Isolasi Mental Melawan Korupsi
Isolasi mental
(Ijtanibut-thaghut)
Generasi Qur:ani yang
unik yang mempunyai cirri-khas. Ia sama sekali terpisah dari kehidupan
jahiliah, yaitu kehidupan yang konsepsnya, kepercayaannya, adapt dan tradisiya,
sumber lmunya, seni da sastranya, hokum dan peraturannya, falsafah dan
pemikirannya tidak mengacu pada wahyu Allah dan sunnah RasulNya. Ia berusaha
untuk bertindak sesuai dengan petunjuk-petunjuk Qur:an. Terdapat pemisahan
mental dengan lingkungan jahiliyah. Terdapat isolasi mental dengan masyarakat
jahiliyah. Ia terpisah dari lingkungan jahiliyah, walaupun ia masih tetap
melakukan transaksi, pertukaran, perdagangan dan pergaulan sehari-hari dengan
yang bukan Muslim. Terdapat proses pencabutan diri dari lingkungan, adapt
kebiasaan, konsepsi, tradisi, pergaulan jahiliyah, dari kepercayaan sysirik,
dari penghambaan diri kepada thaghut, ke penanaman diri kepada akidah tauhid,
kepada konsepsi Islam tentang kehidupan. Ia tidak terpengaruh oleh tekanan
konsepsi jahiliyah, juga tdak oleh tradisi masarakat jahiliyah. (Disimak dari
Sayyid Qytb : “Petnjuk Jalan”, hal 16-19).
Meskipun berada dalam satu
perahu, sat kapal, satu sistim yang bukan Islami, seorang Muslim seyogianya
tidak larut, meleburkan diri, apalagi ikut/turut terlibat mendukung, menunjang,
menyanjung, membela, menyemaikan, menyebarkan, membudayakan, memasyarakatkan
sistim yang bukan Islami.
Apa sih sistim yang
Islami itu ? Mudahnya adalah pola aturan hidup bermasyarakat (baik konsepsi dan
kepercayannya, adapt dan tradisinya, susmber ilmunya, seni dan sastranya, hokum
dan lain sebagainya) yang acuannya adalah wahyu Allah swt, Tuhan Yang Maha Esa,
dan yang penjabarannya adalah Sunnah Rasulullah saw.
Seorang Muslim
seyogianya membebaskan diri dari segala pengaruh dan kekuatan jahiliyah. Ia
menambil konsepsi tentang kehidupan, mengambil nilai dan budi pekerti,
mengambil metode pemerintahan, politik, ekonomi dan segala unsure pokok
kehidupan, dari wahyu Allah swt, dan yang penjabarannya dalam Sunnah Rasulullah
saw. Ia melepaskan diri dari tekanan masyarakat jahiliyah, konsepsi jahiliyah,
pimpinan jahiliyah. Ia berupaya merubah dirinya, dan kemudian berupaya merubah
masyarakatnya agar sesuai dengan meted slam, dengan knsepsi Islam yang menyuruh
agar hidup dalam kehidupan yang sesuai dengan kehendak metode Ilahi. (Disimak
dari Sayyid qutb : Petunjuk JalaN”, hal 16-19).
AlQur:an diturunkan
untuk mengadakan mufashalah (pemisahan penuh, isolasi total) dengan setiap yang
tidak ikut di bawah Islam. Garis pemisah ini tidaklah melarang pergaulan
sehari-hari dengan yang bukan Muslim, seperti dalam tegur sapa, jual-beli yang
halal, pegang gadai, membantu yang lemah, memberi dan menerima hadiah dan lain
sebagainya.
Mufashalah (isolasi)
melarang alwala: (mendekati, bersimpati, menyerahkan pimpinan, memuji,
menyayangi) terhadap yang menghalangi, merintangi, menghambat tegaknya aturan
Allah secara nyata sebagai hokum positif, dan tegaknya loyalitas kepada Allah
swt, Tuhan Yang Maha Esa, kepada Rasulullah saw, dan kepada pengikut-pengikut
Rasulullah saw. (Disimak dari HM Malik Ahmad : “Strategi Dakwag Islamiyah”,
jilid 9, hal 80-81).
Seorang Muslim
seyogianya menjauhkan diri dari yang bukan Islami, meskipun akan menghadapi
risiko yang berat. (Disimak dari HR Bukhari, Muslim dari Hudzaifah bin alYaman,
dalam “AlLukluk wa Marjan” (tarjamah), jilid 2, hal 718, hadis 1211).
