Milis bincang-bincang Masyarakat Adil Makmur Situs Koleksi Informasi Serbaneka

Monday, July 17, 2006

UUD-45 di mata pengamat

1 Adnan Buyung Nasution berpandangan bahwa secara ideal, harus ada
pemikiran untuk mengkaji ulang materi UUD-45. Ia telah mempelajari lebih
dari 200 konstitusi di berbagai negara, dan ternyata tak ada yang statis.
Semua berubah mengikuti perkembangan. Men urutnya UUD-1945 terlalu besar
memberi peluang bagi pemerintah, untuk memberi pengertian berdasarkan
kepentingan politiknya. Dalam pandangannya, yang menjadi patokana adalah
aspirasi rakyat disertai dengan pertimbangan antara kekuasaan eksekutif,
legislat if dan yudikatif (REPUBLIKA, Minggu, 6 Mei 1998, hal 1,
"Reformasi tak bisa Ditunda").




2 UUD-45 dibuat saat zaman Jepang. Pertama berlaku dari 18 Agustus 45
selama tiga bulan. UUD-45 menganut sistem presidensil. Ketika dipraktekkan
selama tiga bulan ternyata UUD-45 tidak demokratis. Sistim UUD-45
"concentration of power" sangat memungkinkan
terjadi diktator. Akibatnya muncul malapetaka politik, ekonomi, dan
sebagainya. Setiap UUD-45 diberlakukan, yang muncul adalah ketidak adilan,
kesewenang-wenangan, pemerintahan diktator (Demokrasi Terpimpin, Demokrasi
Pancasila). Menurut PPKI, UUD-45 tid ak lengkap, kurang sempurna, dan
kalau negara sudah dalam situasi memungkinkan, maka UUD-45 diganti dengan
yang lebih baik. Yang paling berperan dalam pembuatan UUD-45 adalah
BPUPKI. UUD-45 selesai dibuat 16 Juni 1945. BPUPKI bertugas merancang
konstitusi , sedangkan PPKI bertugas melakukan pemindahan kekuasaan, bukan
mensahkan UUD. Yang paling menentukan pembuatan UUD-45 adalah Prof Dr
Soepomo, pakar hukum adat (bukan pakar hukum tatanegara), Mr Wongsonegoro
dan Mr Yamin yang ! paling mengerti sistem pemerintahan Hindia Belanda.
Ide pembentukan MPR muncul dari pemikiran perlunya lembaga
pertanggungjawab Presiden, seperti pertanggungjawab Gubernur Jenderal
Hindia Belanda pada Ratu Belanda. Ide adanya MPR mengacu sistem pemerintah
an Hindia Belanda. Dalam mengembalikan pemberlakuan UUD-45 dengan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 terdapat persekongkolan atau kerjasama antara
Soekarno dan militer. Kembali ke UUD-45 itu adalah agar Presiden Soekarno
dapat berkuasa dan dapat menerapkan konse pnya, yaitu Demokrasi Terpimpin.
Dekrit 5 Juli 1959 adalah Keppres No.150 tahun 1959 yang kedudukannya
lebih rendah dari Konstituante (Prof Dr Harun al-Rasyid : UUD-45 Bisa
Diganti", SABILI, No.5, Th.VI, 16 September 1998, hal 22-24).




3 Dalam SUARA PEMBARUAN 7 Juli 1998, Christianto Wibisono mengemukakan
bahwa UUD-1945 dibikin secara instan (tergesa-gesa, terburu-buru, terdesak
oleh waktu) oleh BPUPKI dan PPKI dalam waktu hanya beberapa bulan. Padahal
untuk memperoleh konstitusi yang t ersusun secara tuntas, lengkap,
sempurna memerlukan waktu yang cukup panjang. Para pendiri Republik pun
mengakui bahwa UUD-1945 itu perlu disempurnakan. UUD-1945 itu mengacu
kepada pola Gubernur Jenderal VOC dan rezim kolonial Belanda. Dengan sikap
parano id politik, pola VOC diteruskan dengan kebanggaan dan sikap kepala
batu yang keblinger dan tidak rasional sama sekali. Dekrit Presiden
Soekarno 5 juli 1959 telah mengambalikan jarum RI mundur ke 18 Agustus
1945, yaitu dengan kembali ke UUD-1945. Dalam per kembangannya UUD-1945
yang tidak sempurna itu dikeramatkan (dikuduskan, disakralkan) dan nyaris
diberhalakan, tidak boleh diganggu-gugat. Padahal hakikat dan substansi
dari revolusi demokratis (yang berpangkal pada Asas Trias ! Politika)
adalah mutasi sistem politik dari pola biadab primitif (intimidasi,
buldorisasi) menjadi pola beradab demokratis modern (jurdil), menjamin
rakyat tidak diperintah secara sewenang-wenang oleh penguasa, menghormati
hak-hak asasi manusia dan proper ti individu. ("Dwifungsi Model George
Washington")




4 Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pada hakikatnya berakar pada sudut pandang
politik Presiden Sukarno sendiri, dan juga dari pimpinan militer Nasution.
Dalam pandangan Presiden Sukarno, juga pimpinan militer Nasution, bahwa
Sistem Demokrasi Parlementer dengan
UUDS-50 nya telah melecehkan peranan mereka dan tak menguntungkan mereka.
Mereka menggusur, menumbangkan sistem Demokrasi Parlementer dengan UUDS-50
nya, dan menggantinya dengan sistem Demokrasi Presidentil dengan UUD-45
nya adalah demi kepentingan kekua saan mereka, bukan demi kepentingan
rakyat. Bagi Presiden Sukarno, UUD-45 itu membuka peluang baginya untuk
memiliki kekuasaan yang luar biasa besarnya (akumulasi kekuasaan).
Sedangkan bagi pimpinan militer Nasution (petinggi ABRI paling berambisi
kembali
dari UUDS-50 kepada UUD-45), UUD-45 (konstitusi zaman revolusi) itu akan
membuka peluang bagi militer untuk mendapatkan legalitas berpolitik
sebagai golongan, meskipun golongan dalam penjelasan UUD-45 adalah
badan-badan seper! ti koperasi, serikat sekerja, dan lain-lain bada n
ekonomi. Kerjasama (konspirasi dan koalisi) Nasution dan Sukarno itu
menghasilkan Dwifungsi dan Demokrasi Terpimpin (Salim Said : "Kisah Tiga
Zaman", GATRA, No.38, 8 Agustus 1998, hal 44-45).




