Milis bincang-bincang Masyarakat Adil Makmur Situs Koleksi Informasi Serbaneka

Friday, September 16, 2011

Berbuat baiklah sebisanya


Berbuat baiklah sebisanya
Setuju atau tidak, mereka telah berbuat, telah menghasilkan sesuatu. Berbuat baiklah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. “Berbuatlah sepenuh kemampuanmu” (QS 6:135, 11:93, 39:39). “Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu” (QS 9:105). Jangan pedulikan kritikan, kecaman, bahkan cacian, makian sekalipun.
Berjuanglah sekuat tenaga mempertahankan iman dan islam yang dimiliki agar supaya jangan terlepas dari diri. Ada pihak-pihak yang senantiasa berupaya mengerogoti iman dan islam yang dimiliki itu. “Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman” (QS 2:109). “Mereka kaum musyrik) tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka dapat mengembalikan kamu dari agamu kepada kekafiran” (QS 2:217). “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka” (QS 2:129). “Khannas yang terdiri dari golongan jin dan manusia gemar membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia” (simak QS 114:4-6). “Ada masanya Orang yang berpegang pada sunnahku - kata Rasulullah - di kala terdapat perbedaan di antara umatku (umat Islam) bagaikan menggenggam bara api” (HR Hakim, Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud ra).
Mohon perlindunganlah kepada Allah dari bahaya isu yang disebarkan, ditiupkan, dihembuskan oleh khannas tersebut. Dan bertawakkallah kepada Allah, semoga Allah memperkokoh iman dan islam itu di dalam diri, dan semoga dapat hidup dalam suasana aman, tenteram, damai, sejahtera, adil, mamur. “Dia (Allah)lah yang telah menurunkan ketenteraman ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah” (QS 48:4). “--- lalu (Allah) menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat waktunya” (QS 48:18).
Berbuat baiklah secara ikhlash. Ikhlash berarti tidak syirik, tidak mempersekutukan Allah dengan yang lain. Ikhlas juga berarti tidak ria, tidak pamer terhadap manusia.
Berupayalah agar seantiasa mengingat Allah, mensyukuri pemberian Allah, mematuhi perintah Allah. Mohon pertolonganlah kepada Allah agar memilik kemampuan mengingat Allah, mensyukuri pemberian Allah, mematuhi perintah Allah. Mudah-mudahan Allah mengabulkan permohonan.
(BKS0806271300)
posted by Kami Menggugat at 8:55 PM

Labels:

Menggugat Kemerdekaaan


catatan serbaneka arir pasir

catatan kesatu

Menggugat kemerdekaan

            Pada masa penjajahan, masa kolonial, manusia terkungkung, terkurung oleh penindasan, penyiksaan, penderitaan, kerja paksa, iyurana paksa, budaya diam. Perjuangan, pergolakan, pemberontakan berupaya melepaskan, membebaskan diri dari semua kungkungan, belenggu tersebut.

            Pada masa kemerdekaan, seharusnya (das Sollen) semua manusia bebas dari penindasan, bebas dari penyiksaan, bebas dari penderitaan, bebas dari kerja paksa, bebas dari iyuran paksa, bebas dari budaya diam.

            Namun kenyataannya, realitasnya (das Sein) hanya segelintir manusia yang mengecap, mengenyam, menikmati kemerdekaan. Selebihnya tetap saja terkungkung, terkurung oleh penindasan, penyiksaan, penderitaan, kerja paksa, iyuran paksa, budaya diam.

            Atas nama keindahan kota, para pedagang kaki lima di seluruh pelosok nusantara digusur, diuer. Dagangannya diobrak-abrik. Mereka ditindas, disiksa, dipaksa menderita. Padahal prioritas tugas penguasa, pemerintah seperti diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar adalah melindungi segenap rakyat, memajukan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan rakyat, bukannya malah menyengsarakan, memelaratkan rakyat. Yang melarat, yang terlantar menurut UUD menjadi tanggunan, jaminan Negara untuk memeliharanya, menghidupinya.

            Atas nama hukum (sesuai dengan prosedur) seseorang bisa saja dicurigai, dituduh, ditangkap, disidik, disidangkan, diadili, dipenjarakan. Padahal seharusnya “tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan tanpa prosedur yang sah”, “tiada seorangpun boleh disiksa diperlakukan semena-mena”.

            Hanya segelintir orang yang bebas mendpatkan pendidikan yang layak. Selebihnya hanya dapat mendapatkan pendidikan asal-asalan, ala kadarnya. Dan hanya segelintir orang yang bebas mendapatkan pekerjaan yang layak. Selebihnya hanya apat mendapatkan pekerjaan asal-asalan, ala kadarnya, bahkan banya yang jadi penganggur.

            Pada masa penjajahan diperbudak oleh penjajah colonial. Kini di masa kemerdekaan diperbudak oleh para investor. Diperbudak oleh imperialisme modern. ‘Jadi buruh di tanah sendiri atas permintaan sendiri”. “Jadi kuli modern”. Investasi asing adalah bentuk imperialisme modern. Semuanya atas keinginan dan permintaan pemimpin Negara yang “dijajah” itu sendiri, yang atas persetujuan rakyat (Simak Bustanuddin Agus : “Imperialisme Modern”, dalam REPUBLIKA, Kamis, 9 Nopember 2006, hal 4, Opini).

            Kemerdekaan politik, dalam arti sesungguhnya pun tak diperoleh. Semuanya dikendalikan atas persetujuan Negara adikuasa. Bahkan PBB sendiri pun tak berdaya atas Negara adidaya. Perhatikanlah perlakuan Negara adikuasa terhadap Afghanistan dan Irak. Semua mereka lalukan atas nama demokrasi. Kemenangan FIS di Aljazair, Hammas di Palestina, Taliban di Afghanistan dilibas, dilindas oleh demokrasi adikuasa. Padahal kemenangan mereka itu diperoleh secara demokratis melalui pemilu, tapi karena tak sesuai dengan selera demokrasi adikuasa maka dengan berbagai alasan dilenyapkan, dimusnahkan. Dalam demokrasi, menurut Muhammad Iqbal, manusia hanya dihitung jumlahnya, bukan dinilai mutunya (Simak “Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam”, 1983:23).

            Dalam masa kemerdekaan kini yang tampak kasatmata hanayalah bebas pamer dada, bebas pamer pusar, bebas pamer paha, bebas unjuk rasa, bebas menggusur, bebas bergaul tanpa batas, bebass dari tatakrama, bebas dari sopan santun, bebas jingkrak-jingkrak, bebas melanggar tatatertib, bebas hura-hura.

            Bebas mengemukakan pendapat secara lisan dan tulisan, tidaklah sama dengan bebas demonstrasi, bebas unjuk rasa, bebas unujuk gigi, bebas unjuk kuasa. Bebas adu akal, adu otak, bukan bebas adu okol, adu otot.

            Dalam arti sesungguhnya, Indonesia masih terjajah oleh imperialisme modern, baik dalam polistik, militer, hokum, ekonomi, industri, social, budaya. Terjajah oleh hak veto negara adikuasa. Terjajah oleh system protokoler yang dibikin sendiri.

            Semua aparat, dari atas sampai ke bawah harus menyadari fungsi tugasnya untuk melindungi rakyat, untuk mencerdaskan rakyat, untuk mensejahterakan rakyat, bukannya untuk menyengsarakan rakyat. Menyadari tugasnya sebagai pelayan masyarakat, bukan untuk dilayanai masyarakat.

