Dekrit 5 Juli 1959 perlu dikoreksi
Dekrit 5 Juli 1959 dan seluruh kebijakan sesudahnya peru dikoreksi
Selama orde lama (Demokrasi Terpimpin) dan orde baru (Demokrasi pancasila) bhkan sampai kini (Orde Reformas ?), Indonesia berada dalam sistim presidensial. Dalam sistim presidensial dengan UUD-45nya, yang berkuasa, yang berdaulat adalah presiden. Sstim presidensial dengan UUD-45nya sangat disenangi, diskai oleh presiden dan militer. Sistim presidensial dengan UUD-45nya (meskipun sudah diamandemen), masih saja bersifat “Concentraton of power” (akumulasi kekuasaan). Ini sangat memngkinkan terbukanya peluang (manipulasi) bagi terjadinya kediktatoran-konstitusional dari satu dinasti ke dinasti berikutnya), kesewenangan-wenangan dan ketidak-adilan-legal. Semuanya bisa saja dikemas seolah-olah konsisten dengan Trias Politica. Akibatnya malapetaka politik, ekonomi, dan lain-lain. Dalam praktek tatanegara, setiap UUD-45 diberlakukan, yang muncul adalah pemerintahan dictator (Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila).
Ini disebabkan karena dalam UUD-45 hanya tiga pasal yang menjamin hak-kemerdekaan warganegara (pasal 27-29), dan tak ada pasal yang mengatur hal-hal yang terlarang dilakkan oleh penguasa, juga taka ada pasal yang mengatur wewenang dan tatacara mengadili penguasa yang bersalah, seperti melakukan praktek KaKaEn (antar militer, birokrat, teknokrat, konglomerat) yang dilegalisir dengan manipulasi konstitusi, atau menetapkan kebjakan, atau pemberian fasilitas yang menguntungkan diri sendiri, atau keluarga, atau kolega.
Sebaliknya, dalam sisstim parlementer dengan UUDS-50nya, yangberkasa, yang berdalat adalah paarlemen, DPR, rakyat. Dalam UUDS-50, hak-hak dan kebebasan dasaar manusia tercntum secara rinci (pasal 27-35), dan trdapat pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang terlarang dilakkan oleh penguasa (pasal 11-12), jugasendiri, atau keluarga, atau kolega.
Sebaliknya, dalam sisstim parlementer dengan UUDS-50nya, yangberkasa, yang berdalat adalah paarlemen, DPR, rakyat. Dalam UUDS-50, hak-hak dan kebebasan dasaar manusia tercntum secara rinci (pasal 27-35), dan trdapat pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang terlarang dilakkan oleh penguasa (pasal 11-12), juga terdapat pasal yang mengatur wewenang dan tatacara mengadili penguasa, pejabat, petinggi yang melakukan tindak kejahatan (pidana, criminal) dan pelanggaran (pasal 106). Di samping itu kedudukan DPR mandiri dar Konstituante (sama-sama dpilih melalui pemilu), dan bukan hanya sebagai komplmen atau suplemen dari Konstutuante (MPR dalam UUD-45).
Sebenarnya akar segala petka bermula dari kesepakatan,consensus nasional, penerimaan akan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Sejak itu segala sesuatunya dimanipulasi, direkayasa sesuai dengan kepentingan sesaat segelintir yang punya kuasa, punya kekuatan (fisik, modal, KaKaEn). Semuanya secara formal sah-konstitusional, tapi pada hakikatnya anyalah semi-konstitusional, atau konstitusonal semu, bahkan konstitusional palsu. Karena kecanggihan rekayasanya,maka tak dapat ditelusuri kepalsan konstitusionalnya. Ukuran konstitusional atau tidaknya hanyalah selera, visi, persepsi yang punya kuasa, punya kekuatan. Kalau memang mau be-reformasi secara utuh, bukan setengah –setengah, maka Dekrit 5 juli 1959 dan seluruh kebiakan sesudahnya (sapai ketetapan MR 1998) perlu dikoreksi secara menyeluruh. Ukuran, patokan ang digunakan untuk pengkoreksian tersebut adala aspirasi rakyat yang berkembang dan menentukan skala intensitasnya. Tak perlu ada upaya untuk melestarikan atau melanggengkan apa pun. Yang tetap, lestari, langgeng hanyalah perubaan.
Agar rakyat yang berdaulat, maka sistim presidensial harus diganti dengan sistim parlementer. Untuk itu harus mennakan amaat ayat 2 Aturan Taambahan UUD-45 secara konsekwen, yaitu agar “dalam enam bulan sesudah MPR dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan UUD”. Sekaligus juga merupakan amanat Pasal 3 UUD-45 agar “MPR menetapkan UUD da GBHN” an bukan menghasilkan setumpuk Tap-Tap. UUD yang ditetapkan haruslah yang memberikan kedaulatan, kekuasaan besar pada rakyat, DPR, parlemen, bukan yang memberikan kedaulatan, kekuasaan besar pada presiden (hak prerogatif). Lembaga perwakilan rakyat cukuplah DPR saja dan tanpa DPD, dan yang anggotaanya benar anggotanya seluruhnya benar-benar dipilih melalui melalui pemil yang bersih (tanpa adanya politik uang), dan yang memegang kekuasaan tertinggi mewakili rakat.
(written by sicumpaz@gmail.com in sicumpas.wordpress.com as Asrr at BKS98110116)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home