Biang Kehancuran
Biang Kehancuran
Di mana-mana bisa saja ditemukan keresahan,
kerusuhan, kekacauan. Konflik, bentrok fisik berdarah. Konflik horizontal,
antara sesama rakyat, antara sesama penguasa, penyelenggara anegara, antara
lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Konflik vertikal, antara atasan dan
bawahan, antara majikan dan pelayan, antara penguasa dan rakyat. Konflik
antara etnis, antara suku.
Ada tiga sumber utama pemicu terjadi
kekacauan, malapetaka. Pertama memperturutkan hawa nafsu. Kedua memenuhi
ajakan, seruan kikir. Ketiga ujub, sombong, pamer diri (HR Abusyaikh dari
Anas).
Pola Hidup tamak, rakus, serakah.
Hawa itu pantang kerendahan. Nafsu itu pantang
kekurangan. Tak pernah puas dengan posisi, jabatan. Senantiasa berupaya naik
keatas tanpa batas. Mengakumulasi kekuasaan. Serba kuasa. Tak pernah puas
dengan harta kekayaan. Senantiasa berupaya menumpuk, melipatgandakan harta
kekayaan, menginvestasikan kekayaan di mana-mana. Motivasinya untuk menjadi
orang nomor satu. Bukan untuk memenuhi kepentingan umum, seperti untuk
menyediakan lapangan kerja bagi para tuna karya. Takatsur (akumulasi
kekuasaan dan kekayaan) sepanjang hidup, menyebabkan manusia tak sadar diri
(QS Takatsur 102:1-2, Lahab 111:2, An’am 6:44, Hasyar 59:19). Harta itu
adalah laksana air asin. Semakin banyak diminum, maka semakin haus (Dr
Schoppenhauer). Manusia itu tak pernah puas. Senantiasa berupaya memonopoli
kekuasaan dan memonopoli kekyaaan. "Andaikan anak Adam memiliki sepenuh
lembah harta kekayaan, pasti ia ingin sebanya itu lagi, dan tiada yang dapat
memuaskan pandangan mata anak Adam kecuali tanah, dan Allah akan memberi
taubat, kepada siapa yang tobat (HR Bukhari, Muslim dari Ibnu Abbas dan Anas
bin Malik).
Keserakahan tak terkendali merupakan faktor
pembawa nestapa dalam kehidupan manusia. Orang serakah taka pernah puas
dengan semua harta dunia, persis sebagaimana api membakar semua bahan bakar
yang diberikan. Bilamana keserakahan (monopoli) menguasai suatu bangsa, ia
mengubah kehidupan sosialnya menjadi medan pertengkaran dan perpecahan sebagai
ganti keadilan, keamanan dan kedamaian. Secara alami, dalam masyarakat
semacam itu, keluhuran moral dan rohani tidak mendapat kesempatan. Orang
serakah merebut sumber-sumber kekayaan untuk mendapatkan yang lebih banyak
dari haknya sendiri, dan mengakaibatkan permasalahan ekonomi yang parah
(Sayid Mujtaba Musai Lari : "Menumpas Penyakit Hati", 1999:161).
Rasulullah mengkhawatirkan, kalau nanti terhampar luas, terbuka lebar
kemewahan dan keindahan dunia bagi ummatnya, seperti telah pernah terhampar
pada orang-orang dahulu sebelum mereka, kemudian mereka berlomba-lomba
sehingga membinasakan mereka, seperti telah membinasakan orang-orang dahulu
(HR Bukhari, Muslim dari Amr bi Aauf al-Anshari).
Pola hidup tamak, rakus, serakah melahirkan
perilaku hidup mewah, berorientasi pada pemenuhan kebutuhan (syahwat) perut
dan kelamin, berorientasi pada privat profit duniawi semata (hubbun dunya wa
karihatul maut), serta prilaku hidup cuek, masa bodoh, tanpa mempedulikan
halal atau haram, tanpa mempedulikan keadaan sesama, pokoknya asal terpenuhi
kebutuhan perut dan kelamin, tak punya rasa malu sama sekali, tak punya rasa
kepekaan sosial.
Pola hidup pelit, kikir.
Untuk mengamankan harta kekayaan agar tidak
susut, agar tidak berkurang, maka diperlukan sikap mental, pola hidup pelit,
kikir. Pelit, kikir merupakan kerabat dekat dari tamak, serakah, rakus.
Pelit, kikir merefleksikan egois seutuhnya. Senantiasa cemas, kawatir
kalau-kalau kekayaan susut, berkurang. Orang kikir merasa seluruh harta
kekayaan itu adalah hasil kerja kerasnya dan hasil kecakapannya semata (QS
Qashash 28:78). Setan menakut-nakuti akan berkurangnya harta, dan membisikkan
agar berbuat kikir (QS Baqarah 2:266). Pikiran orang kikir hanya terfokus,
terpusat disekitar materi dan kekayaan. Takut akan berkurangnya harta
kekyaannya, sangat mempengaruhi pikiran si kikir. Seorang kikir senantiasa
dalam kecemasan dan depresi. Ada suatu hubungan langsung antara kekayaan dan
kekikiran. Kebanyakan orang kaya cenderung kikir. Yang menolong orang miskin
biasanya dilakukan oleh kalangan menengah, bukan orang kaya. Kekiran punya
peran menyulut kejahatan dan perpecahan ("Menumpas Penyakit Hati",
1999:152-153). Rasulullah mengingatkan ummatnya agar menjaga diri dari sifat
kikir, karena sifat kikir itu telah membinasakan ummat-ummat dahulu, mendrong
mereka mengadakan pertumpahan darah dan menghalalkan semua yang diharamkan
Allah (HR Muslim dari Jabir.
