Kembali kepada Quran dan Sunnah
Kamis, 24 Februari 2011
Kembali kepada Qur:an dan Sunnah
Segala masalah dikembalikan (dicarikan) pemecahannya, penyelesaiannya kepada Qur:an. Jika tidak ditemukan dalam Qur:an, cari dalam Sunnah nabi. Jika tidak ditemukan dalam Sunnah Nabi, carikan dalam Atsar sahabat. Jika tidak ditemukan dalam Atsar sahabat, carikan dalam fatwa lama salaf, ulama mutaqaddimin.
Penjelasannya carikan dalam Sunnah Nabi. Jika tidak ditemkan dalam Sunnah nabi, carikan dalam Atsar sahabat. Jika tidak ditemukan dalam Atsar sahabat, carikan dlam Ijtihad Tabi’in. Jika tidak ditemkan dalam Ijtihad Taabi’in, carikan dalam fatwa ulama salaf. Jika masih saja tidak diteukan, berijtihadlah dengan sungguh-sungguh dengan penuh tanggungjawab (Hamka : “Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia”, hal 12; “Tafsir AlAzhar”, juzuk XXVIII, hal 132-135; PANJI MASYARAKAT, No.187, 15 Nopember 1975, hal 5-6, Dari Hati Ke Hati :’Masalah Khilafiyah’).
Mengenai Sunnah Nabi disebutkan ada yang bersifat tasyri’ (Yang disyari’atkan) dan ada pula yang bersifat ghairu tasyri’ (Yang tak disyari’atkan). Sunnah yang tasyri’ bersifat permanen, tak dapat diuah, dimodifikasi. Sunnah yang ghairu tasyri’ bersifat kondisional, dapat disesuaikan, dimodifikasi, diakomodasi sesuai dengan suasan, situasi, kondisi. (Drs Muhammad Azhar : “Makna Kembali Kepada Qur:an dan Sunnah”, AMANAH, No.192, 15-28 Nopember 1993, hal 58-59).
Periksalah sesuatu (halal atau haram, bak atau buruk) dari Kitab, Sunnah, Ijmak Shahabat, Ijmak Tabi’in, zhani, rakyu, hatinurani/sanubari, akal sehat.
Seorang ahli Ilmu harus berusaha semaksmal mungkin, dengan dilandasi niat yang ikhlas karena Allah dan memohon pertolongan kepadaNya, dalam menelusuri nash maupun ber-istimbath (Moh Tolchah Mansour : “Warisan Sang Imam”, PESANTREN, No.2/Vol.II/1985, hal 75, Tijauan Buku arRsalah Imam Syafi’i).
Adalah keharusan moral bagi si pnuntut ilmu untuk mengerahkan segenap tenagaanya guna mengembangkan ilmunya, bersabar terhaap setiap tantangan yang dijumpainya, serta meluruskan niat hanya karena Allah dalam memahami ilmu dan petunjukNya, dan tak lupa memohon pertolongan kepada Allah (Ahmadie Thaha :”Tarjamah arRisalah Imam yafi’I”, hal 19).
Arti ijtihad yang sebenarnya ilah mencurahkan segala kemampuan untuk mencari kejelasan tentang suatu kebenaran. Dan apabila timbul suatu kesalahan yang tidak disengaja dalam usahanya maka ia tetap akan memperoleh pahala (Muhammad alBaqir : “Tarjamah alKhilafah wal Mulk Abul A’la almaududi, hal 184).
Amr bin Ash ketika disuruh Rasulllah memutuskan suatu perkara (prsalan) bertanya kepada Raslullah. Aaakah aku akan berijtihad, sedang tuan masih ada pula ? Rasulullah menjawab : ya. Alau engkau benar (dalam ijthad), maka bagimu dua ahala. An alau kamu salah, maka bagianmu satu pahala (“Taramah Lukluk wal marjan”, jilid II, hal 640, hadis 1118; HA Azis Masyhuri : “Tarjamah Khulasha Tarikh Tasyri’ Islam Prof Abdul Wahhab Khallaf, hal 12).
