Milis bincang-bincang Masyarakat Adil Makmur Situs Koleksi Informasi Serbaneka

Wednesday, June 29, 2011

केबेबसन दी आलम mimpi

catatan serbaneka asiri pasir

Kebebasan di alam mimpi

Kebebasan mutlak hanya ada pada Yang Mutlak saja. Sedangkan pada yang bukan mutlak hanya ada kebebasan relatif (Khurshid Ahmad : “Islam Lawan Fanatisme Dan Intoleransi”,, 1968:5-7, Bab II : ‘Hantu Intoleransi’). Demikian pula kebenaran mutlak (yang qath’I) hanya ada pada Yang Mutlak (Alhaq) saja. Sedangkan kebenaran relatif ( zhanni) ada pada yang bukan mutlak. Kebenaran relatif (yang zhanni) tetap saja kebenaran relatif, tak dapat meningkat menjadi kebenaran mutlak (yang qath’I), bagaimanapun hujjah, dalil yang diterapkan. Ijtihad tak dapat dibatalkan dengan ijtihad, kata orang di kalangan Usul Fiqih.

Kebenaran relatif (yang zhanni) adalah buah, hasil renungan (filsafat, logika), kajian, fikiran, pendapat, yang dalam terminologi khazanah tsaqafah Islam dapat diidentifikasikan sebagai “hawa”. Terhadap yang mempertuhankan hawanya, Qur”an mengingatkan : “Adakah engkau lihat orang yang mengambil hawa nafsunya menjadi Tuhannya dan Allah menyesatkannya, karena mengetahui (kejahatan hatinya), dan mencap (menutup) pendengaran dan mata hatinya dan mengadakan tutupan diatas pemandangannya. Maka siapakah yang akan menunjukinya sesudah Allah? Tidakkah kamu menerima peringatan ?” (QS 45:23). “Adakah engkau lihat orang yang mengambil hawa nafsunya menjadi Tuhan ? Adakah engkau menjadi wakil (penjaga) untuknya ? Bahkan adakah engaku kira, bahwa kebanyakan mereka mendengar atau memikirkan ? Mereka tidak lain, hanya seperti binatang, bahkan mereka lebih sesat jalannya” (QS 25:43-44). “Adapun orang-orang yang miring hatinya (suka kepada yang batil), maka diikutnya apa-apa yang mutasyabihat, karena menghendaki fitnah dan mencari-cari takwilnya (maksudnya, interpretasinya), dan tak ada yang mengetahui takwilnya (maksudnya, interpretasinya) melainkan Allah” (QS 3:7). “Maka tiadalah sesudah kebenaran (alhaq) melainkan kesesatan (addhalal). Bagaimana kamu berpaling?” (QS 10:32).

Yu waswis

“Berlindunglah kepada Aallah dari waswis khannas jin dan khannas manusia” (Tuntunan QS an-Naas 114:116).

“Agama Allah tidak perlu dibela. Kalau Allah mau, siapa pun yang mengancam agama-Nya bisa dibasmi-Nya tanpa bantuan manusia” (Idha Farida SA, dalam SABILI, No.2, Th.VIII, 12 Juli 2000, hal 6).

“Pada pertengahan 1982, Gus Dur menyeru untuk tidak usah membela Tuhan. Tuhan Tidak Perlu Dibela” (M Musthafa, dalam KOMPAS Minggu 1999, ‘Untuk Siapa Agama Sebenarnya?’.

“Orang-orang musyrik (paganis) akan mengatakan bahwa, jika Aallah menghendaki tentulah Allah akan memberi makan orang-orang papa” (Peringatan QS Yaasin 35:47).

“Setan datang menemui seseorang hingga sampai menanyakan siapa yang menjadikan Allah” (Peringatan HR Bukhari dari Abi Hurairah, dalam Bab ‘Sifat Iblis wa Junudihi’).

Iblis mempertanyakan kenapa allah menjadikannya dan apa hikmahnya, padahal sebelum kejadiannya Allah telah mengetahui apa saja yang bakl keluar dari perbuatannya. Mengapa Allah membebaninya untuk mengenal dan ment’ati-Nya, padahal Allah menciptakannya menurut iradah dan keinginan-Nya” (Petikan komentar penulis Injil yang dikutip Imam Syahrastani dalam “Kitab al-Milal wan-Nihal, hal 14-16, yang dinukilkan kembali oleh H Ali Fahmi Arsyad, dalam SUARA MASJID, Nomor 162, Maret 1988, hal 50).


