Antara Orientasi pengabidan dan orientasi kekuasaan
Antara
orientasi pengabdian dan orientasi kekuasaan
Antara orientasi
pengabdian dan orientasi kekuasaan
Ada yang berorientasi
pengabdian dan ada pula yang berorientasi kekuasaan. Bagi yang berorientasi
pengabdian, di mana pun bisa berperan mengabdikan, memanfa’atkan yang dimiliki
untuk kepentingan bersama. Petani, pedagang, pengusaha, pendidik, dokter,
arsitek, tekisi, buruh, karyawan, pegawai, militer, nelayan, dan lainnya bisa
mengabdikan, memanfa’atkan yang dimilikinya untuk kepentingan bangsa, negara.
Salah satu contoh yang
berorientasi pengabdian adalah Muhammad Yunus dari Bangladesh, peraih Nobel
Perdamaian. Harmoko menyebut Muhammad Yunus sebagai pejuang dan pekerja gigih
dalam mengentaskan kemiskinan di Bangladesh. Melalui Grameen Bank Prakalpa (semacam
proyek Bank Pedesaan) Muhammad Yunus memberikan kredit kepada penduduk miskin.
Hasilnya dapat dirasakan oleh penduduk Bangladesh. Muhammad Yunus memerangi
kemiskinan melalui kredit bank yang dipimpinnya. Muhammad Yunus bukanlah
aktivis dari Lembaga Swadaya Masyarakat, bukan pula seorang politisi, namun
tetap menyatu dengan penderitaan rakyat. Muhammad Yunus bisa dijadikan teladan
bagi pengentasan kemiskinan (POSKOTA, Senin, 30 Oktober 2006, hal 10, Kopi Pagi
: “M Yunus dan Si Miskin” oleh Harmoko. Simak juga SUARA ‘AISYIYAH, No.1, Th
ke-84, Januari 2007, hal 31, “Kesrempet”. “Dokter ekonomi yang malas blamana
tak mampu mengangkat derajat hidup warga melarat”).
Barrack Obama
membuktikan politik pengabdian. Ia cari lowongan untuk penganggur, mendirikan
pusat pendidikan remaja, memaksa gubernur membongkar asbestos karena bahan
bangunan itu sumber kanker, memperluas anti kenakalan remaja, membuat sistem
manajemen pembuangan sampah, serta memperbaiki jalan rusak dan selokan yang
tersumbat (KOMPAS, Sabtu, 5 Januari 2008, hal 13, “Sebuah Tuntutan Perubahan”,
oleh Budiarto Shambazy).
Romomangun menata
perkampungan kumuh sepanjang Kalicode Yogyakarta dan penghuninya menjadi
lokasi yang asri berwawasan arsitektur dengan penghuninya yang terangkat
harkat-martabatnya.
Bagi yang berorientasi kekuasaan, maka “pengabdian” hanyalah
kemasan untuk memoles kehausannya akan kekuasaan. Yang berorientasi kekuasaan,
hanya berupaya memenuhi kerakusannya akan kekuasaan. Ia tak pernah menyatu
dengan penderitaan raykat, tak pernah merasakan penderitaan rakyat.
Bagaimanapun banyak perusahaannya, bagaimanapun berlimpah kekayaannya, ia tak
pernah memikirkan untuk memanfa’atkan kekayaannya itu untuk mengurangi
pengangguran, untuk mengurangi kemiskinan, penderitaan rakyat, untuk menanggulangi
bencana. Dalam benaknya hanyalah untuk memanfa’atkan kekayaanya untuk
mendapatkan kekuasaan. Dengan kekuasaan, ia dapat menguasai, mengendalikan
semuanya. Segala jalan bisa ditempuh untuk mendapatkan kekuasaan.
Pemimpin yang berorientasi kekuasaan, kebijakannya tak pernah
berpihak kepada rakyat. Seluruh kebijakannya hanya untuk kepetingan diri.
Acuannya adalah ajaran Machiavelli. sedangkan yang berorientasi pengabdian,
kebijakannya berpihak kepada rakyat. Di kalangan Islam, acuanya adalah Muhammad
Rasulullah saw, Umar bin Khaththab, Umar bin Abdul Aziz. Di kalangan Kristen,
acuannya adalah Yesus Kristus. Di kalangan Hindu, acuannya bisa Mahatma Ghandi.
Sedikit di kalangan penguasa adalah mereka yang dikenal dengan
despot yang arif. Sejarah mencatat adanya penguasa yang punya rasa pengabdian
yang disebut dengan despot yang arif, yang bijak, yang cerdas seperti yang
ditampilan oleh Peter yang Agung 1689-1725) dan Katharina II (162-1796)
dari Rusia, Friedrich II Agng (1740-1786), Joseph II (1765-1790) dari Prusiaa
(Jerman).
Secara umum, raja-raja Jawa sejak Mpu Sindok (sebelumnya Sanjaya)
tampil sebagai despot yang arif, yang bijak, yang cerdas (Anwar Sanusi :
“Sejarah Indonesia untuk Sekolah Menengah”, I, 1954:22,28).
Prof Dr A Syalabi dalam bukuna “ Negara dan Pemerintahan dalam
Islam” (hal 38) menls bahwa kewajban yang utama dari pemerintah Islam ialah
bekerja untuk kebahagiaan rakyat. Pemerintah Islam harus berusaha agar rakyat
senang. Pemerintah haruslah berjaga-jaga agar rakyat dapat tidur dengan aman dan
tenteram.
Islam membawa prinsip-prinsip yang lebih murni dari pada
yang dicita-citakan setiap orang. Prinsip-pirnsip itu dapat
disimpulkan dalam beberapa patah kata saja. Pertama, keadilan. Kedua, Kepala
Negara yang miskin.
Islam menyerukan persamaan di waktu sistem hidup berkasta-kasta
telah berurat berakar di seluruh penjuru alam. Islam menyerukan keadilan di
kala keadilan itu dipandang suatu kelemahan dan kehinaan.
Islam menyeru agar seorang Kepala Negara bekerja untuk kebahagiaan
rakyat, bukan untuk kebahagiaan dirinya sendiri. Islam menciptakan Kepala
Negara model baru yaitu Kepala Negara yang miskin. Kepala Negara yang harta
kekayaannya habis dibelanjakannya pada jalan Allah, untuk kepentingan umat.
Kepala Negara yang hidupnya sangat sederhana, sandang, pangan, papan yang
dipakainya sama dengan yang dipakai orang-orang miskin (“Sejarah Kebudayaan
Islam”, jilid I, hal 338-329).
(BKS0612040630)
Labels: catatan serbaneka
0 Comments:
Post a Comment
<< Home