Muadz bn Jabal ketika diutus Rasulullah menjadi qadhi negara (Hakim) Yaman, ditanya oleh Raslullah : Bagaimana cara kamu menentkan suatu hukum, alau kamu dihadapkan kepada suatu persoalan (yang memerlukan keputusan) sedang kamu tidak mendapatkan ketentuan hukmnya dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah ? Mu’adz menjawab : Aku akan berijtihad denga akal fikiranku. Maka Nabi mengakui jawabannya itu (HA Aziz Masyhuri : “Tarjamah Khulashah Tarikh Tasyr’ Islam” Prof Abdul Wahhab Khallaf, hal 12; ALMUSLIMUN, No.190, Janaari 1986, hal 9, Gayng Bersambut?Nadwah Mudzakarah, hal 136 dengan catatan : Hadits Mu’adz tersebut majhul dan tidak dapat dipahami ?)
Maka wajib atasmu memegang teguh Sunnahku (cara-cara yang telah aku lakkan) dan perjalanan (sunnah) Khulafaurrasyidin yang dberi petunjk (oleh Tuhan). Dan berpeganglah kepada sunnah-sunnah itu dengan kuat dan jauhlah olehmu nsur-unsur yang diada-adakan (bid’ah) maka sesngguhnya segala bid’ah itu sesat HR Abu Daud, Tirmidzi dari Abi Najih al’Ibahah bin Sariyah; Aminah Dahlan : “Tarjamah Hadts alArba’in anNawawiyah”, hal 42, hadis 28; H Salim Bahreisy : “Tarjamah Riadhus Shalihin Imam Nawawi”, jilid I, hal 169, hadis 2). Untuk menghindari polemik tentang bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah, barangkali bisa dipahami bahwa “pada umumnya bid’ah itu mejurus kepada kesesatan”.
Sebaik-baik generasi adalah pada abdku, kemudian abad yang dibelakangku, kemudian yang berikutna. (HR Bukhari, Muslim dari Imran bin alHushaim; H Salim Bahreish : “Tarjamah Riadhus Shalihin Imam Nawai”, jilid I, hal 429, hadis 19; “Tarjamah Lukluk wal Marjan” Muhammad Fuad Abdul Baqi, jilid II, hal 979, hadis 1649).
(written by sicumpaz@gmail.con in sicumpas.wordpress.com as Asrir at BKS1102250900)
Segala masalah dikembalikan (dicarikan) pemecahannya, penyelesaiannya kepada Qur:an. Jika tidak ditemukan dalam Qur:an, cari dalam Sunnah nabi. Jika tidak ditemukan dalam Sunnah Nabi, carikan dalam Atsar sahabat. Jika tidak ditemukan dalam Atsar sahabat, carikan dalam fatwa lama salaf, ulama mutaqaddimin.
Penjelasannya carikan dalam Sunnah Nabi. Jika tidak ditemkan dalam Sunnah nabi, carikan dalam Atsar sahabat. Jika tidak ditemukan dalam Atsar sahabat, carikan dlam Ijtihad Tabi’in. Jika tidak ditemkan dalam Ijtihad Taabi’in, carikan dalam fatwa ulama salaf. Jika masih saja tidak diteukan, berijtihadlah dengan sungguh-sungguh dengan penuh tanggungjawab (Hamka : “Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia”, hal 12; “Tafsir AlAzhar”, juzuk XXVIII, hal 132-135; PANJI MASYARAKAT, No.187, 15 Nopember 1975, hal 5-6, Dari Hati Ke Hati :’Masalah Khilafiyah’).
Mengenai Sunnah Nabi disebutkan ada yang bersifat tasyri’ (Yang disyari’atkan) dan ada pula yang bersifat ghairu tasyri’ (Yang tak disyari’atkan). Sunnah yang tasyri’ bersifat permanen, tak dapat diuah, dimodifikasi. Sunnah yang ghairu tasyri’ bersifat kondisional, dapat disesuaikan, dimodifikasi, diakomodasi sesuai dengan suasan, situasi, kondisi. (Drs Muhammad Azhar : “Makna Kembali Kepada Qur:an dan Sunnah”, AMANAH, No.192, 15-28 Nopember 1993, hal 58-59).
Periksalah sesuatu (halal atau haram, bak atau buruk) dari Kitab, Sunnah, Ijmak Shahabat, Ijmak Tabi’in, zhani, rakyu, hatinurani/sanubari, akal sehat.
