Amal Sosial dan Amal Saleh
catatan serbaneka
asrir pasir
Amal
Sosial dan Amal Saleh (Kesalehan ritual dan kesalehan sosial)
Dalam berbagai nash alQur:an dan asSunnah,
keimanan selalu dibarengi amal saleh. Ini menunjukkan bahwa keimanan yang
berpangkal pada kalimat syahadat, harus diikuti dengan amal saleh sebagai
konsekwensi yang dituntut oleh kalimat syahadat itu (Tabloid REPUBLIKA, “Dialog
Jum’at”, 28 November 2008, hal 16, “Sedekah Roadmap”).
Dari surah al’Ashr dipahami bahwa
kesempurnaan manusia itu hanya bisa tercapai dengan iman (untuk menempurnakan
kekuatan ilmiahnya), dengan amal saleh untuk menyempurnakan kekuatan
amaliahnya), dengan nasehat kepada kebenaran dan nasehat kepada kesabaran
menghadapinya (“Madarijus Salikin” Ibnu Qayyim, terbitan Pustaka AKautsar,
Jakarta, 2008:29).
Manusia, khususnya
umat Islam dituntut untuk melakukan amal sosial dan amal saleh. Amal sosial
merupakan perwujudan, pengejawantahan dari hablum minannaas (a rope from men)
dan amal saleh merupakan perwujudan daari hablum minallah (a rope for Allah).
Dalam QS 3:134-135
umat Islam dituntut untuk melakukan amal sosial berupa memberikan
santunan/infaq baik dalam lapang maupun sempit, menjaga hubungan baik antar
sesama, dengan cara tak gampang marah, suka mema’affkan sesama, yang merupakan
perwujudan, pengejawantahan kepedulian/kesalehan sosiaal. Dan segera bertobat
memohon ampun atas semua dosa, yang merupakan perwujudan kesalehan ritual.
Dari ayat 177 surah
alBaqarah setidaknya ada 17 ciri orang yang bertakwa. Lima yang pertama adalah
aspek keyakinan atau akidah (Beriman kepada Allah, Hari Kiamat,
Malaikat-Malaikat, Kitab-Kitab, Nabi-Nabi), Empat lainnya amalan fardhiyah
(Shalat, sabar dalam penderitaan, sabar dalam peperangan). Delapan berikutnya
berupa amalan sosial (berinfaq kepada kerabat, anak-anak yatm, orang-orang
miskin, musafir, peminta-minta, hamba sahaya, menunaikan zakat dan menepati
janji). (Simak juga QS 4:36). Dengan demkian, maka amal sosial merupakan
perwujudan nyata dari keimanan. Atau dengan kata lain, amal sosial itu juga
merupakan wujud nyata taqarrub ila Llah.
Dalam setiap momentum
umat Islam selalu bermuatan ibadah ritual dan sosial. Misalnya, puasa Ramadhan
disempurnakan dengan sedekah. Idul Fitri digenapkan sebelumna dengan zakat
fitrah. Ibadah haji dilengkapi dengan kurban (“Dialog Jum’at” REPUBLIKA, 28
November 2008, hal 16).
Secara
sosiologis-antropologis, taqarrub ila Llah dengan menyantuni fuqara-miskin
(Kultum menjelang buka puasa lewat RCTI, Senin 1 Oktober 2007, 1800 oleh
Quraisy Syihab).
Disebutkan dalam satu
hadits shahih (Riwayat Muslim dari Abi Hurairah) bahwa Allah berfirman pada
hari Kiamat : “Wahai hambaKu, Aku meminta makan kepadamu, namun kamu tidak
memberiKu makan … Bila kamu memberi makan (orang yang minta makan kepadamu),
niscaya kamu mendapatkan yang demikian itu (rahmat keridhaan) di sisiKu (
“Madarijus Salikin” Ibnu Qayyim, 2008:541-542; “Mutiara Hadits Qudsi”, oleh A
Mudjab Mahalli, 1980:60, pasal “Kasih Sayang dan Dermawan”; Kultum menjelang
buka puasa lewat RCTI, Senin 1 Oktober 2007, 1800 oleh Quraisy Syihab).).
Menyantuni sesama itu
mengundang kasih sayang ridha Allah. Menyantuni sesama itu memang berat, sukar.
Berkorban untuk kepentingan sesama adalah berat, sukar (Simak antara lain QS
90:11-16). Yang memberi makan yang lapar, yang memberi minum yang dahaga, yang
menengok yang sakit, dikategorikan sebagai yang mendapat rahmat-ridha Allah.