“Selalu ada dari
umatku golongan yang menegakkan ajaran Allah tidak hirau terhadap siapa pun
yang menghina dan menentang mereka, sehingga dating ketetapan Allah (kiamat),
sedang mereka tetap sedemikian”. (Tarjamah HR Bukhari, Muslim dari Mu’awiyah,
dalam “AlLukluk wal Marjan” (tarjamah), jilid 2, hal 738, hadis 1250).
Kepada kaumnya (‘Aad),
Nabi Hud mengumumkan “Sesungguhnya aku mempersaksikan kepada Allah dan jadi
saksislah kamu, bahwa aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan”. (dari
tarjamah QS Huud 11:54).
Kepada kaumnya, Nabi
Ibrahim mengumumkan “Sesungguhnya aku berlepas dri dari apa-apa yang kamu
persekutukan” (dari tarjamah QS An’am 6:78).
Rasulullah Muhammad
saw dan pengikutnya diperintahkan Allah agar mengumumkan “Sesungguhnya Dia
(Allah), hanya Tuhan Yang Esa dan sesusngguhnya aku berlepas diri dari apa ang
kamu persekutukan”. (dari tarjamah QS An’am 6:19).
“Sesungguhnya wali
kamu ialah Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat
dan memberikan zakat, sedang mereka itu tnduk (kepada) Allah”. (dari tarjamah QS
Maidah 5:55).
“Sesungguhnya telah
Kami (Allah) utus seorang Rasul kepada tiap-tiap ummat : Hendaklah kamu sembah
Allah dan jauhilah thaghut”. (dari taramah QS nahal 16:360.
Thaghut itu ialah
seala sesuatu yang disembah selain Allah, segala sesuatu yang membawa duraka
(thaghaa, thughyan) kepada Allah.
Termasuk ke dalam
kategori thaghut antara lain : Saithan dan bala tentaranya yang terdiri dari
jin dan manusia, yang menghukum dengan curang (tidak berlaku adil dalam
mengambil keputusan hokum), yang menghukum bkan dengan ukum Allah, tenung,
ramal, ide penantangan terhadap hokum Allah, dan lain-lain). (Demikian disimak
dari H.Zainoeddin Hamidy : “Ilmoe Tauhid”, hal 12-16).
Dengan segenap
kemampan yang dimiliki, dengan seala kekuatan yang ada, diri, nafsu, jiwa,
mental, keyakinan, pendirian dibersihkan, dibebaskan, dimerdekakan dari
pengaruh, tekanan, ikatan, belenggu syirik, thaghut, memperhambakan diri kepada
yang selain Allah swt, Tuhan Yang Maha Esa.
Satu demi satu ikatan,
belenggu syirik, thaghut dilepaskan, diputuskan, sehingga keyakinan, pendirian
benar-benar bersih secara paripurna dari noda sysirik, thaghut (tirani).
Situasi, kondisi yang
diciptakan, yang diberakukan, yang tidak Islami, seperti uang semir,
suap-menyuap, sogok-menyogok, uang rokok, uang lelah, uang pelican, biaya
administrasi, yuang dengar, komisi haruslah setahap demi setaap dihindari,
dijauhi, disingkirkan, mulai dari diri sendiri, kemudian dari diri masyarakat,
sehingga penyalahgunaan jabatan, kedudukan, kekuasaan (komersialisasi jaatan),
untuk memperkaya diri sendiri dengan cara kolusi, komisi, manipulasi, korupsi
dapat dicegah, setidaknya dapat diredusir seminimal mungkin,
Rasulullah Mhammad saw
dan pengikutnya disuruh Allah mengumumkan “Aku tida akan menyembah apa yang
kamu sembah. Dan kamu tiada akan menyembah apa yang aku sembah. Aku tak pernah
menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah pula menyembah apa ang
aku sembah. Bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku”. (dari tarjamah QS Kaafiruun
109:2-6).
Dalam pergaulan
sehari-hari, seorang Muslim bisa saja bercampur baur dengan yang bkan Muslim,
tetapi dalam sikap mental, keyakinan, pendirian, pemikiran teas-tegas
menyatakan corak “Saksikanlah oleh kamu sekalian, bahwa aku adalah seorang
Muslim, seorang yang rela menyerahkan harta kekayaannya, jiwaraanya, diri
pribadinya, hidup matinya, diatur oleh aturan Allah swt, Tuhan Yang Maha Esa”.
Sekali ia menyatakan ke-Islam-an nya, selanjutnya ia senantiasa tetap istiqqmah
(konsisten, konsekwen) berada pada jalur Islam..