Seorang ahli Ilmu harus berusaha semaksmal mungkin, dengan dilandasi niat yang ikhlas karena Allah dan memohon pertolongan kepadaNya, dalam menelusuri nash maupun ber-istimbath (Moh Tolchah Mansour : “Warisan Sang Imam”, PESANTREN, No.2/Vol.II/1985, hal 75, Tijauan Buku arRsalah Imam Syafi’i).
Adalah keharusan moral bagi si pnuntut ilmu untuk mengerahkan segenap tenagaanya guna mengembangkan ilmunya, bersabar terhaap setiap tantangan yang dijumpainya, serta meluruskan niat hanya karena Allah dalam memahami ilmu dan petunjukNya, dan tak lupa memohon pertolongan kepada Allah (Ahmadie Thaha :”Tarjamah arRisalah Imam yafi’I”, hal 19).
Arti ijtihad yang sebenarnya ilah mencurahkan segala kemampuan untuk mencari kejelasan tentang suatu kebenaran. Dan apabila timbul suatu kesalahan yang tidak disengaja dalam usahanya maka ia tetap akan memperoleh pahala (Muhammad alBaqir : “Tarjamah alKhilafah wal Mulk Abul A’la almaududi, hal 184).
Amr bin Ash ketika disuruh Rasulllah memutuskan suatu perkara (prsalan) bertanya kepada Raslullah. Aaakah aku akan berijtihad, sedang tuan masih ada pula ? Rasulullah menjawab : ya. Alau engkau benar (dalam ijthad), maka bagimu dua ahala. An alau kamu salah, maka bagianmu satu pahala (“Taramah Lukluk wal marjan”, jilid II, hal 640, hadis 1118; HA Azis Masyhuri : “Tarjamah Khulasha Tarikh Tasyri’ Islam Prof Abdul Wahhab Khallaf, hal 12).
Muadz bn Jabal ketika diutus Rasulullah menjadi qadhi negara (Hakim) Yaman, ditanya oleh Raslullah : Bagaimana cara kamu menentkan suatu hukum, alau kamu dihadapkan kepada suatu persoalan (yang memerlukan keputusan) sedang kamu tidak mendapatkan ketentuan hukmnya dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah ? Mu’adz menjawab : Aku akan berijtihad denga akal fikiranku. Maka Nabi mengakui jawabannya itu (HA Aziz Masyhuri : “Tarjamah Khulashah Tarikh Tasyr’ Islam” Prof Abdul Wahhab Khallaf, hal 12; ALMUSLIMUN, No.190, Janaari 1986, hal 9, Gayng Bersambut?Nadwah Mudzakarah, hal 136 dengan catatan : Hadits Mu’adz tersebut majhul dan tidak dapat dipahami ?)
Maka wajib atasmu memegang teguh Sunnahku (cara-cara yang telah aku lakkan) dan perjalanan (sunnah) Khulafaurrasyidin yang dberi petunjk (oleh Tuhan). Dan berpeganglah kepada sunnah-sunnah itu dengan kuat dan jauhlah olehmu nsur-unsur yang diada-adakan (bid’ah) maka sesngguhnya segala bid’ah itu sesat HR Abu Daud, Tirmidzi dari Abi Najih al’Ibahah bin Sariyah; Aminah Dahlan : “Tarjamah Hadts alArba’in anNawawiyah”, hal 42, hadis 28; H Salim Bahreisy : “Tarjamah Riadhus Shalihin Imam Nawawi”, jilid I, hal 169, hadis 2). Untuk menghindari polemik tentang bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah, barangkali bisa dipahami bahwa “pada umumnya bid’ah itu mejurus kepada kesesatan”.
Sebaik-baik generasi adalah pada abdku, kemudian abad yang dibelakangku, kemudian yang berikutna. (HR Bukhari, Muslim dari Imran bin alHushaim; H Salim Bahreish : “Tarjamah Riadhus Shalihin Imam Nawai”, jilid I, hal 429, hadis 19; “Tarjamah Lukluk wal Marjan” Muhammad Fuad Abdul Baqi, jilid II, hal 979, hadis 1649).