5 Pernah dikemukakan bahwa dengan dicanangkannya kembali ke UUD-45 pada
tanggal 20 Februari 1959, maka memungkinkan terwujudnya suatu kepemimpinan
nasional yang kuat. Presiden bisa bertindak mengangkat dan memberhentikan
para Menteri yang merupakan pemban tunya (Soegiarso Soerojo : "Siapa
Menabur Angin Akan Menuai Badai", 1988:101). Bahasa awamnya, dengan
memanfa’atkan kesupelan, keelastisan UUD-45 untuk mengakumulasi kekuasaan.
(Pasal 17 UUD-45 tentang Kementerian Negara sangat simpel, supel sekali
diband ingkan dengan pasal 50-55 UUDS-50 tentang Pembentukan Kementerian).
Padahal fungsi utama konstitusi itu adalah untuk membatasi kekuasaan
pemerintah/negara. Namun setelah kekuasaan di tangan, maka yang dikuasai
dengan senang hati sepakat mengangkat sebagai
Presiden seumur hidup, dalam sidang umum MPRS di Bandung pada tanggal
15-22 Mei 1963 dengan TAP-MPRS No.III/MPRS/1963.




6 Dalam "Proklamasi dan Konstitusi RI", Mr muhammad Yamin mengemukakan
(apologi, oto-koreksi) bahwa "Tuntutan Revolusi yang membawa kepada
kemenangan seluruh manusia di atas dunia kurang dirasakan oleh perancang
Konstitusi Indonesia 1945 sebagai nikmat ma khluk yang merebut haknya
dalam pergolakan Revolusi Perancis. Konstitusi Indonesia 1945 ditulis
tidaklah pada ketika pergolakan akan dimulai". "Waktu undang-undang
Indonesia dirancang, maka kata pembukaannya menjamin demokrasi, tetapi
pasal-pasalnya benci
kepada kemerdekaan diri dan menentang liberalisme dan demokrasi
revolusioner. Bagi Republik Indonesia 1945 yang mengakui demokrasi dalam
kata pembukanya sebagai dasar negara, maka menyolok mata benar
hak-kemerdekaan warganegara terlalu terbatas ditetapka n dalam
Undang-Undang Dasar. Hanyalah tiga pasal yang menjamin hak itu, yaitu
pasal 27, 28, 29" (Hak Asasi Kemanusiaan). Pada halaman berikutnya, Yamin
mengemukakan bahwa "Konsatitusi RIS dan TI-1950 ialah satu-satunya
daripad! a segala Konstitusi sedunia yang telah berhasil memasukkan Hak
asasi seperti putusan UNO/PBB ke dalam Piagam Konstitusi. Dalam bahasa
awam, tampaknya UUD-45 itu bersifat mendua (mengadung konflik/kontradiksi
dalam dirinya). Pada Pembukaannya rakyat yang b erdaulat, yang berkuasa
(demokrasi), tapi dalam batang tubuhnya negara yang berdaulat, yang
berkuasa (kedaulatan negara).




7 Dalam UUD-45 tidak terdapat hal yang mengatur tentang yang terlarang
dilakukan oleh penguasa. Juga tak ada pasal yang mengatur tentang wewenang
dan tata-cara mengadili penguasa yang berbuat salah, seperti melakukan
praktek KaKaEn yang dilegalisasi denga n memanipulasi konstitusi, atau
menetapkan kebijakan, atau pemberian fasilitas yang menguntungkan diri
sendiri, atau keluarga, atau kolega, baik dalam bentuk materi maupun
non-materi. Berbeda dengan UUD-45, dalam UUDS-50 terdapat pasal-pasal yang
mengatur
tentang perbuatan yang terlarang dilakukan oleh penguasa (pasal 11-12).
Juga dalam UUDS-50 terdapat pasal yang mengatur tentang wewenang dan
tatacara mengadili penguasa yang melakukan tindak kejahatan dan
pelanggaran jabatan (pasal 106). Dalam UUD-45 tid ak ada aturan yang
menyebutkan konsekuensi pelanggaran pelaporan keuangan. Pelanggaran
pelaporan keuangan tidak diatur dalam UUD-45. Dalam UUD-45 tidak tercantum
sanksi apa yang diberikan pada pelanggaran. Demikian ungkap prak! tisi
dan pakar hukum Adnan Buyung Nasution. BPK mempunyai kekuasaan dan
kewenangan, tapi tidak bisa menindaka lanjutinya, ungkap Faisal Basri
(MERDEKA, Selasa, 3 November 1998, hal 8).

Segitiga kekuasaan Orla-Orba

1 Pada masa/zaman revolusi fisik (1945-1949) ada tiga kekuatan politik
(sospol) terpenting, yaitu partai-partai (parpol), Presiden (Soekarno),
dan tentara (militer).




2 Keruntuhan Sistem Demokrasi Parlementer (1950-1959) karena hanya
mengakomodasi partai-partai tanpa memperhitungkan tentara (militer) dan
Presiden (Soekarno).




3 Sistem Demokrasi Parlementer tak menguntungkan Presiden (Soekarno) dan
tentara (militer).




4 (Presiden (Soekarno) dan tentara (militer) bekerjasama menggusur sistem
Demokrasi Parlementer, demi kepentingan kekuasaan mereka, bukan demi
kepentingan rakyat.