            Semua tokoh, pemimpin, kiai, ajengan, ulama, mubaligh, da’I, ustadz, mulai dari diri sendiri (ibda bi nafsik) menuntun, membimbing, mengajak, menggerakkan masyarakat untuk proaktif menciptakan kesejahteraan bersama dengan mendayagunakan infak fi sabilillah. “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapa, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, dn tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya” (QS 4:36). Dengan mengamalkan suruhan ayat ini, insya Allah akan terwujud Negara Sejahtera Adil Makmur. Gemah ripah loh jinawi. Tata tentrem kerta reharja.

(written by sicumpaz@gmail.com at BKS0707280645)

catatan kedua

Sudah merdeka, ataukah tetap terjajah ?

            Seluruh Negara bekas jajahan Barat secara politik sudah merdeka. Namun secara sistemik tetap terjajah. Semua sistemnya mengadopsi Barat. System politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, militer, teknologinya mengadopsi Barat. Perlakauan penguasanya terhadap lawan politiknya sama saja dengan yang dilakukan oleh penjajahnya pada masa lalu. Sistim protokoler yang sama sekali anti demokrasi diadopsi dari Barat. Seluruh Negara Barat/Amerika/Australia pada hakikatnya adalah anti demokrasi, ras diskriminasi. Simak Perjanjian Lama : Ulangan 23:19-20. Simak pula tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Bush dengan pendukungnya terhadap Afghanistan, Irak, juga yang dilakukan oleh pemerintah Israel dengan pendukungnya terhadap libanon/Palestina aalah tindakan anti demokrasi, biadab, barbar. Menyelesaikan perselisihan, persengketaan, bukan secara beradab dengan perundingan, tetapi dengan kekuatan senjata.

            Sistim hukumnya mengadopsi Barat. Pelaksanaan hukumnya dibawah intervensi asing. Sistem rente/bunga mengadopsi Barat. Nilai mata uang dikendalikan Barat. Tak ada yang berupaya membaca, membahas, mengupas, menganalisa teori kemakmuran dari Adam Smith, Karl Marx, Maynard Keynes, Forbes Harrod, juga teori pendidikan (pencerdasan bangsa) oleh Condorcet.

            Sistim sosial, budayanya mengadposi Barat. Cara makan, cara berpakaian, cara bergaul, cara berkesenian mengadposi Barat tanpa kritik. Mabuk-mabukan, jingkrak-jingkrakan dipandang sebagai indikasi kemajuan. Juga pergaulan bebas tanpa batas, pamer ketek, tetek, pusar, paha, gonta ganti pasangan dipandang sebagai identitas kemerdekaan. Simak pula suasana kawin kontrak yang marak di puncak.

            Sistim militer, teknologinya mengadopsi Barat. Upacara militer, upacara bendera, hormat bendera diadopsi dari Brat secara utuh tanpa kritik. Sistim militer Barat sama sekali adalah pendidikan anti demokrasi. Siap melakasanakan perintah atasan apapun juga tanpa bantahan. Teknologi yang hanya memperkaya pemodal konglomerat yang diadopsi. Sistim pengiklanan diadopsi dari Barat. Sistim industri yang padat modal, yang berorientasi mekanisasi dan otomatisasi, yang memperbesar angka pengangguran diadopsi dari Barat. Semuanya bukan untuk kesejahteraan, kemakmuran rakyat banyak, tapi untuk kemakmuran konglomerat.

(written by sicumpaz@gmail.com at BKS0608130630)

catatan ketiga

Indonesia belum siap merdeka ?

            Sejak awal dipersoalkan apakah Indonesia sudah siap untuk merdeka ? Ada yang memandang ahwa kemerdekaan baru bisa terwujud kalau sesuatu yang hal yang kecil-kecil, yang jelimet, yang zwaarmichtig sudah siap semua. ni sudah selesai leih dahulu, itu sudah selesai sampai jelimet barulah bisa merdeka. Namun Sukarno memandang bahwa yang perlu hanyalah keberanin, berani untk merdeka, merdeka secara politis (political independence, politiek ofhanhelighheid,

            Itu dalam teroritisnya (Das Sollen). Tetapi dalam prakteknya (Das Seun) secara sosial-ekonomi, Indonesia masah saja belum merdeka. Sudah silih berganti presiden, dari Sukarno, Suharto, GusDur, Megawati, sampai Susilo, namun bangsa ini tetap saja belum cerdas, belum sejahtera, belum makmur, belum terwujud Kesejahteraaan Sosial seperti yang diamanantkan oleh UUD-45. UUD-45 hanya bermanfaat bagi kekuasaan presiden (presidensial cabinet). Bahkan hasil pemilu pun ditentukan dibawah bayang-bayang kendali Amerika Serikat dan sekutunya. Bilamana hasil pemilu tak sesuai dengan selera demokrasi Amerika Serikat dan sekutunya, maka hasil pemilu bisa saja dianulir. Simalah pembatalan hasil pemilu oleh ulah Amerika Serikat dan sekutunya karena tak mengikuti keinginan mereka.

(written by Sicumpas@gmail.com at BKS1109060700)



           


            

Labels:

Kembali kepada Quran dan Sunnah


Kamis, 24 Februari 2011
Kembali kepada Qur:an dan Sunnah

Segala masalah dikembalikan (dicarikan) pemecahannya, penyelesaiannya kepada Qur:an. Jika tidak ditemukan dalam Qur:an, cari dalam Sunnah nabi. Jika tidak ditemukan dalam Sunnah Nabi, carikan dalam Atsar sahabat. Jika tidak ditemukan dalam Atsar sahabat, carikan dalam fatwa lama salaf, ulama mutaqaddimin.

Penjelasannya carikan dalam Sunnah Nabi. Jika tidak ditemkan dalam Sunnah nabi, carikan dalam Atsar sahabat. Jika tidak ditemukan dalam Atsar sahabat, carikan dlam Ijtihad Tabi’in. Jika tidak ditemkan dalam Ijtihad Taabi’in, carikan dalam fatwa ulama salaf. Jika masih saja tidak diteukan, berijtihadlah dengan sungguh-sungguh dengan penuh tanggungjawab (Hamka : “Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia”, hal 12; “Tafsir AlAzhar”, juzuk XXVIII, hal 132-135; PANJI MASYARAKAT, No.187, 15 Nopember 1975, hal 5-6, Dari Hati Ke Hati :’Masalah Khilafiyah’).

Mengenai Sunnah Nabi disebutkan ada yang bersifat tasyri’ (Yang disyari’atkan) dan ada pula yang bersifat ghairu tasyri’ (Yang tak disyari’atkan). Sunnah yang tasyri’ bersifat permanen, tak dapat diuah, dimodifikasi. Sunnah yang ghairu tasyri’ bersifat kondisional, dapat disesuaikan, dimodifikasi, diakomodasi sesuai dengan suasan, situasi, kondisi. (Drs Muhammad Azhar : “Makna Kembali Kepada Qur:an dan Sunnah”, AMANAH, No.192, 15-28 Nopember 1993, hal 58-59).

Periksalah sesuatu (halal atau haram, bak atau buruk) dari Kitab, Sunnah, Ijmak Shahabat, Ijmak Tabi’in, zhani, rakyu, hatinurani/sanubari, akal sehat.

Seorang ahli Ilmu harus berusaha semaksmal mungkin, dengan dilandasi niat yang ikhlas karena Allah dan memohon pertolongan kepadaNya, dalam menelusuri nash maupun ber-istimbath (Moh Tolchah Mansour : “Warisan Sang Imam”, PESANTREN, No.2/Vol.II/1985, hal 75, Tijauan Buku arRsalah Imam Syafi’i).