Sedangkan yang tak peduli akan yang melarat, yang lapar diindikasikan sebagai
yang tak peduli akan Islam (Simak antara lain QS 107:1-3, 28:76-77).Yang tak
mau menyantuni sesama dikategorikan seagai pendusta agama (Simak QS 107:1-3),
tak percaya akan hari berbangkit (Simak QS 69:33-34, 74:43-46, 89:17-20).
Wujud bentuk taqarrub
ila Llah dengan menyantuni sesama terangkum dalam ayat QS 4:36 “Sembahlah Allah
dan janganlah kamu mempersekutukannya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat
baiklah kepada kedua ibu bap, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil
dan hamba sahaya”. Semuanya tercakup, tercover pada “taqarrub ila Llah”.
Yang membri makan yang
lapar, yang member minum yang dahaga, yang menengok yang sakit, dikategorikan
sebagai yang mendapat rahmad-ridha Allah. Sedangkan yang tak peduli akan yang
melarat, yang lapar diindikasikan sebagai yang tak peduli akan Islam (Simak
antara lain QS 107:1-3, 28:76-77).
Optimisme eskatologis
(harapan zaman akhir) harus diwujudkan dan dikembangkan menjadi optimisme yang
kontekstual (harapan yang membumi). Kesalehan ritual harus disertai dengan
kesalehan sosial. Soldaritas sosial harus diprioritaskan dari demokratisasi
politik. Demokratisasi politik harus berbuah pada penghargaan kehidupan
tercukupinya kebutuhan dasar manusia. Bila masih ada manusia miskin, menderita
kelaparan, merasa tidak aman, itu mengindikasikan bahwa belum berkembang hidup
yang demokratis (Simak KOMPAS, Sabtu, 12 Juli 2008, hal 6, Tajuk Rencana :
“Solidaritas Sosial dalam Krisis”).
Islam mengajarkan agar
mengarifi, memperhatikan kehidupan sesama, agar memanfa’atkan harta kekayaan
untuk kepentingan bersama supaya memperoleh kebahagiaan akhirat. simaklah
seruan kaum Qarun (Raja Konglomerat) kepada Qarun yang diabadikan dalam QS
28:77. “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu,
kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
kenikmatan dunia dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah
berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Bentuk solidaritas
sosial yang lain adalah tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Termasuk ke dalam
berbuat kerusakan adalah menimbulkan perubahan iklim, pemanasan global.
Kerusakan tersebut berdampak pada kekeringan, bencana alam, bencana sosial.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia” QS 30:31.
Simak dan pahamilah
sabda Rasulullah berikut secara sosiologis – antropologis : ” Jagalah dirimu
dari api neraka, walau dengan sedekah separuh dari biji kurma ” (HR. Bukhari,
Muslim dari Ady bin Hatim, dalam “Riadhus Shalihin” Imam Nawawi, pasal “Pemurah
dan Dermawan dalam Kebaikan”).
Islam sangat paham,
sangat peduli akan kesejahteraan sosial. Kepedulian Sosial Islam melebihi
kepeduliannya akan pelaksanaan, pengamalan ibadah ritual. Ksalehan ritual
haruslah dimulai dengan kesalehan sosial. “Tidak beriman seseorang yang makan
kenyang sementara tetangganya kelaparan” (HR Thabrani dan Abu Ya’la dengan
sanadnya tsiqah, dalam Dr Muhammad Ali al-Hasyimi : “Menjadi Muslim Ideal”,
Mitra Pustaka, Yogyakarta, 1999:176). “Tidak dinamakan beriman kepadau orang
yang habiskan harinya dengan kenyang, sedang tetangganya di dalam kelaparan,
padahal ia tahu” (HR Al-Bazzar dari Anas, dalam Sayyid Ahmad Hasyimi Beik :
“Mukhtar al-Hadits anNabawiyah”, hal 147, hadits no.1016).
Disebutkan bahwa
sebaik-baik manusia aalah yang banyak manfa’atnya, gunanya bagi manusia
lainnya. Tak disebutkan bahw sebaik-baik manusia adalah yang banyak ibadahnya,
pahalanya (Simak antara lain Khalid Muhammad Khalid : “Kemanusiaan Muhammad”,
Progressif, Surabaya, 1984:268-269).
(written by sicumpaz@gmail.com at BKS0812131745)
Labels: catatan serbaneka
0 Comments:
Post a Comment
<< Home