Logika Iblis

Seperti yang tercantum didalam komentar kitab-kitab Injil : Lukas, Markus, Yohannes dan Matius (yang memuat komentar), begitu pula dalam kitab Perjanjian Lama, sebagaimana yang dikutip dari “Kitab al-Mihal wan-Nihal” karangan Imam Syahrastani (hal 14-16), telah terjadi dialog sebagai berikut :

Iblis berkata kepada paraMalaikat : “Sesungguhnya aku percaya bahwa Pencipta Yang Maha Tinggi, adalah Tuhanku dan Tuhan sekalian makhluk. Dia-lah Yang Maha Tahu, Maha Kuasa dan Dia tak perlu ditanya tentang kekuasaann-Nya dan kehendak-Nya, yang apa pun kehendak-Nya. Dia cukup mengatakan “adalah”, maka jadilah “ada”, dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana. Namun, Dia telah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan di dalam jalur kebijaksanaan-Nya itu”. Malaikat bertanya : “Apakah pertanyaan-pertanyaan itu, dan berapa banyaknya ?”. Iblis yang telah dikutuk Allah itu menjawab :

Pertama : “Bahwa Dia telah mengetahui segala sesuatu sebelum kejadianku, mengetahui apa saja yang bakal keluar dari perbuatanku, kenapakah aku yang dijadikannya pertama dan apa hikmahnya Dia menciptakan-ku ?”.

Kedua : “Manakala Dia menciptakan-ku menurut iradah dan keinginan-Nya, maka mengapa Dia membebankan atas diriku untuk mengenal dan menta’ati-Nya ? Apa hikmahnya dalam pembebanan ini, sementara Dia tidak mendapatkan keuntungan oleh “keta’atan” dan tidak mendapat kerugian dengan “kedurhakaan” ?”.

Ketiga : “Manakala Dia telah menciptakanku, membebaniku, lalu aku penuhi “pembebanan”-Nya itu dengan mengenal serta menta’ati-Nya, maka kenapa Dia membebaniku pula untuk menta’ati Adam dan sujud kepadanya ? Apa hikmahnya dalam pembebanan ini, khususnya sesudah hal itu tidak akan menambah pengenalanku dan keta’atanku kepada-Nya ?”.

Keempat : “Manakala Dia telah menciptakan dan secara mutlak membebaniku; dan secara khusus membebaniku untuk ini (sujud kepada Adam) maka ketika aku tidak sujud kepada Adam, kenapa Dia mengutuki-ku dan mengusirku dari sorga ? Apa hikmahnya yang demikian itu, sesudah sebelumnya aku tidakpernah berbuat sesuatu yang buruk, kecuali ujcapanku “aku tidak sujud (kepada sesuatu) kecuali kepada-Mu ?”.

Kelima : “Manakala Dia telah menciptakanku, lalu membebaniku secara mutlak dan secara khusus, lalu aku tidak ta’ati, sehingga Dia mengutuk-ku dan mengusirku, maka kenapa Dia memberi kesempatan kalinya dan (Adam) kutipu dengan tipu-dayaku, sehingga ia memakan (buah) dari pohon larangan itu, lalu Dia mengeluarkannya (Adam) dari sorga bersama aku. Apakah hikmahnya dalam hal itu, padahal kalau Dia mencegahku memasuki sorga, tentulah Adam terhindar dari (godaanku, dan ia tetap kekal di dalamnya (sorga) ? “.