Adalah keharusan moral bagi si pnuntut ilmu untuk mengerahkan segenap tenagaanya guna mengembangkan ilmunya, bersabar terhaap setiap tantangan yang dijumpainya, serta meluruskan niat hanya karena Allah dalam memahami ilmu dan petunjukNya, dan tak lupa memohon pertolongan kepada Allah (Ahmadie Thaha :”Tarjamah arRisalah Imam yafi’I”, hal 19).

Arti ijtihad yang sebenarnya ilah mencurahkan segala kemampuan untuk mencari kejelasan tentang suatu kebenaran. Dan apabila timbul suatu kesalahan yang tidak disengaja dalam usahanya maka ia tetap akan memperoleh pahala (Muhammad alBaqir : “Tarjamah alKhilafah wal Mulk Abul A’la almaududi, hal 184).

Amr bin Ash ketika disuruh Rasulllah memutuskan suatu perkara (prsalan) bertanya kepada Raslullah. Aaakah aku akan berijtihad, sedang tuan masih ada pula ? Rasulullah menjawab : ya. Alau engkau benar (dalam ijthad), maka bagimu dua ahala. An alau kamu salah, maka bagianmu satu pahala (“Taramah Lukluk wal marjan”, jilid II, hal 640, hadis 1118; HA Azis Masyhuri : “Tarjamah Khulasha Tarikh Tasyri’ Islam Prof Abdul Wahhab Khallaf, hal 12).

Muadz bn Jabal ketika diutus Rasulullah menjadi qadhi negara (Hakim) Yaman, ditanya oleh Raslullah : Bagaimana cara kamu menentkan suatu hukum, alau kamu dihadapkan kepada suatu persoalan (yang memerlukan keputusan) sedang kamu tidak mendapatkan ketentuan hukmnya dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah ? Mu’adz menjawab : Aku akan berijtihad denga akal fikiranku. Maka Nabi mengakui jawabannya itu (HA Aziz Masyhuri : “Tarjamah Khulashah Tarikh Tasyr’ Islam” Prof Abdul Wahhab Khallaf, hal 12; ALMUSLIMUN, No.190, Janaari 1986, hal 9, Gayng Bersambut?Nadwah Mudzakarah, hal 136 dengan catatan : Hadits Mu’adz tersebut majhul dan tidak dapat dipahami ?)

Maka wajib atasmu memegang teguh Sunnahku (cara-cara yang telah aku lakkan) dan perjalanan (sunnah) Khulafaurrasyidin yang dberi petunjk (oleh Tuhan). Dan berpeganglah kepada sunnah-sunnah itu dengan kuat dan jauhlah olehmu nsur-unsur yang diada-adakan (bid’ah) maka sesngguhnya segala bid’ah itu sesat HR Abu Daud, Tirmidzi dari Abi Najih al’Ibahah bin Sariyah; Aminah Dahlan : “Tarjamah Hadts alArba’in anNawawiyah”, hal 42, hadis 28; H Salim Bahreisy : “Tarjamah Riadhus Shalihin Imam Nawawi”, jilid I, hal 169, hadis 2). Untuk menghindari polemik tentang bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah, barangkali bisa dipahami bahwa “pada umumnya bid’ah itu mejurus kepada kesesatan”.

Sebaik-baik generasi adalah pada abdku, kemudian abad yang dibelakangku, kemudian yang berikutna. (HR Bukhari, Muslim dari Imran bin alHushaim; H Salim Bahreish : “Tarjamah Riadhus Shalihin Imam Nawai”, jilid I, hal 429, hadis 19; “Tarjamah Lukluk wal Marjan” Muhammad Fuad Abdul Baqi, jilid II, hal 979, hadis 1649).

(written by sicumpaz@gmail.con in sicumpas.wordpress.com as Asrir at BKS1102250900)


Kembali Kepada Qur:an dan Sunnah

Bagaimana wujudnya ? Apakah dengan meninggalkan seluruh hasil ijtihad, koleksi fiqih orang-orang masa lalu, menyeleksi seluruh hadits, menghimpun seluruh hadits yang benar-benar sahih, yang tak ada cacatnya, yang tak diperselisihkan kesahihannya, menyusun koleksi fiqih yang semata-mata hanya mengacu, “ar-ruju’ ila al-Qur:an wa Sunnah” ? Namun tak seorang pun orang-orang masa kini, baik perorangan maupun kelembagaan yang telah berhasil menyusun “Kitab Hadits Sahih Lengkap” dan “Kitab Fiqih Lengkap”.
Apakah dengan demikian juga harus menggugat, meragukan otoritas, kredibilitas hasil ijtihad, koleksis fiqih orang-orang masa lalu dengan alsan tak seorang pun yang luput dari kesalahan ? Kebenaran mutlak hanya punya Allah. Pada manusia hanya kebenaran relative. Tak ada manusia yang bebas dari kesalahan. Guru, Ustadz, Da:’i, Muballigh, kiyai, Ajengan, Ulama, bahkan Nabi dan Rasul sekalipun tak ada yang ma’shum, yang bebas dari kesalahan. Bahkan sampai paa pendirian, bahwa Nabi Muhammad saw tidak berhak untuk menjelaskan tentang ajaran al-Qur:an (salah satu ajaran Inkarus Sunnah). Semuanya bias dikecam, dikritisi, dikoreksi, digugat. Dengan mengaci pendirian semacam ini, maka disusunlah gugatan halus terhadap kema’shuman, kemutlakn kebenaran Muhammad saw, gugatan halus terhadap sabda Rasulullah saw tentang “Fadhilah Para Sahabat, kemudian Tabi’in, Tabi’it Tabi’in”, antara lain seperti yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam ‘AlJami’ush Shahih”nya, pada Kitab “Asy-Syahadat” (Simaklah antara lain pendirian Pemred SUARA MUHAMMADIYAH, Abdul Munir Mulkhan : “Etika Welas Asih dan Reformasi Sosial Budaya Kiai Ahmad Dahlan”, Bentara KOMPAs, Sabtu, 1 Oktober 2005, hal 44).
Orang-orang masa lalu dipandang :
- Ada yang mengambil hadits yang tidak disepakati (kesahihannya) oleh semua pihak sebagai dalil.
- Ada yang mengambil hadits lemah (dha’if) baik qauli (perkataan) dan atau fi’li (perbuatan Nabi saw sebagai dalil.
- Ada yang tidak mengambil hadits lemah (dha’if), tetap mengambil fi’li (perbuatan) sahabat sebagai dalil.
- Ada yang tdaik mengambil hadits lemah (dha’if), dan tidak mengambil fi’li (perbuatan) sahabat, tetap mencari-cari di luar itu sebagai dalil.
Apakah dengan demikian juga harus meninggalkan, membuang qauli (perkataan) dan fi’li (perbuatan) sahabat, baik berupa ijma’ fi’li, maupun ijma’ sukuti, karena derajat-martabatnya hanya dipandang sampai mauquf.

Apakah maksud wasiat Rasulullah : “Maka berpeganglah kamu dengan sunnati (perjalananku) dan sunnat al-khulafa ar-rasyidin al-mahdiyin (perjalanan khalifah-khalifah yang cendekia, yang mendapat hidayah). Gigitlah kuat-kuat dengan gigi-gerahammu (berpeganglah kuat-kuat padanya)” (dalam HR Abu Daud, Tirmidzi, dalam “Riadhus Shalihin” Imam Nawawi, pasal “Perintah rajin menjalankan sunnah dan tata-tertibnya”).