(written by sicumpaz@gmail.con in sicumpas.wordpress.com as Asrir at BKS1102250900)
|
catatan
serbaneka asrir pasir
Takbir
Tujuh-Lima pada Shalat ‘Idain
Pimpinan Muhammadiyah Majlis Tarjih
Wilayah Jawa Barat telah mengeluarkan “Naskah Musyawarah Majlis Tarjih
Se-Wilayah jawa Barat Dari Tgl : 22 s/d 23/9-’73 25 s/d 25 Sya’an 1393
Bandung”.
Hal-hal
yang dimusyawarahkan :
1.
Takbir
tujuh-lima pada Shalat ‘Idain.
2.
Gugurnya/tidak
gugurnya wajib shalat Jum’at, jika salah satu atau kedua hari ‘Id jatuh pda hari
Jum’at.
3.
Wkatu
penyemberlihan Qurban (Udl-hiyah).
4.
Waktu
Shalatullail.
5.
Miqat
makani waktu ‘ibadah haji dan bab Haji lainnya.
Hal-hal
yang diputuskan :
1.
Takbir
tujuh-lima pada Shalat ‘Idain.
2.
Shlat
Jum’at pada hari ‘Idain
3.
waktu
penyembelihan qurban.
Hal
yang dikembalikan pada peserta :
1.
Waktu
dan cara shalatullail.
Hal-hal
yang ditangguhkan keputusannya :
1.
Miqat
makani.
Keputusan
tentang Takbir Tujuh-Lima Pada Shalat ‘Idain :
Bahwa takbir-takbir di dalam shalat
‘idain sama saja dengan yang dilakukan dalam shalat-shalat lainnya, beralasan
dengan hadtis muttafaq ‘alaih dari Ibnu ‘Abbas. (Simak Shahi Bukhari dan
Muslim)
Dalam
hadits itu tidak dijelaskan takbir tujuh dan lima dalam raka’at pertama dan
kedua, tetapi dicukupkan dengan penjelasan bagi shalat biasa dari hadits
riwayat Abi Hurairah (Simak Shahih Bukhari dan Muslim).
Adapun
hadits-hadits yang menerangkan, bahwa Rasulullah mengerjakan atau mengatakan
“tujuh kali bertakbir pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua”,
kesumuanya dianggap (oleh majlis) lemah.
Penjelasannya
:
Kelemahan
hadits-hadits yang menerangkan tujuh kali takbir dan lima kali pada raka’at
pertama dan kedua shalat ‘idain di dalam kitab-kitab Abu Dawud, Tirmidzy, Ibnu
Majah, juga dalam sunan Baihaqy, musnad Imam Ahmad, Mustadrak, Muwaththa,
Al-Um, Nailul Authar, Subulus Salam, dalam kesuamnya itu tidak ada satu pun
yang dapat dianggap (majlis) shahih.
Imam
Ahmad menyimpulkan bahwa tak ada hadits shahih tentang takbir pada shalat
‘idain (Simak Subulus Salam, jilid 2, hal 112, Bidayatul Mujtahid, jilid 1, hal
185, Syarah Sunan Baihaqi, jilid 3, hal 287).
Bahwa
diantara perawi-perawi haditsnya itu banyak orang-orang ang dianggap (majlis ?)
lemah, yaitu : Ibnu Lahi’ah , Baqiyah bin al-Walid (Simak Tahdzib at-Tahdzib
jilid 1 hal 478), Harmalah bin Yahya (Simak Tahdzib at-Tahdzib jidid 2 hal
230), “Abdurrahman bin Sa’ad Simak Ta’liqat Sunan Baihaqi jilid 3 hal 286),
‘Abdullah bin ‘Abdurrahman (Simak Mizan al-I’tidal jilid 2 hal 452 no 4412),
‘Abdillah bin ‘Abdurrahman bin Ya’la, Katsir bin ‘Abdillah bin ‘Amru bin ‘Auf .
Itu
adalah orang-orang perawi yang dikritik oleh ahli hadits dari hadits-hadits
takbir tersebut.