5 Tumbangnya Sistem Demokrasi Parlementer adalah atas upaya konspirasi dan
kolusi tentara (militer) dan kegiatan politik Presiden (Soekarno).




6 Di mata Nasution (militer), UUD-1945 (konstitusi zaman revolusi) akan
membuka peluang bagi tentara (militer) untuk mendapatkan legalitas
berpolitik sebagai golongan.




7 Bagi Presiden (Soenarno), UUD-1945 itu membuka peluang bagi Presiden
memiliki kekuasaan yang luar biasa besarnya.




8 Kerjasama (konspirasi dan koalisi) Nasution dan Soekarno menghasilkan
Dwifungsi dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965).




9 Pada zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965), kekuatan politik berada pada
Presiden (Soekarno), parpol (NASAKOM), dan militer (Nasution, Yani,
Soeharto).




10 Keruntuhan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) karena tak mengakomodasikan
parpol yang anti komunis, dan militer yang anti komunis (Angkatan Darat).




11 Rezim Orde Baru didirikan tentara lewat Seminar Angkatan Darat II,
Agustus 1966. Tanggal lahirnya Orba masih kontroversial. Ada yang
mengemukakan tanggal lahir Orba 10 Januari 1966 (demonstrasi pertama
Tritura), 11 Maret 1966 (tanggal Supersemar), 31 A gustus 1966 (seminar AD
II yang merumuskan Orba), 23 Februari 1967 (penerimaan kekuasaan Jenderal
Soeharto) dari Presiden Soekarno) (Dr Asvi Warman Adam : "Pembantaian
1965", KOMPAS, Senin, 4 Desember 2000, hal 40).




12 Pada 1969 kekuatan pendukung Soekarno bisa menetralisirkan, sehingga
integrasi dapat selesai.




13 Pada awal rezim Orde Baru, kekuatan politik didominasi oleh tentara
(militer). Kini diperlukan PANDUAN SIKAP DEMOKRATIS BAGI MILITER.







14 Tahun 1974 muncul semacam "reservation" di kalangan perwira ABRI yang
cerdas dan berkepribadian untuk mengkaji kembali pelaksanaan fungsi
sosial-politik ABRI. Jenderal Widodo ketika amenjadi KASAD bersama
perwira-perwira cerdas seperti Jenderal Widjojo
Soejono, Jenderal HR Dharsono mengadakan Fosko AD (Foorum Studi dan
Komunikasi Angkatan Darat) untuk secara teratur membahas masalah
pelaksanaan dwifungsi ABRI dengan segala implikasinya.




15 Kritik muncul dari Seskoad lewat Fosko Angkatan Darat. Akibat dari
kritik itu, para purnawirawan menjadi korban, masa jabatan KSAD Jenderal
Widodo menjadi amat singkat. Demikian pula nasib para pensiunan Jenderal
di Kelompok Petisi-50. "ABRI tak dapat terus menerus dijadikan Herder bagi
kekuasaan". Apakah sikap dan tindakan ABRI lebih didasari oleh
kesetiaannya pada konstitusi dan kemashlahatan rakyat, ataukah pada
kepentingan permainan kekuasaan ? (REPUBLIKA, Kamis, 18 Juni 1998, hal 6
Tajuk).




16 Ali Moertopo adalah operator politik Soeharto untuk membereskan segala
hambatan kekuasaan yang dihadapi rezim Orde Baru dengan menggunakan OPSUS
(Operasi Khusus).




17 Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari 1974) pada dasarnya
adalah konflik antara Soemitro dan Ali Murtopo yang sama-sama loyal pada
Soeharto Ali Moertopo meladeni kepentingan Soeharto lewat sejumlah
rekayasa dengan memanfa’atkan operasi intel,
sedangkan Soemitro melakukannya dengan cara kelembagaan yang bisa
dikontrol lewat MABES ABRI dan Kantor Pangkopkamtib.




18 Setelah peristiwa Malari, rekayasa politik beralih dari garapan Ali
Murtopo lewat Opsus-nya menjadi bagian dari garapan ABRI. Peristiwa
Tanjungpriok, kasus Lampung, kasus Marsinah, Peristiwa 27 Juli 1996, Kisah
Penculikan, kasus Kopassus harus dimenger ti latar belakang garapan
rekayasa politik.




19 Keruntuhan rezim Orde Baru (1966-1998) karena tak mengakomodasi
golongan kritis, kaum intelegensia.




20 Hanya rezim yang mampu mengakomodasi semua kekuatan politik yang ada
(militer, sipil, parpol, yang akomodatif, yang kritis) yang berkemungkinan
stabil dan bertahan lama ? Kini perlu ditinjau kembali apakah militer itu
sebagai alat negara ataukah memper alat negara ? ABRI MEMPERSEPSIKAN
DIRINYA SEBAGAI KEKUATAN SOSIAL POLITIK>



21 Rakyat dan ABRI (kini TNI) itu berbeda. Misi pokok ABRI antara lain "to
kill or to get killed", menjaga dan mempertahankan keamanan negara
(wilayah, warga, penguasa) dari serangan musuh, baik dari dalam maupun
dari luar negeri.




22 Secara formal, konsep Dwifungsi ABRI dimatangkan dikembangkan dari
konsep "jalan tengah KSAD Mayjen AH Nasution pada November 1958.
Dimatangkan lagi dengan lahirnya doktrin "Tri Ubaya Cakti" (Seminar
Angkatan Darat I, April 1965), dan "Catur Dharma Eka karsa" (Seminar
Angkatan Darat II, Agustus 1966). Kemudian diperkuat dengan UU No.20 tahun
1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara, yang antara lain
menegaskan bahwa ABRI mempunyai fungsi HANKAM (kekuatan pertahanan
keamanan) dan "kekuatan
sosial politik", yang garis besarnya menempatkan ABRI sebagai dinamisator
dan stabilisator.