Pada akhir Juni 2008 di kota Bandung tersebar fotokopian 12 halaman, yang pada halaman awal terbaca “Naskah Musyawarah MAJLIS TARJIH SE-WILAYAH JAWA BARAT Dari Tgl : 22 s/d 23/9-’73 / 25 s/d 26 Sya’ban 1393 Bandung, Dikeluarkan oleh Pimpinan Muhammadiyah Majlis Tarjih Jawa Barat”. Namun pada halaman akhir tak tercantum nama dan tandatangan dari Majlis Tarjih Muhammadiyah Jawa Barat. Di antara yang dputuskan oleh Majlis adalah bahwa hadits-hadits yang menerangkan , bahwa Rasulullah mengerjakan atau mengatakan “tujuh kali bertakbir pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua dalam shalat ‘aidain”, kesemanya tak ada yang shahih seperti dinyatakan dalam “Subulus Salam” Shan’ani, “Bidayah Mutahid” Ibnu Rusydi, “Syarah Sunan Baihaqi”. Majlis sendiri pun tak menyajikan hadits shahih yang merangkan bawa pada shalat ‘aidain, Rasulullah hanya bertakbir satu kali baik pada raka’at pertama maupun pada raka’at kedua. Bahkan keempat Imam Mujtahid pun tak ada yang pada shalat ‘aidain hanya bertakbir satu kali baik pada raka’at pertama maupun pada raka’at kedua seperti yang diterangkan oleh Ibnu Rusydi dalam “Bidayah Mujtahid”.
Pertanyaan : Dalam masalah agama, apakah seluruh amal ibadah orang-orang dahulu harus direvisi, dikaji ulang kembali, ataukah hanya cukup memilih saja di antara yang sudah dibahas oleh orang-orang dahulu itu ?
Abdul Qadir Audah, ulama ahli hukum Islam tamatan Sorbon University Perancis dalam pengantar bukunya “At-Tasyri’ al-Jina:i al-Islamy” menulis : “Suatu pendirian/pemikiran lama yang kokoh, lebih baik dari pandangan modern tapi selalu berubah-ubah”. Dalam pandangan agama, lebih baik bersifat konservatif (ittiba’) (Majalah TABLIGH, Vol.03/No.02/September 2004, hal 43, “Kmbalilah Kepada alQur:an dan Sunnah”, oleh Drs H Zafrullah Salim, MH).
Pada akhir Juni 2008 di kota Bandung tersebar fotokopian 12 halaman, yang pada halaman awal terbaca “Naskah Musyawarah MAJLIS TARJIH SE-WILAYAH JAWA BARAT Dari Tgl : 22 s/d 23/9-’73 / 25 s/d 26 Sya’ban 1393 Bandung, Dikeluarkan oleh Pimpinan Muhammadiyah Majlis Tarjih Jawa Barat”. Namun pada halaman akhir tak tercantum nama dan tandatangan dari Majlis Tarjih Muhammadiyah Jawa Barat. Di antara yang dputuskan oleh Majlis adalah bahwa hadits-hadits yang menerangkan , bahwa Rasulullah mengerjakan atau mengatakan “tujuh kali bertakbir pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua dalam shalat ‘aidain”, kesemanya tak ada yang shahih seperti dinyatakan dalam “Subulus Salam” Shan’ani, “Bidayah Mutahid” Ibnu Rusydi, “Syarah Sunan Baihaqi”. Majlis sendiri pun tak menyajikan hadits shahih yang merangkan bawa pada shalat ‘aidain, Rasulullah hanya bertakbir satu kali baik pada raka’at pertama maupun pada raka’at kedua. Bahkan keempat Imam Mujtahid pun tak ada yang pada shalat ‘aidain hanya bertakbir satu kali baik pada raka’at pertama maupun pada raka’at kedua seperti yang diterangkan oleh Ibnu Rusydi dalam “Bidayah Mujtahid”.
(BKS0810211100)

Pertanyaan : Dalam masalah agama, apakah seluruh amal ibadah orang-orang dahulu harus direvisi, dikaji ulang kembali, ataukah hanya cukup memilih saja di antara yang sudah dibahas oleh orang-orang dahulu itu ?

Abdul Qadir Audah, ulama ahli hukum Islam tamatan Sorbon University Perancis dalam pengantar bukunya “At-Tasyri’ al-Jina:i al-Islamy” menulis : “Suatu pendirian/pemikiran lama yang kokoh, lebih baik dari pandangan modern tapi selalu berubah-ubah”. Dalam pandangan agama, lebih baik bersifat konservatif (ittiba’) (Majalah TABLIGH, Vol.03/No.02/September 2004, hal 43, “Kembalilah Kepada alQur:an dan Sunnah”, oleh Drs H Zafrullah Salim, MH).
catatan serbaneka asrir pasir

Takbir Tujuh-Lima pada Shalat ‘Idain

Pimpinan Muhammadiyah Majlis Tarjih Wilayah Jawa Barat telah mengeluarkan “Naskah Musyawarah Majlis Tarjih Se-Wilayah jawa Barat Dari Tgl : 22 s/d 23/9-’73 25 s/d 25 Sya’an 1393 Bandung”.

Hal-hal yang dimusyawarahkan :
1.      Takbir tujuh-lima pada Shalat ‘Idain.
2.      Gugurnya/tidak gugurnya wajib shalat Jum’at, jika salah satu atau kedua hari ‘Id jatuh pda hari Jum’at.
3.      Wkatu penyemberlihan Qurban (Udl-hiyah).
4.      Waktu Shalatullail.
5.      Miqat makani waktu ‘ibadah haji dan bab Haji lainnya.

Hal-hal yang diputuskan :
1.      Takbir tujuh-lima pada Shalat ‘Idain.
2.      Shlat Jum’at pada hari ‘Idain
3.      waktu penyembelihan qurban.

Hal yang dikembalikan pada peserta :
1.      Waktu dan cara shalatullail.

Hal-hal yang ditangguhkan keputusannya :
1.      Miqat makani.

Keputusan tentang Takbir Tujuh-Lima Pada Shalat ‘Idain :

            Bahwa takbir-takbir di dalam shalat ‘idain sama saja dengan yang dilakukan dalam shalat-shalat lainnya, beralasan dengan hadtis muttafaq ‘alaih dari Ibnu ‘Abbas. (Simak Shahi Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits itu tidak dijelaskan takbir tujuh dan lima dalam raka’at pertama dan kedua, tetapi dicukupkan dengan penjelasan bagi shalat biasa dari hadits riwayat Abi Hurairah (Simak Shahih Bukhari dan Muslim).

Adapun hadits-hadits yang menerangkan, bahwa Rasulullah mengerjakan atau mengatakan “tujuh kali bertakbir pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua”, kesumuanya dianggap (oleh majlis) lemah.

Penjelasannya :

Kelemahan hadits-hadits yang menerangkan tujuh kali takbir dan lima kali pada raka’at pertama dan kedua shalat ‘idain di dalam kitab-kitab Abu Dawud, Tirmidzy, Ibnu Majah, juga dalam sunan Baihaqy, musnad Imam Ahmad, Mustadrak, Muwaththa, Al-Um, Nailul Authar, Subulus Salam, dalam kesuamnya itu tidak ada satu pun yang dapat dianggap (majlis) shahih.

Imam Ahmad menyimpulkan bahwa tak ada hadits shahih tentang takbir pada shalat ‘idain (Simak Subulus Salam, jilid 2, hal 112, Bidayatul Mujtahid, jilid 1, hal 185, Syarah Sunan Baihaqi, jilid 3, hal 287).

Bahwa diantara perawi-perawi haditsnya itu banyak orang-orang ang dianggap (majlis ?) lemah, yaitu : Ibnu Lahi’ah , Baqiyah bin al-Walid (Simak Tahdzib at-Tahdzib jilid 1 hal 478), Harmalah bin Yahya (Simak Tahdzib at-Tahdzib jidid 2 hal 230), “Abdurrahman bin Sa’ad Simak Ta’liqat Sunan Baihaqi jilid 3 hal 286), ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman (Simak Mizan al-I’tidal jilid 2 hal 452 no 4412), ‘Abdillah bin ‘Abdurrahman bin Ya’la, Katsir bin ‘Abdillah bin ‘Amru bin ‘Auf .