Keenam : “Manakala Dia telah menciptakanku, lalu membebaniku secara umum dan khusus, kemudian melaknatku, lalu membiarkanku masuk ke sorga, sedang antara aku dan Adam dalam permusuhan, kenapaakahg aku dikuasakan atas keturunannya (Adam) sehingga aku dapat melihat mereka, sementara mereka tak dapat melihatku, dan mengutamakan tipu-dayaku atas mereka, sedangkan usaha dan kekuatan mereka tidak didahulukan padaku, apakah hikmahnya dalam hal demikian itu, padahal kalau mereka diciptakan menurut fitrah, tanpa (adanya) yang menyimpangkan mereka dari (fitrah) itu, tentulah mereka akan hidup dalam kesucian, patuh dan ta’at, dan yang demikian itu pantas buat mereka.
\
Ketujuh : “Aku mempercayai semua ini, Dia-lah yang telah menciptakanku, membebaniku secara mutlak dan yang mengikat, dan manakaala aku tidak mematuhi-Nya, Dia melaknatku dan mengusirku, dan ketika aku ingin masuk sorga, Dia perkenankan dan memberi kesempatan, kemudian manakala aku perbuat usazhaku, Dia mengusirku, kemudian menguasakan kepadaku atas bani Adam, maka kenapa ketika aku meminta tangguh Dia memperkenankannya, ketika aku berkata : “tangguhkanlah aku hingga hari berbangkit”. Dia berfirman : “Sesungguhnya engkau diberi tangguh sampai kepada waktu yang telah ditentukan”. Apakah hikmahnya dalam hal demikian, padahal kalau Dia memusnahkanku langsung, entulah Adam dan semua makhluk merasa aman dariku dan tentulah tiada kejahatan di dunia ? Bkankah tetapnya dunia dalam peraturan yang baik jauh lebih bagus daripada bercampur-aduknya dengan kejahatan ?”.

Pensyarah (komentator) Injil berkata : “aka Allah mewahyukan kepada Malaikat : “Katakanlah kepadanya : “Sesungguhnya engkau ada didalam penyerahanmu yang pertama : “bahwa Aku adalah Tuhanmu dan Tuhan semua makhluk”, “tidak benar dan tidak ikhlas”. “Andainya engkau benar-benar jujur dalam ucapanmu : “bahwa Aku Tuhan sekalian alam, tentulah engkau tidak menghukum Aku dengan kata : “kenapa? Sedangkan Aku adalah Allas, yang tiada Tuhan selain Aku”, “Aku tidak mesti ditanya, atas apa yang Kupebuat, tetapi makhluklah yang mesti ditanya” (H Ali Fahmi Arsyad : “Ghazwulfikri Sudah Ada Sejak Nabi Adam as”, dalam SUARA MASJID, Nomor 162, Maret 1988, hal 50-52).


Logika Modern

Logika Iblis diserap, diadopsi, diadaptasi, dimodifikasi, dikembangkan bani Adam secara canggih, sehingga melahirkan logika modern, bahkan menjadi super, ultra modern sebagaimana Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika)-nya Tan Malaka. Banyak atau sedikit, logika modern mengandung anasir logika iblis. Logika modern tumbuh subur berkembang dalam era ghazwul fikri, era psy-war, era information-war, era perang urat saraf.

Pada era ghazwul fikri inilah muncul pentolan-pentolan logika modern, seperti Sayyid Ahmad Khan, Mirza Ghulam Ahmad, Ameer Ali, Maulana Abul Kalam Azad, Ghulam Ahmad Parves di anak benua India, Ziya Gokalp, Mustafa Kemal Atturk di Turki, Qasim Amin, Thaha Husain, Syeikh Ali Abdul Raziq1, Khalid Muhammad Khalid, di Mesir (Maryam Jameelah : “Islam dan Modernisme”, 1982). Pentolan logika modern pada masa kini yang jadi rujukan di antaranya adalah tokoh-tokoh semacam Ir Mahmud Muhammad Thaha, Dr Hasan Hanafi, Dr Muhammad Imarah, Dr Rifa’ah atThahthawi yang cenderung sinkretis (talbisul-haq bil-bathils) (WAMY :”Gerakan Keagamaan dan Pemikiran”, 1995).


Penghalang tegaknya Syari’at Islam

Sudah berbagai rupa teori yang diketengahkan para pakar yang menjelaskan cara, upaya, metoda untuk menegakkan Syari’at Islam di muka bumi ini. Namun teori tinggal tetap teori, impian, tak pernah terwujud dalam realitas, dalam kenyataan di tempat mana pun di muka bumi ini, tidak di Arab, tidak ddi Mesir, tidak di Sudan, tidak di Pakistan, tidak di Indonesia, tidak di mana-mana.