Hadit-hadits
yang menyatakan takbir tujuh dan lima dalam raka’at pertama dan kedua dalam
shalat ‘idain terdapat diantaranya dalam ;
- Sunan Abi Daud juz 1 hal 262
dengan jalur Ibnu Lahi’ah, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman, ‘Abdillah bin ‘Amru
bin al-‘Ash. Ibnu Lahi’ah dikritik dalam Tahdzib at-Tahdzib jilid 5 hal
378, Mizan al-I’tidal jilid 2 hal 475 no 4530. Hadits jalur ‘Abdullah bin
‘Abdurrahman‘Amru bin Syu’aib ada yang qauli dan ada yang fi’li.
- Sunan Tirmidziy juz 2 hal
381 no 534 dengan jalur Katsir bin ‘Abdillah. Katsir bin ‘Abdillah bin
‘Amru bin ‘Auf dikritik dalam Nail al-Authar jilid 3 hal 338, Tahdzib
at-Tahdzib jilid 8 hal 422.Hadits jalur Katsir bin Abdillah menurut Imam
Turmudzi adalah “ahsanu syaiin”.
- Al-Umm juz I hal 256.
- Al-Muwaththa hal 91.
- Sunan Baihaqiy juz 3, hal
285-286 dengan jalur ‘Abdurrahman bin Ya’la. ), ‘Abdillah bin ‘Abdurrahman
bin Ya’la dikritik dalam Tahdzib at-Tahdzib jilid 5 hal 299.Menurut
keterangan Imam Baihaqi, kata Imam Tirmidzi dari Imam Bukhari tentang
Katsir bin Abdillah adalah “Lisa fi hadzal babi syaiun min hadza wabihi
aqulu”. Lalu mengatakan – entah Bukhari entah Tirmidzi – bahwa hadits
‘Abdullah bin Abdirrahman dari ‘Amr bin Syu’aib yang shahih.
- Subulus Salam.
- Ibnu Majah juz 1 hal 407.
- Musnad Imam Ahmad juz 1 hal
141.
Itulah
hadit-hadits yang menjadi dalil tqakbir tujuh dan lima dalam shalat ‘idain.
(written
by sicumpaz@gmail.com at BKS1109040900)
(Bagaimanapun
pembicaraan/pembahasan tentang tujuh-lima takbir pada shalat ‘idain tetap saja
bersifat debatable, ijtihadiyah, khilafiyah.
Kini di semua
kalangan ada trend, kecenderungan menggiring uamt Islam agar berani mengkritisi
pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah, Ghazali, Syafi’i, para shabat, bahkan
pemikiran Nabi Muhammad saw. Sementara itu menelan mentah-mentah
pemikiran-pemikiran filosof semacam Imanuel Kant (Majalah TABLIGH, Vo.3/No.02/September
2004, hal 37, Intelektual Jahiliah Berbahaya”, oleh Adian Husaini MA).
Sudah dipandang
lumrah, wajar, alamiah menggugat Imam Mujtahid masa lalu, meragukan kredibilitas
Imam Mujtahid masa lalu, meragukan kebenaran/ketsiqahan Imam Hadit. Dalil argumentasinya
bahwa “Tak satu pun manusia yang luput dari kesalahan. Semuanya bisa digugat,
dikritisi”.
Kitab Fiqih masa
lalu dipandang adalah bikin-bikinan, karang-karangan ulama masa lalu. Jaman
kini mendorong agar membuang Kitab Fiqih masa lalu, karena sudah out of date.
Bisa-bisa nanti membawa kepada Inkar Sunnah, setidaknya memandang tak perlu
shalat ‘idain, karena banyaknya krusial.
Diharapkan
Majlis Tarjih Muhammadiyah Jawa Barat menyusun Kitab Fiqih Lengkap yang anya
cukup mengacu pada Quran dan Hadits.
-
Seleksi seluruh
hadits. Himpun seluruh hadits yang benar-benar shahih, yang tak ada
cacat-celanya, yang disepakati kesahihannya dalam “Kitab Hadits Shahih
Lengkap”.
-
Susun “Kitab
Fiqih Lengkap”, hanya dengan merujuk pada Quran dan Hadits yang terdapat dalam
“Kitab Hadits Shahih Lengkap”.
-
Tinggalkan
seluruh Kitab Fiqih yang lain, selain “Kitab Fiqih Lengkap’
Labels: catatan serbaneka
0 Comments:
Post a Comment
<< Home