Generasi cuek
Generasi cuek
Imamnya, makmumnya
cuek. Pemimpinnya, rakyatnya cuek. Semuanya pada cuek. Cuek terhadap masalah
halal haram. Sang Pemimpin sangat mahir mencari-cari dalil, hujah untuk
membenarkan, mensahkan pendapatnya. Benar-benar amat pintar. Pintar memelintir.
Memelintir yang sudah qath’i menjadi dzanni. Memelintir yang sudah baku
menjadi yang diperselisihkan, diperdebatkan. Amat lihai mempermainkan
dalil-dalil agama.
Untuk melegalisasi,
melegitimasi pendapat sendiri yang menyalahi pendapat umum (ijma’) digunakan
kaidah usul fikih, bahwa “siapa yang ijtihad, menafsirkan hukum benar, akan
mendapat dua pahala, tetapi yang ijtihadnya salah mendapat satu pahala”.
Kaidah usul fikih “menghindari kesulitan lebih utama, dari pada mendatangkan
kebaikan” (darul mafasid muqaddam ‘ala jalabil mashaalih) digunakan untuk
mengamankan, menyelematkan kehilangan, kerugian penanaman modal asing,
penutupan perusahaan asing. Terganggungnya investasi asing yang jumlahnya
milyaran, dipandang lebih mafasid dari pada timbulnya kebingungan dan
keresahan di masyarakat akibat ulah intervensinya dalam bidang yang bukan
wewenangnya, mengeluarkan statement blunder (kacau, ngawur).
“Yang paling
berwewenang dalam menentukan halal haramnya sebuah produk makanan dan minuman
adalah kaum ulama dan ahli syar’iyah”. “Dalam kapasitas selaku kepala anegara
tidak berwewenang mengeluarkan pernyataan fatwa tentang halal dan haram suatu
produk makanan”.
Ada yang pintar
bermain diplomasi menepis timbulnya kebingungan dan keresahan di kalangan
masyarakat akibatnya beragamnya pendapat tentang halal haramnya suatu produk
makanan dan minuman. “Khilafiyah biasa terjadi dalam beragama”. “Perbedaan
penafsiran tidak akan membuat bingung masyarakat. Masyarakat sudah bisa
menilai sendiri terhadap mana yang benar”.
Rakyatnya cuek. Masa
bodoh. Tak peduli tentang halal haram. “Dari pemantauan (pers) di kalangan
pedagang diperoleh kesimpulan, bahwa mereka tidak sempat memikirkan halal
atau haram sebuah barang, pembeli pun begitu. Baginya yang penting bisa makan”.
“umumnya pelanggan tidak ada yang menanyakan haram atau tidaknya apa yang
dijual”. “Dari pengamatan (pers), masyarakat (Penjual dan pembeli) nyaris tak
mempersoalkan haram atau halal apa yang dijual di warung-warung”. “Hanya
sebagian (sedikit) saja yang peduli terhadap masalah halal haram” (PADANG
EKSPRES, Kamis, 11 Januari 2001, hal 1, 6).
Tugas kewajiban para
ulama, da’i, penceramah lah untuk menyeru, menghimbau, menyeru, menuntun,
membimbing generasi cuek ini menjadi generasi peduli (terhadap halal dan
haram) melalui semua wahyana dan sarana dakwah, baik melalui taklim, khutbah,
buletin dakwah, media cetak, mapun media elektronik seperti radio dan
televisi.
Ulama, da’i,
penceramah yang akan ikhlas mengemban tugas risalah ini hanyalah yang mampu
menyatakan “Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan
itu, upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam (QS 26:109, 127, 145,
164, 180). Yang sanggup menegaskan “Sesungguhnya kami memberi makanan
kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan allah, kami tidak menghendaki
balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih” (QS 76:9).
|
|
|
Labels: catatan serbaneka
0 Comments:
Post a Comment
<< Home