23 Pada 1967 mula-mula ABRI mendapat jatah 43 kursi dari 350 anggota DPR
(Salim Said : "Kisah Tiga Zaman", GATRA, NO.38, 8 Agustus 1998, hal
44-34).




24 Ketika Rapim ABRI di Pekanbaru 1980, Soeharto sempat ngomong jika perlu
dilakukan terhadap anggota MPR yang tidak sepaham dalam voting. Cara-cara
seperti itu terus terjadi di seluruh Indonesia dari Aceh samapi Timor
Timur (waktu itu). Di dalam buku bio grafinya, Soeharto mengakui
menghabisi preman lewat petrus (penembak misterius). Selama 32 tahun ABRI
diperalat oleh Soeharto. ABRI dengan disiplin militer (komando) hanya
sebagai pelaksana saja. Soehartolah yang bertanggungjawab. Demikian ungkap
Ali Sadi kin dalam suatu wawancara dengan MEGAPOS.


.


25 Kamis, 6 Agustus 1998 di Gedung Juang 45, Jakarta Pusat dideklarasikan
berdirinya Barisan Nasional. Barisan Nasional mengajak semua potensi
bangsa untuk bergerak bersama kembali kepada cita-cita perjuangan, seperti
tertuang dalam UUD-45, dan mengembali kan ABRI pada landasan yang fair,
yaitu bertugas untuk menjaga astabilitas dan keamanan negara, namun tidak
menghapus Dwifungsi ABRI. Para jenderal yang tergabung dalam Barisan
Nasional, antaranya : Kemal Idris, Ali Sadikin, Bambang Triantoro,
Harsudiono Hartas, Hoegeng Imam Santoso, Theo Syafe’i, Solihin GP, Kharis
Suhud. Sedangkan dari kalangan sipil : Subroto, Rahmat Witoelar, Sarwono
Kusumaatmadja, Hayono Isman, IB Sujana, Ny Supeni, Ruslan Abdul Gani,
Didit Haryadi. Target Barisan Nasional menghentik an kekuasaan Kabinet
Reformasi Habibie, dengan menyerukan penegakkan kebenaran dan pembasmian
kesewenang-wenangan (MEGAPOS, No.4, Th.I, Edisi 13-19 Agustus 1998, hal
10, Nasional).

Tuesday, July 04, 2006

Jalur pembudayaa Pancasila

ASRIR - Jalur Pembudayaan Pancasila
Date: Mon Nov 06 2000 - 11:14:42 EST
Date: Sun, 5 Nov 2000 20:08:56 -0800 (PST)
Subject: Jalur Pembudayaan Pancasila