Ada Abul A’la al-Maududi dengan “Metoda Revolusi” (1983), “Kemerosotan Ummat Islam dan paya Pembangkitannya” (1984). Ada Muhammad bin Syaqrah dengan “Cara Praktis Memajukan Islam” (1991). Ada Yusuf Qardhawi dengan “Alhallul Islamy” (Pedoman Ideologi Islam) (1988). Ada Sayid Quthub dengan “Petunjuk Jalan”. Dan lain-lain.

Tidak bisa tegaknya Syari’at Islam itu disebabkan oleh kondisi internal umat Islam yang menurut kajaian Abdul Qadir Audah “Islam di antara kebodohan Ummat dan kelemahan Ulama” (1985). Generasi kini adalah generasxi buih. Tak punya bobot, tak punya kekuatan, tak punya potensi. Kekuatan, potensi umat Islam terdapat pada adanya ruh taauhid dan ruh jihad. Generasi kini adalah generasi cuek. Tak ada satu pun media massa Islam yang secara sungguh-sungguh, terarah, sistimatis membangkitkan ruh taauhid para pembaca (paling-paling sekedar “bimbingan tauhid” yang kering dari ruh tauhid). Juga tak ada satu pun mimbar Islam pada tayangan televisi yang secara sungguh-sungguh, terarah, sistimatis mmembangkitkan ruh tauhid para pemirsa. Lebih banyak sekedar ajang pamer ilmu sang nara sumber. Demikian pula tak ada satu pun penerbit Islam yang secara sungguh-sungguh, terarah, sistimatis menerbitkan buku-buku yang diharapkan dapat membangkitkan ruh tauhid para pembaca. Umumnya semuanya bertolak dari motif (niat) bisnis, mengusung “Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang), bukan berangkat dari “Sampaikanlah dariku, walaupun satu ayat”.

Kondisi riil generasi buih, generasi cuek masa kini, antara lain dapat disimak dari analisa Abul Hasan Ali alHusni anNadwi “Pertarungan antara Alam Fikiran Islam dengan Alam Fikiran Barat” (1983). Di samping kondisi internal umat Islam, maka tidak bisa tegaknya Syari’at Islam, juga disebabkan oleh faktor eksternal, oleh yang berasal dari luar, bahkan berasal dari musuh Islam. Faktor eksternal lebih dominan melalui pendidikan. Umat didik secara Barat dengan sistim Barat. Ada yang secara langsung, dan ada yang tidak secara langsung. Yang secara langsung, dididik, diajar di sekolah-sekolah Barat, di negara-negara Barat untuk menerima, menimba teori-teori “ilmiah” dari “ilmuwan” semacam Goldzieher, Margolioth, Schacht, dan lain-lain (Dr Musthafa AsSiba’I : “AlHadits sebagai sumber Hukum serta Latar Belakang Historisnya”, 1982:25-28). Secara tak langsung bisa melalui studi/kajaian tokoh-tokoh sinkretis semacam Ir Mahmud Muhammad Thaha, Dr Hasan Hanafi, Dr Muhammad Imarah, Dr Rifa’ah at-Thahthawi, dan lain-lain. Juga bisa melalui studi/kajian tokoh orientalis.

Orang-orang Islam yang terdidik secara Barat, dengan sistim Barat, baik langsung dengan orang Barat, maupun tak langsung melalui studi/kajian orang-orang Barat dan pengikut-pengikut Barat inilah yang akan tumbuh, mengembangkan, menyebarkan apa yang namanya Islam Rasional (orang Barat ada yang menyebutnya Freidenker in Islam), Islam Liberal (Islam Sekular ?, dulu tahun lima puluhan ada yang namanya PKI Lokal Islamy, dan Jami’atul Muslimun (Jamus)-nya PNI. Islam Rasional sangat menjungjung rasio, akal, lebih dari naqal, lebih dari wahyu. Kebenaran itu dapat diperoleh dengan rasio, dengan akal, tgak perlu naqal, tak perlu agama. Rasionalis ini pada masa lampau dengan julukan Mu’tazilah (M.Natsir : “Rationalisme dalam Islam dan Reactie atasnja”, dalam ALMANAR).