Termasuk dalam kategori
isolasi mental adalah pengingkaran terhadap kemungkaran dengan hati, dengan
cara berdiam diri, dengan tidak menunjukkan persetujuan. Pelaku kemungkaran itu
ialah pemegang kekuasaan, yang mempunyai kekuasaan dan kekuatan untuk bertindak
dan memerintah. Untuk mengesahkan, membenarkan, melegalisasikan dibuatlah
peraturan, undang-undang yang dapat digunakan sebagai alat untuk menunjukkan
kekuatan (unjuk gigi, show power) aparat pemegang kekuasaan. Para cendekiawan
hanya mampu mengingkari kebijakan penguasa dalam hati dengan berdam diri,
kendati itu tingkat/martabat yang aling bawah.
Tak ada yang berani
mengingkari kebijaksanaan yang zhalim dari penguasa, seperti yang pernah
dilakukan oleh Imam Nawawi terhadap intimidasi raja Zhahir Baibars dalam
menetapkan anggaran belanja pertahanan Negara (militer). Salah satu di antara
sopan santun terhadap ulama adalah dengan cara berbaik sangka terhadap sikap,
tindakan, kebijakan yang diambil, yang ditempuh oleh para ulama yang saleh.
(Demikian disimak dari : Umar Hasyim : “Mencari Ulama Pewaris Para Nabi”, hal
92-97; Shan’ani : “Penghancuran Kepercayaan Bathil”, hal 55-57).
Lanjutan dari isolasi
mental (hijrah rohaniyah) adalah jihad fi sabilillah. Jihad berarti berjuang
melawan musuh Islam, berjuang melawan, menentang yang menghalangi, merintangi
jalannya Islam. Pengertian jihad seperti ini dapat disimak antara lain dari
tajamah sabada Rasulullah saw berikut :
“Seutama-utama jihad
perjangan yaitu kalimat hak yang diucapkan pada raja yang kejam/zhalim”. (dari
HR Abu Daud, Tirmidzi dari Abu Sa’id alKhudry, dalam “Riadhus Shalihin”
(tarjamah, jilid I, hal 203, hadis 11).
“Siapa yang berperang
semata-mata untuk menegaakkan kalimatullah (agama lla), maka itulah fi
sabilillah” (dari tarjamah HR Bukhari, Muslim dari Abu Musa (Abdullah bin Qais
alAs’ary dalam “Riadhus Shalihin” (tarjamah, jidid I, hal 17, hadis 9; dan
dalam “AlLukluk wal Marjan” (tarjamah), jilid 2, hal 734, hadis 1244).
Dan tarjamah firman
Allah swt : “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjuang di jalan
Allah, dengan harta dan dirinya, lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Mereka
itulah orang-orang yang menang”. (tarjamah QS Taubah 9:20).
Sedangkan pengertian
hijrah seagai isolasi mental (rohani) dapat disimak dari keterangan Rasulullah
saw berikut : “Hijrah yaaang lebih utama adalah meninggalkan segala kejahatan”
(dari tarjamah HR Ibnul Husain alAjri dari Abidar dalam “Wasiat Nabi kepada Abu
Dzar ra”, hal 75, hadis 162, dan dalam “Tafsir Ibnu Katsir”, jilid I, hal 586,
mengenai QS Nisaa 4:164).
Selama situasi dan
kondisi belum memungkinkan, sehingga tak sanggup mengucapkan kalimat adil/hak
pada sultan jair, pengausa kejam/zhalim, rejim tirani/thaghut, maka seorang
Muslim tetap berada dalam budaya diam (budaya koor, bisu seribu basa), tapi
kalau situasi dan kondisi sudah memungkinkan, maka seorang Muslim akan berada
dalam budaya bicara.
Budaya diam (istilah
dari Rusydi dalam PANJI MASYARAKAT, No.537, hal 78) atau Budaya Koor (istilah
dari Emma alBanna dalam PANJI MASYARAKAT, No.522, hal 10) adalah disebabkan
oleh karena terkenan serangan sindrom ikan fait (sejenis ikan gabus).
Sebenrnya yang
bersemangat tauhid tak perlu merasa takut menyampaikan kebenaran secara terbuka
kepada penguasa. Takut hanya kepada Allah, takut akan murka Allah. Demikian
disimak dari Dr Ir Imaduddin Abdulrahim dalam PANJI MASYARAKAT, No.601, 1-10
Februari 1989, hal 28, rubric “siapa dan Mengapa”.
(BKS1001091100)
Labels: catatan serbaneka
0 Comments:
Post a Comment
<< Home