Jalur pembudayaan Pancasila

Selama empat belas tahun pertama sejak Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia, yaitu dari 1945 sampai 1958, hampir boleh dikatakan bahwa Pancasila dikenali hanya terbatas sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Pada awalnya Pancasila itu adalah formulasi (perumusan) dari gagasan Ir Soekarno yang diperkenalkannya pada hari keempat sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan tanggal 1 Juni 1945 tentang dasar Indonesia Merdeka yang kemudian diterima dalam Piagam Jakarta, dan yang selanjutnya direvisi dalam Pembukaan UUD-45 dengan membuang anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Pada bagian akhir pidatonya, atas petunjuk seorang ahli bahasa - demikian menurutnya - Ir Soekarno mengusulkan Pancasila sebagai nama bagi rancangan Dasar Negara Indonesia Merdeka yang dikemukakannya. Tapi para pendiri Negara Republik Indonesia tak pernah memutuskan memberikan nama Pancasila bagi Dasar Negara Republik Indonesia.
Ide (gagasan) ini dipungut Ir Soekarno dari ajaran Ernest Renan, Otto Bauer, A Baars, Gandhi, Sun Yat Sen, Jean Jaures, dan bukan dipungut dari Nagarakertagama, Sutasoma, Sriwijaya, Majapahit.
Pada masa Orde Lama (1959-1965) Manipol dianggop sebagai pengamalan Pancasila. Sejak awal Orde Baru, Pancasila diperkenalkn sebagai mithos bangsa Indonesia. Budayawan Kuntowijoyo mengajak untuk “Mengakhiri Mitos Politik” (REPUBLIKA, Senin, 21 Agustus 2000, hlm 8). Pancasila mulai dikeramatkan sebagai kekuatan sakti yang ampuh, semangat, jiwa, spirit yang tangguh.
Sebagai mithos, Pancasila diintrodusir sebagai Jiwa Bangsa Indonesia, sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia, sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, sebagai Sumber Tertib Hukum bagi Negara Republik Indonesia, sebagai Perjanjian Luhur Bangsa Indonesia, sebagai Cita-cita dan Tujuan Bangsa Indonesia, sebagai Falsafah Hidup yang mempersatukan Bangsa Indonesia. Ini merupakan hasil temuan kajian Laboratorium Pancasila.
Untuk sampai ke sini dikaitkan, dicarikan acuan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Sang Saka Dwi Warna, Garuda, Palapa pada ajaman Hindu-Budha, pada kejayaan nenek-moyang di jaman Majapahit Siwa-Budha. Padahal masa/jaman kejayaan, keemasan Majapahit adalah jaman feodal, jaman jahiliyah, jaman kesesatan, jaman syirik. Pancasila dikembangkan menjadi Pancakarsa. Sejak tahun 1978 diperkenalkan bahwa Pancasila perlu diyahati dan diamalkan.
Ketua Laboratorium Pancasila IKIP Malang, Dardji Darmodihardjo SH (yang waktu itu juga Rektor Universitas Brawijaya di Malang), dalam bukunya “Orientasi Singkat Pancasila”, terbitan tahu 1979 (LP UNBRA) mengemukakan bahwa istilah Pancasila telah dikenal sejak zaman Majapahit pada abad XIV, yaitu terdapat di dalam buku Negarakertagama karangan Prapanca dan buku Sutasoma karangan Tantular. Dalam kakawin Sutasoma disebutkan terdapat Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika. Mengaitkan Pancasila pada Tantular tampaknya terlalu dipaksakan (mengada-ada). Pancasila Sutasoma Tantular yang disebut Pancasila Krena bukanlah mengenai dasar falsafah negara (rechts-ideologi), tetapi mengenai ajaran morala (kesusilaan) yang wajib diamalkan oleh Upasaba (Bhudaawan) agar tidak melakukan lima larangan, yaitu tidak melakukan kekerasan (ahimsa), mencuri, berjiwa dengki, berbohong, mabuk (minuman keras).
Meskipun berupaya mengaitkan Pancasila pada Tantular, namun tidak ada keseriusan untuk tidak melakukan mo-limo, yaitu tidak melakukan madon/lacur/zina, maling/curi, main/judi, madat/narkotik, minum/miras/mabuk (TERBIT, 14 November 1996).
Sedangkan Bhinneka Tunggal Ikanya Sutasoma Tantular bukanlah semobayan Persatuan, Kebangsaan (Nasionalisme), tetapi mengenai konsep religi Siwa-Budha, bahwa meskipun zat/wujudnya Siwa dan Budha berbeda, tetapi sesungguhnya satu pengertian/nama sebagai “Keesaan Yang Maha Kuasa” dalam bentuk Siwa-Budha. Mirip ajaran Trinitas yang mengajarkan bahwa meskipunzat/wujud/manifestasi-nya tiga oknum, tetapi sesungguhnya satu pengertian/nama sebagai Satu di antara Tiga Tuhan.
Sejak tahun 1978 secara sistimatis dan terencana, dikembangkan konsep Pancasila sebagai ajran Moral Bangsa Indonesia, sebagai Asas Moral bagi kehidupan bangsa Indonesia. Mulai dari kehidupan pribadi dan berkeluarga diatur, ditata oleh negara. Kapan waktunya boleh berkeluarga, berapa jumlah anak, bagaiamana isi dakwah setahap demi setahap diarahkan, diatur, ditata oleh negara.
Setelah ditetapkan Pancasila sebagai Asas Tunggal, maka disini Pancasila berperan mengatur sikap dan tingkah laku orang Indonesia masing-masing dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa (Ketuhanan Yang Maha Esa), dengan sesama manusia (Kemanusiaan yang adil dan beradab), dengan tanah air dan nusa bangsa Indonesia (Kebangsaan atau nasionalisme), dengan kekuasaan dan pemerintahan negara (Kerakyatan), dam dengan negara sebagai kesatuan sosial dalam rangka realisasi kesejahteraan (Keadilan Solsial).
Dalam hubungan ini sementara pengamat mempertanyakan apakah negara/pemerintah, MPR berhak mengatur dan membina hati nurani masing-masing individu ?
Di kalangan yang bukan Islam, inilah jalan/jalir pembudayaan Pancasila, yaitu jalur/pendekatan sejarah (jaman Siwa-Budha).
