Sebenarnya Kabinet Ministeriil (sistem parlementer) sudah muncul dengan Kabinet Sjahrir I yang dibentuk tanggal 14 Novenber 1945 dan kemudian dilanjutkan oleh cabinet Sjahrir II dan III (Simak Moh Djuana dan Sulwan : “Tata Negara Indonesia”, JB Wolters, 1957:72-75).

Maklumat No.X tersebut membuka pintu bagi pendirian parpol. Jadi selama tiga bulan, demokrasi, pemerintahan bisa berjalan tanpa parpol. Setelah Maklumat No.X itu, maa sistm pemerintahan secara resmi beralih dar sistim presidensial ke sistim parlementer. Meskipun semangat UUD-45 masih tetap sistim presidensial, amun sistim parlementer bisa diakomodasinya.

Demokrasi parlementer serngkali dikatakan tidak baik, karena bersifat individaulistis dan mengakibatkan adanya sistim dagang sapi (intrik-intrk siapa mendapat apa). Indivdualisme dipandang/dikatakan buruk karena bertentangan dengan keperibadian nasional.

Sisitim pemerintahan parlementer secara resmi berakhir dengan Dekrit Presiden 5 juli 1959, karena Presiden Soekarno merasa lebih bebas bergerak dengan UUD-45 dari pada UUDS-50 ang harus mendengarkan parleen (DPR). Dengan UUD-45 semua Presiden RI merasa lebih nyaman (Simak antara lain Soegiarso Serojo : “Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai”, 1988:102-109). Sejak saat itu diusung/dilansir pula gagasan penyederhanaan parpol, sampai sepuluh, tiga parpol saja. Bahkan cenderung ke arah satu parpol saja. PNI di era Orla. Golkar di era Orba.

Karena penggunaan UUD-45 oleh penguasa dirasa sudah sangat berlebihan, maka atas tuntutan rakyat melalui wakilakilnya di MPR, maka dilakukan amandemen terhadap UUD-45. Meskipun sudah diamandemen, namun dalam diri UUD-45 tetap saja terjadi pergumulan antara seangat presidensal dan semangat parlementger.

(written by sicumpaz@gmail.com in sicumpas.wordpress.com as Asrir at BKS1102240915)+--`

0 Comments:

Post a Comment

<< Home