Pola hidup pelit, kikir, bakhil melahirkan
perilaku hidup sibuk menabung, menyimpan, berinvestasi melipatgandakan modal
kekyaan, sibuk dengan rencana, rancangan, planning, serta perilaku hidup
aniaya, sadis, zhalim, monopoli, melindas usaha kecil, tak membiarkan hidup
yang akan dapat menjadi saingan.
Pola hidup sombong
Karena memonopoli kekuasaan dan kekyaan, maka
tumbuhlah sifat dan sikap ujub, sombong, pamer diri. Tak pernah berpuas diri,
bilamana belum sempat memamerkan kekuasaan dan kekayaan. Si sosmbong merasa
seakan-akan semua orang berniat merugikannya. Timbul kebencian dan rasa
dendam terhadap masyaakat. Jiwanya tidak bisa tenteram sebelum ia dapat
membalas dendamnya. Orang-orang sombong (mutrafin) selalu menantang seruan
para nabi dan rasul, dan mencegah orang lain menerima seruan para nabi dan
rasul ("Menumpas Penyakit Hati", 1999:99). Pamer kekuasaan dan pamer
kekayaan sangat mengganggu keseimbangan sosial, mengundang kecemburuan
sosial.
Pola hidup pamer, sombong, angkuh, congkak
melahirkan perilaku hidup ghibah, sibuk dengan gossip dan issu, sibuk
bergunjing, sibuk menyalahkan orang, tak pernah mengoreksi diri, serta perilaku
keras kepala, kepala batu, tak masuk kebenaran, tak mau menerima nasehat,
merasa benar selalu.
Rasulullah saw mengingatkan bahwa ada enam
perilaku, pola hidup yang berbahaya, yang mengikis pahala. Pertama, sibuk
membicarakan cacat cela dan aib sesama. Kedua, kesat, kasar hati. Ketiga,
cinta dunia. Keempat, kurang rasa malu. Kelima, panjang angan-angan. Keenam,
senantiasa berlaku aniaya (HR Dailami dari ‘Adi bin Hatim).
Rasulullah saw juga mengingatkan dan
mengajarkan supaya biasa berdo’a memohon kepada Allah swt agar terhindar,
terlepas dari pola hidup, perilaku sial yang membahayakan diri pribadi,
maupun hidup bersama. Antara lain prilaku risau, gundah gulana. Perilaku suka
bersedih. Perilaku lemah, tak bergairah, tak bersemangat. Perilaku malas, suka
menganggur. Perilaku bakhil, kikir, pelit. Perilaku mudah cemas, kawatir,
takut. Takut terhindik, takut tersaingi. Takut celaa, takut cacian. Perilaku
suka berhutang. Perilaku gampang tergoda oleh kemewahan dunia (HR Bukhari
dari Anas). Perilaku risau, suka bersedih, tak bersemangat, malas bisa saja
lahir, datang, tumbuh akibat kegagalan dalam merancang investasi, akibat
angan-angan yang tak dapat terwujud. Perilaku takut tersaingi, juga perilaku
suka berhutang, bisa saja lahir, datang, tumbuh dari dorongan pamer diri,
akibat hawa pantang kerendahan, nafsu pantang kekurangan. Pokoknya semua
halal, tak ada yang haram, asal sesuai dengan hawa nafsu. Semuanya berpangkal
pada pola hidup, perilaku yang berorientasi pada privat profit duniawi
semata.
Pesan moral, pesan agama, bahwa pola hidup
tamak, rakus, seakah, pola hidup pelit, kikir, kedekut, pola hidup sombong,
congkak, angkuh, pamer, dan yang semacam itu mengundang kekacauan, kerusuhan,
memicu konflik, bentrokan, sudah masanya disampaikan, dikemas, diterjemahkan
dalam multi bahasa, dalam bahasa sosio-budaya, dalaqm bahasa sosio-ekonomi,
dalam bahasa sosio-politik, dalam bahasa sosiologi. Kami – kata Rasulullah –
diperintahakan supaya berbicara kepada manusia menurut kadar kecerdasan
mereka masing-masing (M.Natsir : "Fiqhud Dakwah", 1981:162).
Sudah sa’atnya dijelaskan secara lugas,
gamblang tentang bahaya rakus, tamak, serakah, bahaya kikir, pelit, kedekut,
bahaya angkuh, congkak, sombong, pamer dan baahaya perilaku tercela lai, baik
terhadap diri dan masyarakat secara sosiologis dan ekonomis.
Sudah sa’atnya dakwah memusatkan diri
menyampaikan tuntnan-panduan Islam daalam upaya mencegah timbulnya konflik
sosial, baik konflik vertikal (antara atasan dan bawahan, antara majikan dan
pelayan, antara penguasa dan rakyat), maupun konflik horizontal (sesama
rakyat, sesama penguasa, antara eksekutif dan legislatif). Menyampaikan
ajaran "salam" yang dapat membuahkan kasih sayang secara konkrit.
|
|
Labels: catatan serbaneka
0 Comments:
Post a Comment
<< Home