Di kalangan yang Islam, jalur pembudayaan Pancasila yang ditempuh ialah jalur/pendekatan agama. Dikemukakan bahwa “di bawah bendera Pancasila, upaya mengembangkan Islam, justru lebih memperoleh suasana dinamis”. Bahwa “Republikd Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ini adalah sejalan dengan ajaran Islam”. “Bahwa di Repujblik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD-1945 ini, ajaran Islam lebih banyak dilaksanakan dari pada di dunia Islam lainnya”. “Bahkan hidup keagamaan ummat Islam di Indonesia tampak lebih bersemarak dari pada hidup keagamaan ummat di bahagian tertentu dunia Islam”. “yang penting bukanlah nama, tetapi adalah dilaksanakan ajran Islam dalam masyarakat”. “What is in a name ? That we called a rose. Shall by any other name. Smell as sweet” ungkap Shakespeare. Bahwa “tidak ada alasan bagi ummat Islam untuk menolak Pancasila sebagai ASAS YANG PALING DISUKAI (asas satu-satunya) bagi persatuan bangsa dan perjuangan memakmurkan bangsa”, karena PANCASILA mengandung ajakan dan ajaran yang tak diragukan dapat dianggap juga sebagai AJARAN ISLAM SENDIRI”. “Menerima Pancasila berarti secara tidak langsung mendekatkan yang belum Islam pada Islam, dan makin menguatkan ajaran Islam bagi yang Islam”. “Hendaknya kita ummat Islam Indonesia menerima negara Republik Indonesia ini sebagai sasaran akhir dari aspirasi politik kita, dan bukan sekedar sasaran antara atau batu loncatan ke arah sasaran yang lain”. Bahwa “adanya persamaan dan semangat al-Qur:an dengan Pancasila”. Untuk sampai ke sini diyakinkan lebih dulu, bahwa “al-Qur:an tidaklah mengandung segala-galanya”. Diintrodusir semboyan “Islam Yes, Partai Islam No”, dan belakangan dilanjutkan dengan Islam Yes, Negara Islam No, dimantapkan pula dengan “Tak Ada Negara Islam”: dalam Qur:an dan Sunnah.
Diantara yang aktif menggunakan jalur ini adalah Munawir Syhadzali (Islam dan Tatanegara), Harun nasution, Dahlan Ranuwiharjo, Syafi’i Ma’arif (MEDIA PEMBINAAN, No.5-9, 1986), Syafi’i Anwar, Dawam Rahardjo (REPUBLIKA, 30 Juni 1993), Hasbullah Bakry (PELITA, Oktober 1983), dan lain-lain yang biasa dikenal sebagai tokoh pembaharu, seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid (PANJI MASYARAKAT, No.528, hlm 73-74).
Teori politik Munawir Syadzali disanggah (disangkal, dibantgah) Firdaus AN (ALMUSLIMUN 258, September 1991). Bagi ideolog mujahid adalah aneh bila ada yang berakidah Islam, tetapi berasas bukan Islam. Adalah aneh yang Islam lebih memilih yang bukan Islam, lebih tertarik kepada yang bukan Islam.
Sungguh tak etis seorang muslim yang telah merenungkan al-Qur:an dengan pemikiran yang mendalam dan kesungguhan menyelidiki, akan berujar dengan lantang “tidaklah cukup dengan al-Qur:an”, “tidaklah benar segalanya ada dalam al-Qur:an”. Adalah suatu penghinaan menuduh “Islam tidak punya konsep tentang negara”, bahwa “selain al-Qur:an ada lagi yang tak diragukan (la raiba fihi)”.
Seandainya “PANCASILA itu mengandung ajakan dan ajaran yang tak diragukan dapat dianggap sebagai AJARAN ISLAM SENDIRI”, seandainya “Pancasila itu adalah sejalan dengan ajran Islam”, mustahillah muncul debat antara pihak Islam dengan pihak Nasionalis (Kebangsaan), baik pada sidang BPUPPKI, maupun di sidang Konstituante, dan mustahil pula pembubaran Konstituante pilihan rakyat (PANJI MASYARAKAT 698, 11 Oktober 1991).
Dalam hubungan ini dibawa-bawa nama Ali Abdul Raziq, kelompok minoritas Najadah dari Khawarij, Mu’tazilah. Ali Abdul Raziq (1888-1966) menggunakan jalur agama untuk mengesahkan nasionalisme. Dalam bukunya “Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam”, Ali Abdul Raziq melancarkan propaganda menentang adanya khilafah dan mengajak agar ummat Islam mengambil sekularisme dan nasionalisme.
Untuk sampai ke sini disusunlah teori politik, bahwa Islam itu sendiri mutlak tidak ada hubungannya dengan negara, bahwa tidak ada sedikitpun kaitan antara Islam dengan masalah kekhilafahan. Kekhilafahan Islam yang muncul dalam sejarah, menurut Ali Abdul Raziq bukanlah bercorak Islam (keagamaan), melainkan merupakan kerajaan Arab (kerajaan duniawi). Dalam kaitan ini, Ali Abdul Raziq mengutipkan Matius:22, “Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi haknya dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi haknya pula”.
Sekilas teori politik Ali Abdul Raziq mirip dengan teori politik Najadah dari Khawarij. Tetapi Najadah tidak mengingkari Khilafah, sedangkan Ali Abdul Raziq sama sekali menolak khilafah, menolak mengaitkan urusan negara (dunia) dengan Islam (diin). Tampaknya teori politik Ali Abdul Raziq ini dipasok/disupply oleh missionaris orientalis semisal Margoliouth, Thomas Arnold. Dhyiya’ ad-Din ar-Rais telah menyanggah (menyangkal, membantah) teori politik Margoliouth (Teori Politik Islam), Ali Abdul Raziq (Islam dan Khilafah). Sebelumnya yang menyanggah Ali Abdul Raziq adalah Muhammad Syakir, Sayyid Rasyid Ridha, Muhammad Bukhait, Muhammad al-Khadr Husain.
Sebenarnya Ali Abdul Raziq hadir-tampil di tengah-tengah bersemarakanya persekongkolan persekutuan Nasrani Barat berupaya mengenyahkan kekhilafahan Islam Turki, di tengah-tengah munculnya gelombang nasionalisme untuk menghapus bekas pengaruh Islam, menghapus khilafah Islam, menumpas gerakan pendukung khilafah.
Di antara penganjur/pendukung nasionalisme modern di Mesir adalah Luthfi as-Sayyid (dari Partai Rakyat Hizb Ummah), Sa’ad Zaghlul (pemimpin dan pejuang Mesir yang berpengaruh/kharisma dari Partai Nasionalis Wafd) yang dengan gigih berupaya menghilangkan pengaruh Islam dari politik Mesir, dengan slogan “Agama untuk Tuhan dan negara untuk rakyat”. “Mesir adalah bagian Eropah, pewaris/pelanjut peradaban laut Tengah/Mediteranian” berkembang dan dikembangkan.