Itu adalah orang-orang perawi yang dikritik oleh ahli hadits dari hadits-hadits takbir tersebut.

Hadit-hadits yang menyatakan takbir tujuh dan lima dalam raka’at pertama dan kedua dalam shalat ‘idain terdapat diantaranya dalam ;
  1. Sunan Abi Daud juz 1 hal 262 dengan jalur Ibnu Lahi’ah, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman, ‘Abdillah bin ‘Amru bin al-‘Ash. Ibnu Lahi’ah dikritik dalam Tahdzib at-Tahdzib jilid 5 hal 378, Mizan al-I’tidal jilid 2 hal 475 no 4530. Hadits jalur ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman‘Amru bin Syu’aib ada yang qauli dan ada yang fi’li.
  2. Sunan Tirmidziy juz 2 hal 381 no 534 dengan jalur Katsir bin ‘Abdillah. Katsir bin ‘Abdillah bin ‘Amru bin ‘Auf dikritik dalam Nail al-Authar jilid 3 hal 338, Tahdzib at-Tahdzib jilid 8 hal 422.Hadits jalur Katsir bin Abdillah menurut Imam Turmudzi adalah “ahsanu syaiin”.
  3. Al-Umm juz I hal 256.
  4. Al-Muwaththa hal 91.
  5. Sunan Baihaqiy juz 3, hal 285-286 dengan jalur ‘Abdurrahman bin Ya’la. ), ‘Abdillah bin ‘Abdurrahman bin Ya’la dikritik dalam Tahdzib at-Tahdzib jilid 5 hal 299.Menurut keterangan Imam Baihaqi, kata Imam Tirmidzi dari Imam Bukhari tentang Katsir bin Abdillah adalah “Lisa fi hadzal babi syaiun min hadza wabihi aqulu”. Lalu mengatakan – entah Bukhari entah Tirmidzi – bahwa hadits ‘Abdullah bin Abdirrahman dari ‘Amr bin Syu’aib yang shahih.
  6. Subulus Salam.
  7. Ibnu Majah juz 1 hal 407.
  8. Musnad Imam Ahmad juz 1 hal 141.
Itulah hadit-hadits yang menjadi dalil tqakbir tujuh dan lima dalam shalat ‘idain.

(written by sicumpaz@gmail.com at BKS1109040900)
(Bagaimanapun pembicaraan/pembahasan tentang tujuh-lima takbir pada shalat ‘idain tetap saja bersifat debatable, ijtihadiyah, khilafiyah.

Kini di semua kalangan ada trend, kecenderungan menggiring uamt Islam agar berani mengkritisi pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah, Ghazali, Syafi’i, para shabat, bahkan pemikiran Nabi Muhammad saw. Sementara itu menelan mentah-mentah pemikiran-pemikiran filosof semacam Imanuel Kant (Majalah TABLIGH, Vo.3/No.02/September 2004, hal 37, Intelektual Jahiliah Berbahaya”, oleh Adian Husaini MA).

Sudah dipandang lumrah, wajar, alamiah menggugat Imam Mujtahid masa lalu, meragukan kredibilitas Imam Mujtahid masa lalu, meragukan kebenaran/ketsiqahan Imam Hadit. Dalil argumentasinya bahwa “Tak satu pun manusia yang luput dari kesalahan. Semuanya bisa digugat, dikritisi”.

Kitab Fiqih masa lalu dipandang adalah bikin-bikinan, karang-karangan ulama masa lalu. Jaman kini mendorong agar membuang Kitab Fiqih masa lalu, karena sudah out of date. Bisa-bisa nanti membawa kepada Inkar Sunnah, setidaknya memandang tak perlu shalat ‘idain, karena banyaknya krusial.

Diharapkan Majlis Tarjih Muhammadiyah Jawa Barat menyusun Kitab Fiqih Lengkap yang anya cukup mengacu pada Quran dan Hadits.
-          Seleksi seluruh hadits. Himpun seluruh hadits yang benar-benar shahih, yang tak ada cacat-celanya, yang disepakati kesahihannya dalam “Kitab Hadits Shahih Lengkap”.
-          Susun “Kitab Fiqih Lengkap”, hanya dengan merujuk pada Quran dan Hadits yang terdapat dalam “Kitab Hadits Shahih Lengkap”.
-          Tinggalkan seluruh Kitab Fiqih yang lain, selain “Kitab Fiqih Lengkap’ 

Labels:

Generasi cuek


Generasi cuek

Imamnya, makmumnya cuek. Pemimpinnya, rakyatnya cuek. Semuanya pada cuek. Cuek terhadap masalah halal haram. Sang Pemimpin sangat mahir mencari-cari dalil, hujah untuk membenarkan, mensahkan pendapatnya. Benar-benar amat pintar. Pintar memelintir. Memelintir yang sudah qath’i menjadi dzanni. Memelintir yang sudah baku menjadi yang diperselisihkan, diperdebatkan. Amat lihai mempermainkan dalil-dalil agama.

Untuk melegalisasi, melegitimasi pendapat sendiri yang menyalahi pendapat umum (ijma’) digunakan kaidah usul fikih, bahwa “siapa yang ijtihad, menafsirkan hukum benar, akan mendapat dua pahala, tetapi yang ijtihadnya salah mendapat satu pahala”. Kaidah usul fikih “menghindari kesulitan lebih utama, dari pada mendatangkan kebaikan” (darul mafasid muqaddam ‘ala jalabil mashaalih) digunakan untuk mengamankan, menyelematkan kehilangan, kerugian penanaman modal asing, penutupan perusahaan asing. Terganggungnya investasi asing yang jumlahnya milyaran, dipandang lebih mafasid dari pada timbulnya kebingungan dan keresahan di masyarakat akibat ulah intervensinya dalam bidang yang bukan wewenangnya, mengeluarkan statement blunder (kacau, ngawur).

“Yang paling berwewenang dalam menentukan halal haramnya sebuah produk makanan dan minuman adalah kaum ulama dan ahli syar’iyah”. “Dalam kapasitas selaku kepala anegara tidak berwewenang mengeluarkan pernyataan fatwa tentang halal dan haram suatu produk makanan”.

Ada yang pintar bermain diplomasi menepis timbulnya kebingungan dan keresahan di kalangan masyarakat akibatnya beragamnya pendapat tentang halal haramnya suatu produk makanan dan minuman. “Khilafiyah biasa terjadi dalam beragama”. “Perbedaan penafsiran tidak akan membuat bingung masyarakat. Masyarakat sudah bisa menilai sendiri terhadap mana yang benar”.

Rakyatnya cuek. Masa bodoh. Tak peduli tentang halal haram. “Dari pemantauan (pers) di kalangan pedagang diperoleh kesimpulan, bahwa mereka tidak sempat memikirkan halal atau haram sebuah barang, pembeli pun begitu. Baginya yang penting bisa makan”. “umumnya pelanggan tidak ada yang menanyakan haram atau tidaknya apa yang dijual”. “Dari pengamatan (pers), masyarakat (Penjual dan pembeli) nyaris tak mempersoalkan haram atau halal apa yang dijual di warung-warung”. “Hanya sebagian (sedikit) saja yang peduli terhadap masalah halal haram” (PADANG EKSPRES, Kamis, 11 Januari 2001, hal 1, 6).