Islam Liberal menghendaki kebebasan sebebasnya tanpa batas. Untuk membebaskan diri dari ikatan Islam diupayakan dengan menggunakan pandangan Islam sendiri. Dikemukakanlah bahwa Islam itu sangat menjunjung kebebasan, tanpa menjelaskan kebebasan yang dikehendaki Islam. Secara tak langsung bisa juga melalui studi/kajian karya semacam “Madilog”-nya Tan Malaka, kaum “Dahriyin” masa kini. Kaum “Dahriyin” masa lalu, percaya kepada keabadian daripada benda dan menolak mengakui adanya seorang yang Maha Pencipta (Amer Ali : “Api Islam”, hal 260).

Orang-orang yang menganut paham Islam Rasional, Islam Liberal tampaknya kelihatan sangat Islami, tetapi menolak formalisme syari’at Islam, bahkan bisa anti Islam secara ideologis. Lahirnya di permukaan tampak Islam, tetapi Islamnya hanya sampai ditenggorokannya. Terdapat hadits-hadits dari Abu Sa’id alKhudri tentang orang-orang Khawarij (yang keluar dari agama) yang menyiratkan, mengesahkan suruhan/perintah untuk membunuh orang-orang yang mengaku Islam, tetapi punya pandangan anti Islam, menolak formalisasi syari’at Islam (Mohammad Fauzil Adhim : “Kupinang Engkau dengan Hamdalah”, 2001:113). (“Membunuh” bisa saja bermakna majazi, mengebiri, menguburi Islam). Alergi, jijik, sinis terhadap Syari’at Islam. Dalam wawancara TVR, Jum’at, 12 Aapril 2002, jam 1800-1830, tentang amandemen UUD-45, Rektor IAIN, Prof Dr Azyumardi Azra tak menyukai upaya pene3gakkan Syari’at Islam (melalui Piagam Jakarta).

Ketika menyimak “Jejak Liberal di IAIN” dalam SABILI, No.25, th.IX, 13 Juni 2002, terbayang seorang keponakan lulusan IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat tahun 2001 yang dalam rak perpustakaan pribadinya bertengger MADILOG karya Tan Malaka. Sejak dari awal sampai akhir bukunya, Tan Malaka menuntun, membimbing, mengarahkan pembacanya secara sistimatis.

Syari’at Islam hanya bisa tegak kalau sudah ada komunitas yang memiliki ruh tauhid. Komunitas yang memiliki ruh tauhid ini bisa disebut dengan masyarakat IMTAQ, masyarakat MARHAMAH, masyarakat ISLAMI. Masyarakat Islami adalah masyarakat yang intinya (kernnya) terdiri dari orang-orang Islam yang tangguh, yang hidup matinya lillahi rabbil ‘alamin, dan plasmanya segenap orang taanpa membedakan asal, suku, agamanya yang bersedia melakukan yang baik dan tidak melakukan yang jahat serta siap sedia secara bersama-sama menindak yang melakukan tindak kejahatan, dan menyelesaikan sengketa menurut hukum Allah. Masyarakat yang mau diatur oleh hukum Tuhan Yang Maha Esa (Sayid Qutub : “Dibawah Panji-Panji Islam”, 1983:19, Fuad Abdul Baqi : “alLukluk wal-Marjan”, hadits no.1104).