Penganjur/pendiri nasionalisme modern di Turki adalah Ziya Gok Alp, professor sosiologi jebolan Istambul, yang dengan gigih berupaya membersihkan Turki dari Islam. Kemal Attaturk, seorang pengagum berat nasionalisme yang setia, patuh menjalankan instruksi Perkumpulan Rahasia (Fremasonry) di Paris dan melaksanakan syarat-syarat Perjanjian Perdamaian Lausanne, Swiss yang ditandatangani bulan Juli 1923 yang menghapuskan sistim kapitulasi (penguasaan daerah taklukan) di Turki, sehingga Turki melepaskan kedaulatannya atas negara-negara Arab, dan lenyapnya kekhilafahan Islam, tumpasnya gerakan pendukung kekhilafahan.
Terwujudlah salah satu langkah yang diambil Barat Nasrani untuk menghancurkan, melenyapkan Timur Islam (setelah gagal dalam Perang Salib) adalah dengan berupaya melenyapkan, memusnahkan khilafah Islam. Sebagai catatan : Sayyid Rasyid Ridha telah menyanggah Kemal Attaturk dalam bukunya “al-Khilafah wa al-Islam al-‘Uzhm”. Sejak pendudukan Napoleon (1798-1801) di Mesir terjadi perbenturan (persinggungan, pergeseran, pertarungan) antara Barat Nasrani dan Timur Islam, baik mengenai pikiran, dan kebudayaan maupun peradaban kesosialan, serta juga buah hasil pengiriman missi-missi ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Yang paling berjasa menggarap Mesir adalah Lord Cromer (Sir Evelyn Baring), Konsul Jenderal Inggeris (1884-1907), otaknya imperialis Inggeris di dunia Arab, yang memegang tampuk kekuasaan Mesir selama hampir 25 tahun.
Nasionalisme di kalangan Arab bermula dirintis oleh dua sarjana Kristen, Nasif Yazeji (1800-1871) dan Butrus Bustani (1819-1893) dengan motto “Cinta tanah air (patriotisme) sebagian dari iman”. Gerakan nasionalisme Arab memperoleh dukungan terbesar di American University of Beirut yang didirikan oleh missionaris pada tahun 1866 dan yang semula dikenal dengan Syria Protestant College. Sanjana lulusan American University of Beirut ini disambut baik di Mesir, menyebarkan teori-teori dan buah pikiran orientalis guru mereka.
Di Barat, tokoh yang paling memuja paham nasionalisme serta patriotisme adalah Nicola Machiavelli (1469-1532) dengan karya tulisnya “Sang Pangeran” (Il Principe). Machiavelli terkenal sebagai pelopor pemikiran teori politik sekularistik, dan berandil besar dalam meletakkan kultur politik modern (KOMPAS, Senin, 6 September 1999, hlm9). Dan yang menjadi penyebab meluasnya paham nasionalisme sekular (yang berakar pada helenisme Yunani) secara besar-besaran adalah penolakan yang dilakukan oleh para pemimpin Reformasi Protestan terhadap kekuasaan Paus dan bahasa Latin. Ini terjadi karena kekuasaan Paus, kekuasaan gereja sedemikian memuncak, berbuat semena-mena. Akibatnya muncul reaksi terhadap gereja. Muncullah ide pemisahan negara dan gereja. Disebarkan pesan : “Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi haknya dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi haknya pula”.
Di mana-mana nasionalisme mempunyai sikap yang sama, sekular dan anti agama, mengagung-agungkan kejayaan nenek moyang. Sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, pemuda Hatta menegaskan bahwa “bukan Indonesia Merdeka di bawah kerajaan Majapahit yang kita idamkan” (Ke arah Indonesia Merdeka).
Nasionalisme itu di luar Islam. A.Hasan menukilkan hadis Nabi yang menyatakan bahwa “bukanlah dari kalangan Islam orang yang menyeru kepada kebangsaan, yang berpegang atas dasar kebangsaan, yang mati atas dasar kebangsaan (Islam dan Kebangsaan) (Sayid Quthub : Masyarakat Islam, 1983:71).
Yang tak suka pemerintahan/negara diatur oleh Islam berupaya mengarang-ngarang teori politik bahwa tak ada kaitan antara pemerintahan/negara dan Islam. Mereka masih mengakui Islam, tapi lebih suka pemerintahan/negara diatur oleh bukan Islam.
Dengan penolakan mereka terhadap Islam ini, apa lagi yang tersisa pada mereka dari Islam. Sama sekali tak ada. Islam itu telah keluar dari diri mereka. “Akan muncul nanti yang keluar dari agama Islam bagaikan anak panah terlepas dari busurnya”.
Berbagai cara dan siasat untuk menghapus dan menghilangkan Islam dan jejak langkah Islam di Indonesia antara lain dengan melenyapkan esensi partai-partai Islam secara perlahan (sistimatis) dari satu langkah kepada langkah yang lain. Kemudian berlanjut menyingkirkan hakikat Asas Islam. Padahal Asas Islam itu hakikatnya adalah rohnya organisasi Islam. Tanpa asas Islam itu organisasi atau partai Islam itu tidak ada artinya sama sekali, “bagai mayat yang tidak bernyawa lagi”. Menghilangkan asas Islam itu dari organisasi Islam sama dengan membunuh organisasi atau partai itu secara halus. Demikian ungkap KH Firdaus AN (Dosa-Dosa Yang Tak Boleh Beulang Lagi, hlm 32, 73-74).
Islam tak layak dipenggal-penggal. Islam seharusnya diterima secars utuh (kaffah, totalitas) atau Islam itu ditinggalkan/ditanggalkan sama sekali. Ajaran Islam mencakup aspek/dimesi politik, hankam, sosial, budaya, ekonomi, hukum, moral, ideologi, iptek.
Tak ada gunanya mencari-cari teori politik dalam al-Qur:an, karena al-Qur:an bukanlah buku teori politik. Tapi dapat dicari tuntunan Islam yang beraspek/berdimensi politik tentang tindakan aplikasi politik.
Pembudayaan Pancasila itu telah ditempuh dengan melalui jalur sejarah dan agama, sedangkan pembenaran Nasionalisme (Arab dan Barat) ditempuh dengan melalui jalur agama. (Bks 31-12-96)
Asrir
----- End of forwarded message from asrir sutan ----