Tugas kewajiban para ulama, da’i, penceramah lah untuk menyeru, menghimbau, menyeru, menuntun, membimbing generasi cuek ini menjadi generasi peduli (terhadap halal dan haram) melalui semua wahyana dan sarana dakwah, baik melalui taklim, khutbah, buletin dakwah, media cetak, mapun media elektronik seperti radio dan televisi.
Ulama, da’i, penceramah yang akan ikhlas mengemban tugas risalah ini hanyalah yang mampu menyatakan “Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam (QS 26:109, 127, 145, 164, 180). Yang sanggup menegaskan “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih” (QS 76:9).
http://kami-menggugat.tripod.com/imagelib/sitebuilder/layout/spacer.gif
http://kami-menggugat.tripod.com/imagelib/sitebuilder/layout/spacer.gif


o:p>a>88p class=MsoNormal style='text-align:justify'> 

             

Labels:

Dari Teologis Ke Sosiologis


Dari Teologis Ke Sosiologis

            Sudah sa’atnya ungkapan-ungkapan yang bersifat teologis (religius, transcendental), yang abstrak pada akal, yang hanya dapat diimani, agar dapat disampaikan, dikemas, diproyeksikan, dikonversikan, diterjemahkn dalam ungkapan-ungkapan yang bersifat sosiologis (bahasa sosial-ekonomi, bahasa sosial-politik, bahasa sosial-budaya) yang konkrit pada akal, sehingga dapat dipahami (Ahlul Irfan SPd MM : “Dari Theologis Ke Sosiologis”, Buletin NADZIR, Edisi 5, Mei 2001).

            Ungkapan Teologis mencintai Allah dan Rasul-Nya” (QS 3:31) yang abstrak pada akal, agar diproyeksikan, dikonversikan, diterjemahkan ke dalam ungkapan sosiologis “mencintai, menyantuni, memperhatikan kepentingan publik (orang banyak, orang melarat, orang terlantar) yang konkrit pada akal (QS 107:1-3, 9:60, 2:177, 3:92, 8:41).

            Sabilillah, proyeksinya, konversinya, refleksinya adalah kepentingan publik (Abul A’la al-Maududi : “Dasar-Dasar Islam”, 1984:190-191). Tapi publik (orang banyak)  bukanlh Allah dan Rasul-Ny. “Sesungguhnya di hari kiamt nanti Allah berfirman : Wahai nak Adam, Aku minta makanan kepadamu, tetapi engkau tidak mau memberiKu makanan. Tahukah engkau, wahai anak Adam, sesungguhnya hambaKu si Fulan itu meminta makanan kepadamu, tetapi engkau tiaa memberinya makanan. Ketahuilah, bila engkau memberinya makanan, maka engkau mendapatkan rahmat keridhan di sisiKu (Hadits Qudsi riwayat Muslim dari Abi Hurairah).

            Ungkapan teologis “kebenaran ilahiyah” (QS 2:147) yang abstrak pada akal, agar diproyeksikan, dikonversikan, diterjemahkan ke dalam ungkapn sosiologis “opini publik, pendapat umum (orang banyak dari kalangan orang mukmin) yang konkrit pada akal.

            Ungkapan teologis “kedaulatan ilahiyah, kedaulatan hukum ilahiyah” yang abstrak pada akal, agar diproyeksikan, dikonversikan, diterjemahkan ke dalam ungkapan sosiologis “kedaulatan publik, kedaulatan rakyat (theo democracy, divine democracy) yang konkrit pada akal.

            Ungkapan teologis “ Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum (komunitas), sehingga mereka merubah keadaan dari mereka sendiri (QS 13:11), agar dipahami dalam ungkapan sosiologis “Perubahan individu demi individu akan berujung pada perubahan kolektif” (Ahlul Irfan SPD MM : “Agen Perubahan Sosial”, Buletin NADZIR, Edisi 6, Juni 2001). Masyarakat akan makmur sejahtera, apabila setiap orang berlomba memperbaiki kehidupannya masing-masing (mengikuti metode deduksi prinsip ekonomi liberal kapitalis).

            Ungkapan teologis “Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS 28:76-77) agar diproyeksikan, dikonvewrsikan, dipahami dalam ungkapan sosiologis, seagai motivasi berbisnis, berusaha, agar berorientasi pada kebahagiaan akhirat, kesejahteran sosial, kepentingan bersama, bukan pada kebahagiaan duniawi, kesejahteraan individual, kepentingan perseorangan.

            Ungkapan fenomena alam limbah industri dikonversikan, diproyeksikan, ditafsirkan dalam ungkapan fenomena sosial komunitas buih (QS 13:17).

                        .Ungkapan teologis “hablum minallah” (QS 3:112) mengadakan, menjaga, memelihara hubungan dengan Tuhan, Alkhaliq (setia memenuhi, menjalankan risalah, seruan, janji Allah, takut putusnya hubungan dengan Allah, takut turunnya amarah Allah, mengharapkan keridhaan Allah, mendirikan shalat) (QS 13:19-24)) dikonversiskan, diproyeksikan, dijabarkan, ditafsirkan, diimplementasikan dengan ungkapan sosiologis “hablum minan naas” (QS 3:112) memikirkan, memperhatikan, mengupayakan peningkatan keadaan sosial-ekonomi-budaya sesama makhluk Allah (simak juga pengertian ungkapan “lita’arafu” dalam QS 49:13).

            Pemicu putusnya hubungan dengan Tuhan dan insan adalah pola hidup tamak, rakus, serakah, pola hidup kikir, pelit, kedekut, pola hidup angkuh, pongah, congkak, pamer.

Ungkapan teologis amal shaleh dijabarkan dalam ungkapan sosiologis amal sosial. Banyak beramal kebajikan, beramal sosil, berbuat amal usaha operasional diberbagai bidang untuk meningkatkan taraf, martabat, mutu dan tingkat kehidupan sosial-ekonomi-budaya bersama (kemampuan dan keampuhan diri sendiri, keluarga, tetangga, bangsa, ummat, lingkungan) menurut kadar kemampuan. Memanfa’atkan sebagian rezki, penghasilan, pendapatan, kekayan, kepintaran, kesempatan, kemampuan untuk kepentingan bersama, untuk kemakmuran, untuk kesejahteraan bersama (QS 2:3). Menabur, menebar jasa. Menyebarkan berbagai kebajikan dan kebaikan bagi rahmat alam semesta (QS 21:107).

            Ungkapan teologis “berbuat baiklah seperti Allah berbuat baik kepadamu” (QS 28:77) ditafsirkan dengan ungkapan sosiologis membalas kejahatan dengan kebaikan” (QS 13:22) (Prof Dr Bahrum Rangkuti : “Al-Qur:an, Sejarah, Kebudayaan”, Bulan Bintang, 1977:20-25).

            Ungkapan teologis amalan dzikir ditafsirkan dalam ungkapan sosiologis amalan fikir (QS 3:191). Pengertian, ungkapan teologis ulul albab sebagai ahli dzikir dan ahli fikir (3:7-9, 3:190-195), diproyeksikan, dikonversikan, diterjemahkan dalam ungkapan ulul albab sebagai pelaku amal shaleh dan pelaku amala sosial (QS 13:19-24).

            Dunia intelektual Islam masa kini amat sangat miskin sekali dengan ilmuwan ekonomi sekalaibar Adam Smith, Karel Marx John Maynard Keynes, meskipun Abul A’la Maududi, Quthub bersaudara, Yusuf Qardhawi, Mustafa as-Siba’I, Zainal Abidin Ahmad pernah berbicara tentang Ekonomi, tentang Lembaga Niaga, tentang Lembaga Riba (Bank), dan sebelumnya Ibnu Khaldun, Imam Ghazali.