Di antara paham, pemikiran yang menghalangi, merintangi, menghambat, menjegal Syari’at Islam, adalah paham, pemikiran Islam Rasionalis, Islam Liberalis (Islam Sekularis, Islam Sinkretis). Pahamnya bertolak dari pemisahan agama dan politik, pemisahan hak privat dan hak politik. (Proses munculnya ide pemisahan agama dan politik di kalangan Islam, yang dicaplok dari kalangan Kristen, diuraikan Sayyid Quthub dalam bukunya “Keadilan Sosial Dalam Islam”, 1994:1-23, ‘Agama dan Masyarakat dalam pandangan Kristen dan Islam’). Menghendaki kebebasan mutlak yang sebebas-bebasnya tanpa batas. Padahal di negara adikuasa yang katanya sangat menghormati kebebasan, kemerdekaan, namun paham komunis dijegal (Khurshid Ahmad : “Islam Lawan Fanatisme Dan Intoleransi”, 1968:5-7, ‘Hantu Intoleransi’). Mengeb iri, memasung, memandulkan, melumpuhkan Islam. Meredusir, meredduksi, membatasi hakikat dakwah, hakikat jihad. Menolak Islam didakwahkan sebagai acuan aalternatif. Menantang hak individu diintervensi, diatur oleh Islam. Mengusung ide pemisahan wilayah publik dan wilayah privat, bahwa agama adalah soal individu (bersifat pribadi), sedangkan soal publik adalah hak negara (SABILI, No.25, Th.IX, 13 Juni 2002, hal 81, “Melacak Jejak Liberal di IAIN”. Menolak Islam diteraapakan secara formal. Menolak formalisasi/legalisasi ketentuan Syari’at Islam ke dalam peraturan perundang-undangan sebagai hukum positif. Ketua Forum mahasiswa Ciputat (Formaci), Iqbal Hasanuddin menjelaskan, bahwa ia bersama Formaci-nya tegas-tegas menolak penerapan Syari’at Islam. Juga teman-temannya di HMI, PMII, Forkot tak setuju dengan itu. Hak kebebasan individu tak boleh dintervensi, diatur oleh aturan publik. (Idem, hal 82). Melakukan labelisasi/stigmatisasi umat Islam dengan julukan seperti sekretarian, primordial, ekstrim, fundamentalisme, dan lain-lain yang sejenis dan yang menyakitkan. (Apalagi kini dengan gencar predikat teroris disandangkan pada Taliban, alQaeda, Jama’ah Islamiyah, Majelis Mujahidin, dan lain-lain). Menggembar-gemborkan bahwa Syazri’at Islam itu hanya cocoknya buat bangsa yang belum berbudaya, belum beradab, masih biadab, barbar, primitif, seram, kejam, sadis, bengis, beringas, jorok, dekil, kumal. (Dikemas dalam bahasa “ilmiah”).

Melakukan kegiatan/manuver politik Deislamisasi yang cenderung sinkretis (talbisul haq bil bathil), pluralisme. Berupaya memisahkan antara hakikat (yang substansial/substansif) dan syari’at (law enforcement, legal action). Hanya mengambil hakikat (esensi, semangat, nilai) dan melepaskan syari’at (syi’ar, simbol, ritual, legal-formal). Memuji-muji keagungan nilai-nilai Islam sebagai nilai yang humanis-universal, dan mencela, mencerca hukum-hukum Islam dengan seb utan sadis, kejam, biadab, primitif, tidak manusia. Mengaraahkan perkembangan Islam hanya b eraliran, berdimensi, bernuansa substantif/substansial (hakikat semata) tanpa terkait pada syari’at (legaal-formal). AlQur:an dipahami hanya sebatas kontekstual sesuai dengan kehidupan sosio-kultural yang terus berkembang terlepas dari tekstual (nash). Bahkan menurut paham ini, segala sesuatu yang datan g dari alQur+an dan Sunnah harus ditimbang dulu sebelum diterima. Kalau cocok menurut rasio barulah diterima. “Sami’na wa fakkarna baru wa atha’na”. Alqur:an dan Hadits itu terbuka untuk diinterpretasikan, katanya (SABILI, No.25, hal 82). Mereka berlindung di balik kebebasan yang diberikan Islam untuk memilih apakah akan tetap kafir, menolak Qur:an, ataukah akan masuk ke dalam Islam secara utuh, menerima Qur:an tanpa wa fakkarna, tapi wa atha’na.

Faktor ekstern lain yang menjegal tegaknya Syari’at Islam adalah perangkat-perangkat yang melekat pada sistim non-Islam (sistim jahiliyah) semacam sumpah jabatan, lencana/simbol negara, tata tertib protokoler, dan lain-lain.

Kondisi sosial, kondisi mental yang memungkinkan kebebasan tertanamnya ruh tauhid, itu pulalah yang memungkinkan tegaknaya syari’at Islam. Karena itu diperlukan upaya pembangkitan ruh tauhid ini.

Sayid Quthub menghimbau agar umat ini mengambil alQur:an secara hakiki, mewujudkan kandungan-kandungannya, dan berjuang melawan kejahilan. Agar bisa memahami Qur:an secara baik, dan bisa mengimplementasikannya secara baik pula, pendeknya mampu berinteraksi aktif secara efektif dengan Qur:an. Memperkokoh hubungan dengan Tuhanya, berpegang teguh dengan tali-Nya serta bertawakal kepadaNya. Agar merasa bangga dengan keimanannya, merasa mulia dengan akidahnya, percaya dan yakin terhadap janji Tuhannya, serta agar bersabar.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home