Antara Reformasi dan Revolusi

ASRIR - Antara Reformasi dan Revolusi
Date: Mon Sep 25 2000 - 13:08:35 EDT
Date: Mon, 25 Sep 2000 03:31:21 -0700 (PDT)
From: asrir sutan <> Subject: Antara Reformasi dan Revolusi

1 Reformasi
Perubahan masyarakat (social change) umumnya dengan tiga ragam/macam pendekatan, yaitu konservatif, reformatif dan radikal. Reformasi merupakan jalan tengah antara pendekatan konservatif dan radikal. Reformasi pada mulanya dikenal di kalangan gereja, seperti gerakan yang dilakukan Luther dengan 95 dalilnya yang ditempelkan berupa plakat/spanduk/poster di depan pintu gereja Wittenberg Jerman, dan oleh Calvin di Perancis. 31 Oktober dinyatakan sebagai Hari Reformasi. Tujuannya adalah untuk memperbaiki keadaan Gereja Kristen dengan melakukan koreksi terhadap penyimpangan-penyimpangan.
Kini reformasi berarti perubahan susunan baru dalam masyarakat, baik politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya. Secara harfiah, literal, reformasi berarti kembali ke bentuk semula yang asli, yang murni tanpa tambahan apa pun. Reformasi Luther, misalnya, mengembalikan ajaran gereja kepada Bibel yang asli, murni, tanpa campur tangan pemuka gereja. Setiap reformasi menghadapi kontra reformasi. Risiko bagi yang pro reformasi adalah jadi buronan kontra reformasi. Yang kontra reformasi punya setumpuk alasan dan kekuatan untuk menganulir reformasi. Tapi semangat, jiwa reformasi tak pernah mati, tak pernah padam. Sayang Indonesia tak punya Luther atau Calvin.
Sedikitnya ada tiga hal yang mendorong timbulnya tuntutan perubahan tatanan masyarakat (social change). Pertama, perasaan frustasi, kecewa atas kebijakan praktek ketatanegaraan yang selalu kandas, gagal, tak berhasil mewujudkan cita-cita masyarakat adil makmur secara merata menyeluruh (justice and prosperous society). Kedua, perasaan jenuh, bosan atas kebijakan praktek ketatanegaraan yang sama sekali tak punya semangat gerak dinamis. Ketiga terbukanya peluang bagi kemungkinan mewujudkan perubahan kebijakan praktek ketatanegaraan. (Bks.1-5-98).
2 Revolusi
Revolusi atau inqilab adalah perubahan mendadak, serentak, penjungkir-balikan dari kondisi negatip ke kondisi positip, dari yang kurang baik ke yang lebih baik. Menjebol, mendobrak tatanan yang lapuk, yang usang, serta membangun, menciptakan tatanan yang kokoh, yang bagus. Menantang, melawan tatanan lama yang berlaku (das Sein), serta mendorong, mendukung tatanan baru yang diidamkan (das Sollen). Revolusi anti kemampanan, menolak status quo.
Ada revolusi kebudayaan, revolusi iptek-industri, revolusi sosial-politik, dan lain-lain. Copernicus dan Einstein adalah sebagian dari sekian tokoh revolusioner iptek di jamannya. Revolusi Amerika (1776-1782) merubah tata masyarakat terjajah menjadi tata masyarakat merdeka. Revolusi Perancis (1789) merubah tata masyarakat feodal menjadi masyarakat borjuis. Revolusi Rusia (1917) merubah tata masyarakat borjuis-feodalis menjadi tata masyarakat proletar-komunisme. Revolusi Indonesia ?
Revolusi timbul bila ada krisis, bentrokan antara yang lama yang sudah tak sanggup lagi bertahan, dengan yang baru yang sudah siap dan sanggup menggantikan. Bung Karno pernah disebut-sebut sebagai Pemimpin Besar Revolusi (Indonesia). Apakah memang benar Bung Karno seorang tokoh revolusioner Indonesia ? Siapa lagi tokoh revolusioner Indonesia yang lain ?
Seorang revolusioner adalah yang konsekwen, konsisten, teguh berjuang membela, mempertahankan pendiriannya sepanjang hayatnya. Tidak diombang-ambingkan oleh perasaan (sentimen), oleh nafsu (hawa), atau oleh pengaruh eksternal. Tidak mudah bertukar warna (bunglon) sekedar mencari jalan selamat. Memang adalah suatu kenyataan bahwa seseorang dalam hidupnya bisa bertukar dari revolusioner menjadi konsevatif atau anti-revolusioner dan sebaiknya dari konservatif bertukar menjadi revolusioner.
Dalam Islam dijumpai terminologi “istiqamah”. Orang yang istiqamah adalah yang lurus, lempang, tidak berkelok-kelok, tidak menyimpang, tidak menyeleweng. Orang yang istiqamah, teguh pendirian, menepati janji, memegang amanat. Orang yang istiqamah tidak akan mengingkari janji, tidak akan mengkhianati amanat, apalagi amanat rakyat. Orang istiqamah itu adalah revolusioner. Berjuang merubah tatanan yang munkar-maksiat, menjadi tatanan yang makruf, yang makrufat. (Bks.3-9-97).
3 Perlukah PBB direformasi ?
Dalam KOMPAS, Arto Suryodipuro (anggota delegasi RI pada sidang MU-PBB 1997-2000) mengemukakan antara lain bahwa dikhawatirkan masyarakat internasional berkurang kepercayaannya terhadap PBB sebagai sarana untuk membantu penyelesaian konflik. Dan jangan sampai PBB jadi biang keroknya konflik. Dimaklumi bahwa satu-satunya negara yang pernah menyatakan “go to hell” pada PBB hanyalah Negara Kesatuan Republik Indonesia di bawah pimpinan Presiden Soekarno.
Semua negara anggota PBB terikat pada Piagam PBB, yang menyatakan bahwa PBB tidak mempunyai hak untuk intervensi terhadap masalah dalam negeri suatu negara. Namun DK (Dewan Keamanan) boleh melakukan intervensi guna memaksakan perdamaian, termasuk melalui kekuatan militer. Hak itu digunakan antara lain pada Perang Korea dan Perang Teluk awal 1990-an. Kini hak itu juga digunakan untuk konflik internal lewat operasi perdamaian. Seringkali penggunaan hak itu dilakukan dalam situasi yang bukan merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Kasus Timtim umpamanya, bukanlah ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional (tetapi dihadapi seperti membunuh nyamuk dengan menggunakan kampak). Sedangkan untuk kasus-kasus yang jelas merupakan ancaman, misalnya konflik di Bosnia, Kosovo, Kongo, justeru DK-PBB enggan memaksakan perdamaian. Tindakan-tindakan DK itu lebih mencerminkan kepentingan beberapa anggota tetap, terutama AS, Inggers dan Perancis. Kini, apakah masih perlu PBB di pertahankan
Asrir Sutan, Bekasi 25 September 2000 =
----- End of forwarded message from asrir sutan -----