            Sudah sangat mendesak, sangat diperlukan Diskusi Kajian Islm dan Sosial, Kajin Islam dan Budaya, Kajin Islam dan Ekonomi, Kajin Islam dan Politik secara rutin, sistimatis, berkala berkesinambungan, membahas karya tulis  semacam karya Abu A’la Maududi, Quthub brsaudara, Mustafa as-Siba’I, Yusuf Qardhawi, Zanal Abidin Ahmad, dan lain-lain



             

Labels:

Thursday, September 15, 2011

Antara Orientasi pengabidan dan orientasi kekuasaan


Antara orientasi pengabdian dan orientasi kekuasaan
Antara orientasi pengabdian dan orientasi kekuasaan
Ada yang berorientasi pengabdian dan ada pula yang berorientasi kekuasaan. Bagi yang berorientasi pengabdian, di mana pun bisa berperan mengabdikan, memanfa’atkan yang dimiliki untuk kepentingan bersama. Petani, pedagang, pengusaha, pendidik, dokter, arsitek, tekisi, buruh, karyawan, pegawai, militer, nelayan, dan lainnya bisa mengabdikan, memanfa’atkan yang dimilikinya untuk kepentingan bangsa, negara.
Salah satu contoh yang berorientasi pengabdian adalah Muhammad Yunus dari Bangladesh, peraih Nobel Perdamaian. Harmoko menyebut Muhammad Yunus sebagai pejuang dan pekerja gigih dalam mengentaskan kemiskinan di Bangladesh. Melalui Grameen Bank Prakalpa (semacam proyek Bank Pedesaan) Muhammad Yunus memberikan kredit kepada penduduk miskin. Hasilnya dapat dirasakan oleh penduduk Bangladesh. Muhammad Yunus memerangi kemiskinan melalui kredit bank yang dipimpinnya. Muhammad Yunus bukanlah aktivis dari Lembaga Swadaya Masyarakat, bukan pula seorang politisi, namun tetap menyatu dengan penderitaan rakyat. Muhammad Yunus bisa dijadikan teladan bagi pengentasan kemiskinan (POSKOTA, Senin, 30 Oktober 2006, hal 10, Kopi Pagi : “M Yunus dan Si Miskin” oleh Harmoko. Simak juga SUARA ‘AISYIYAH, No.1, Th ke-84, Januari 2007, hal 31, “Kesrempet”. “Dokter ekonomi yang malas blamana tak mampu mengangkat derajat hidup warga melarat”).
Barrack Obama membuktikan politik pengabdian. Ia cari lowongan untuk penganggur, mendirikan pusat pendidikan remaja, memaksa gubernur membongkar asbestos karena bahan bangunan itu sumber kanker, memperluas anti kenakalan remaja, membuat sistem manajemen pembuangan sampah, serta memperbaiki jalan rusak dan selokan yang tersumbat (KOMPAS, Sabtu, 5 Januari 2008, hal 13, “Sebuah Tuntutan Perubahan”, oleh Budiarto Shambazy).
Romomangun menata perkampungan kumuh sepanjang Kalicode Yogyakarta dan penghuninya menjadi lokasi yang asri berwawasan arsitektur dengan penghuninya yang terangkat harkat-martabatnya.
Bagi yang berorientasi kekuasaan, maka “pengabdian” hanyalah kemasan untuk memoles kehausannya akan kekuasaan. Yang berorientasi kekuasaan, hanya berupaya memenuhi kerakusannya akan kekuasaan. Ia tak pernah menyatu dengan penderitaan raykat, tak pernah merasakan penderitaan rakyat. Bagaimanapun banyak perusahaannya, bagaimanapun berlimpah kekayaannya, ia tak pernah memikirkan untuk memanfa’atkan kekayaannya itu untuk mengurangi pengangguran, untuk mengurangi kemiskinan, penderitaan rakyat, untuk menanggulangi bencana. Dalam benaknya hanyalah untuk memanfa’atkan kekayaanya untuk mendapatkan kekuasaan. Dengan kekuasaan, ia dapat menguasai, mengendalikan semuanya. Segala jalan bisa ditempuh untuk mendapatkan kekuasaan.
Pemimpin yang berorientasi kekuasaan, kebijakannya tak pernah berpihak kepada rakyat. Seluruh kebijakannya hanya untuk kepetingan diri. Acuannya adalah ajaran Machiavelli. sedangkan yang berorientasi pengabdian, kebijakannya berpihak kepada rakyat. Di kalangan Islam, acuanya adalah Muhammad Rasulullah saw, Umar bin Khaththab, Umar bin Abdul Aziz. Di kalangan Kristen, acuannya adalah Yesus Kristus. Di kalangan Hindu, acuannya bisa Mahatma Ghandi.
Sedikit di kalangan penguasa adalah mereka yang dikenal dengan despot yang arif. Sejarah mencatat adanya penguasa yang punya rasa pengabdian yang disebut dengan despot yang arif, yang bijak, yang cerdas seperti yang ditampilan oleh Peter yang Agung 1689-1725) dan Katharina II (162-1796) dari Rusia, Friedrich II Agng (1740-1786), Joseph II (1765-1790) dari Prusiaa (Jerman).
Secara umum, raja-raja Jawa sejak Mpu Sindok (sebelumnya Sanjaya) tampil sebagai despot yang arif, yang bijak, yang cerdas (Anwar Sanusi : “Sejarah Indonesia untuk Sekolah Menengah”, I, 1954:22,28).
Prof Dr A Syalabi dalam bukuna “ Negara dan Pemerintahan dalam Islam” (hal 38) menls bahwa kewajban yang utama dari pemerintah Islam ialah bekerja untuk kebahagiaan rakyat. Pemerintah Islam harus berusaha agar rakyat senang. Pemerintah haruslah berjaga-jaga agar rakyat dapat tidur dengan aman dan tenteram.
Islam membawa prinsip-prinsip yang lebih murni dari pada yang dicita-citakan setiap orang. Prinsip-pirnsip itu dapat disimpulkan dalam beberapa patah kata saja. Pertama, keadilan. Kedua, Kepala Negara yang miskin.
Islam menyerukan persamaan di waktu sistem hidup berkasta-kasta telah berurat berakar di seluruh penjuru alam. Islam menyerukan keadilan di kala keadilan itu dipandang suatu kelemahan dan kehinaan.
Islam menyeru agar seorang Kepala Negara bekerja untuk kebahagiaan rakyat, bukan untuk kebahagiaan dirinya sendiri. Islam menciptakan Kepala Negara model baru yaitu Kepala Negara yang miskin. Kepala Negara yang harta kekayaannya habis dibelanjakannya pada jalan Allah, untuk kepentingan umat. Kepala Negara yang hidupnya sangat sederhana, sandang, pangan, papan yang dipakainya sama dengan yang dipakai orang-orang miskin (“Sejarah Kebudayaan Islam”, jilid I, hal 338-329).
(BKS0612040630)

Labels:

Amal Sosial dan Amal Saleh


catatan serbaneka asrir pasir

Amal Sosial dan Amal Saleh (Kesalehan ritual dan kesalehan sosial)

Dalam berbagai nash alQur:an dan asSunnah, keimanan selalu dibarengi amal saleh. Ini menunjukkan bahwa keimanan yang berpangkal pada kalimat syahadat, harus diikuti dengan amal saleh sebagai konsekwensi yang dituntut oleh kalimat syahadat itu (Tabloid REPUBLIKA, “Dialog Jum’at”, 28 November 2008, hal 16, “Sedekah Roadmap”).

Dari surah al’Ashr dipahami bahwa kesempurnaan manusia itu hanya bisa tercapai dengan iman (untuk menempurnakan kekuatan ilmiahnya), dengan amal saleh untuk menyempurnakan kekuatan amaliahnya), dengan nasehat kepada kebenaran dan nasehat kepada kesabaran menghadapinya (“Madarijus Salikin” Ibnu Qayyim, terbitan Pustaka AKautsar, Jakarta, 2008:29).

Manusia, khususnya umat Islam dituntut untuk melakukan amal sosial dan amal saleh. Amal sosial merupakan perwujudan, pengejawantahan dari hablum minannaas (a rope from men) dan amal saleh merupakan perwujudan daari hablum minallah (a rope for Allah).

Dalam QS 3:134-135 umat Islam dituntut untuk melakukan amal sosial berupa memberikan santunan/infaq baik dalam lapang maupun sempit, menjaga hubungan baik antar sesama, dengan cara tak gampang marah, suka mema’affkan sesama, yang merupakan perwujudan, pengejawantahan kepedulian/kesalehan sosiaal. Dan segera bertobat memohon ampun atas semua dosa, yang merupakan perwujudan kesalehan ritual.

Dari ayat 177 surah alBaqarah setidaknya ada 17 ciri orang yang bertakwa. Lima yang pertama adalah aspek keyakinan atau akidah (Beriman kepada Allah, Hari Kiamat, Malaikat-Malaikat, Kitab-Kitab, Nabi-Nabi), Empat lainnya amalan fardhiyah (Shalat, sabar dalam penderitaan, sabar dalam peperangan). Delapan berikutnya berupa amalan sosial (berinfaq kepada kerabat, anak-anak yatm, orang-orang miskin, musafir, peminta-minta, hamba sahaya, menunaikan zakat dan menepati janji). (Simak juga QS 4:36). Dengan demkian, maka amal sosial merupakan perwujudan nyata dari keimanan. Atau dengan kata lain, amal sosial itu juga merupakan wujud nyata taqarrub ila Llah.

Dalam setiap momentum umat Islam selalu bermuatan ibadah ritual dan sosial. Misalnya, puasa Ramadhan disempurnakan dengan sedekah. Idul Fitri digenapkan sebelumna dengan zakat fitrah. Ibadah haji dilengkapi dengan kurban (“Dialog Jum’at” REPUBLIKA, 28 November 2008, hal 16).

Secara sosiologis-antropologis, taqarrub ila Llah dengan menyantuni fuqara-miskin (Kultum menjelang buka puasa lewat RCTI, Senin 1 Oktober 2007, 1800 oleh Quraisy Syihab).
Disebutkan dalam satu hadits shahih (Riwayat Muslim dari Abi Hurairah) bahwa Allah berfirman pada hari Kiamat : “Wahai hambaKu, Aku meminta makan kepadamu, namun kamu tidak memberiKu makan … Bila kamu memberi makan (orang yang minta makan kepadamu), niscaya kamu mendapatkan yang demikian itu (rahmat keridhaan) di sisiKu ( “Madarijus Salikin” Ibnu Qayyim, 2008:541-542; “Mutiara Hadits Qudsi”, oleh A Mudjab Mahalli, 1980:60, pasal “Kasih Sayang dan Dermawan”; Kultum menjelang buka puasa lewat RCTI, Senin 1 Oktober 2007, 1800 oleh Quraisy Syihab).).

Menyantuni sesama itu mengundang kasih sayang ridha Allah. Menyantuni sesama itu memang berat, sukar. Berkorban untuk kepentingan sesama adalah berat, sukar (Simak antara lain QS 90:11-16). Yang memberi makan yang lapar, yang memberi minum yang dahaga, yang menengok yang sakit, dikategorikan sebagai yang mendapat rahmat-ridha Allah. Sedangkan yang tak peduli akan yang melarat, yang lapar diindikasikan sebagai yang tak peduli akan Islam (Simak antara lain QS 107:1-3, 28:76-77).Yang tak mau menyantuni sesama dikategorikan seagai pendusta agama (Simak QS 107:1-3), tak percaya akan hari berbangkit (Simak QS 69:33-34, 74:43-46, 89:17-20).

Wujud bentuk taqarrub ila Llah dengan menyantuni sesama terangkum dalam ayat QS 4:36 “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukannya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua ibu bap, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya”. Semuanya tercakup, tercover pada “taqarrub ila Llah”.

Yang membri makan yang lapar, yang member minum yang dahaga, yang menengok yang sakit, dikategorikan sebagai yang mendapat rahmad-ridha Allah. Sedangkan yang tak peduli akan yang melarat, yang lapar diindikasikan sebagai yang tak peduli akan Islam (Simak antara lain QS 107:1-3, 28:76-77).

Optimisme eskatologis (harapan zaman akhir) harus diwujudkan dan dikembangkan menjadi optimisme yang kontekstual (harapan yang membumi). Kesalehan ritual harus disertai dengan kesalehan sosial. Soldaritas sosial harus diprioritaskan dari demokratisasi politik. Demokratisasi politik harus berbuah pada penghargaan kehidupan tercukupinya kebutuhan dasar manusia. Bila masih ada manusia miskin, menderita kelaparan, merasa tidak aman, itu mengindikasikan bahwa belum berkembang hidup yang demokratis (Simak KOMPAS, Sabtu, 12 Juli 2008, hal 6, Tajuk Rencana : “Solidaritas Sosial dalam Krisis”).

Islam mengajarkan agar mengarifi, memperhatikan kehidupan sesama, agar memanfa’atkan harta kekayaan untuk kepentingan bersama supaya memperoleh kebahagiaan akhirat. simaklah seruan kaum Qarun (Raja Konglomerat) kepada Qarun yang diabadikan dalam QS 28:77. “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan dunia dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Bentuk solidaritas sosial yang lain adalah tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Termasuk ke dalam berbuat kerusakan adalah menimbulkan perubahan iklim, pemanasan global. Kerusakan tersebut berdampak pada kekeringan, bencana alam, bencana sosial. “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia” QS 30:31.

Simak dan pahamilah sabda Rasulullah berikut secara sosiologis – antropologis : ” Jagalah dirimu dari api neraka, walau dengan sedekah separuh dari biji kurma ” (HR. Bukhari, Muslim dari Ady bin Hatim, dalam “Riadhus Shalihin” Imam Nawawi, pasal “Pemurah dan Dermawan dalam Kebaikan”).

Islam sangat paham, sangat peduli akan kesejahteraan sosial. Kepedulian Sosial Islam melebihi kepeduliannya akan pelaksanaan, pengamalan ibadah ritual. Ksalehan ritual haruslah dimulai dengan kesalehan sosial. “Tidak beriman seseorang yang makan kenyang sementara tetangganya kelaparan” (HR Thabrani dan Abu Ya’la dengan sanadnya tsiqah, dalam Dr Muhammad Ali al-Hasyimi : “Menjadi Muslim Ideal”, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 1999:176). “Tidak dinamakan beriman kepadau orang yang habiskan harinya dengan kenyang, sedang tetangganya di dalam kelaparan, padahal ia tahu” (HR Al-Bazzar dari Anas, dalam Sayyid Ahmad Hasyimi Beik : “Mukhtar al-Hadits anNabawiyah”, hal 147, hadits no.1016).

Disebutkan bahwa sebaik-baik manusia aalah yang banyak manfa’atnya, gunanya bagi manusia lainnya. Tak disebutkan bahw sebaik-baik manusia adalah yang banyak ibadahnya, pahalanya (Simak antara lain Khalid Muhammad Khalid : “Kemanusiaan Muhammad”, Progressif, Surabaya, 1984:268-269).

(written by sicumpaz@gmail.com at BKS0812131745)

Labels: